Site icon PinterPolitik.com

Kampanye Kamikaze Sandiaga Uno

Kampanye Kamikaze Sandiaga Uno

Kampanye Sandiaga memang sering kali "menyerang" langsung wilayah musuh (Foto: Pojok Satu)

Sekalipun sering mengalami penolakan di banyak tempat, Sandiaga Uno tetap tak lelah berkampanye dan berkunjung dari satu daerah ke daerah lain. Ia berangkat pagi-pagi buta dari rumahnya untuk kegiatan 3-4 hari di daerah, bahkan harus berpisah sementara dengan anak dan istrinya. Tapi, itulah risiko jadi calon pemimpin dalam pertarungan politik, layaknya pilot-pilot Kamikaze dari Jepang yang harus siap dengan kondisi apa pun dalam pertempuran melawan tentara Sekutu pada Perang Dunia II.


PinterPolitik.com

“Be resolved that honor is heavier than the mountains and death lighter than the feather.”

:: Yasuo Kuwahara, penulis buku “Kamikaze: A Japanese Pilot’s Own Spectacular Story of the Famous Suicide Squadrons” ::

[dropcap]S[/dropcap]aat berkunjung ke Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa hari lalu, Sandiaga Uno mengalami kejadian kurang mengenakkan. Kala sedang melakukan wawancara di salah satu pasar di Labuan Bajo, ada pedagang yang marah-marah karena dagangannya terinjak-injak oleh rombongan cawapres nomor urut 02 itu.

Hal itu kemudian diikuti oleh tersebarnya video kejadian tersebut, berikut narasi bahwa cawapres Prabowo Subianto itu ditolak di NTT – sekalipun persoalannya hanya sebatas pedagang yang terganggu akibat dagangannya jadi terinjak.

Walaupun demikian, kunjungan Sandi selama beberapa hari di NTT punya makna politis yang cukup besar. Pasalnya, provinsi tersebut memang secara tradisional adalah basis wilayah yang dikuasai oleh lawan dirinya dan Prabowo, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sandi punya modal kampanye yang tidak sedikit dan namanya sudah familiar sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, pun popularitasnya dan semangat mudanya. Strategi Kamikaze-nya berpotensi menghasilkan output yang berbeda. Share on X

Pada Pilpres 2014 misalnya, suara Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) di wilayah ini mencapai 65 persen, berbanding hanya 34 persen milik Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa. Artinya, kekuatan politik Jokowi memang hampir dua kali lipat besarannya dibandingkan Prabowo di NTT.

Dengan demikian, misi politik Sandi ini memang adalah berkampanye di “daerah kekuasaan musuh” – jika ingin disebut demikian. Akan ada risiko penolakan dan resistensi yang memang sangat mungkin terjadi dan dialaminya lewat aksi-aksi kunjungannya tersebut.

Beberapa waktu terakhir, Sandi memang kerap disambut dengan spanduk-spanduk penolakan ketika berkunjung ke beberapa daerah yang menjadi basis wilayah pendukung Jokowi. Hal ini juga terjadi di beberapa wilayah di Jawa Timur misalnya, yang jika mengacu pada hasil Pilpres 2014, Jokowi memang unggul dengan 53 persen berbanding 47 persen milik Prabowo.

Nyatanya, strategi kampanye Sandi yang mendatangi wilayah-wilayah kekuasaan musuh – termasuk juga di beberapa wilayah di Jawa Tengah yang ia datangi seminggu terakhir ini – memang bisa dibilang mirip-mirip dengan serangan “berani mati”. Sandi jelas paham bahwa akan ada risiko yang ia terima ketika berkampanye di daerah-daerah ini, tetapi tetap melakukannya demi mengamankan dukungan politik.

Apa yang dilakukannya ini mirip dengan pasukan Kamikaze yang merupakan sebutan untuk unit penerbang Jepang di era Perang Dunia II. Pasukan ini terkenal karena keberaniannya menabrakkan pesawatnya ke kapal perang tentara Sekutu dengan membawa serta misil di dalamnya untuk kemudian diledakkan di kapal-kapal tersebut.

Lalu seperti apa jika strategi ala unit Kamikaze tersebut diterapkan dalam politik dan akankah efektif untuk Sandi?

Kampanye Kamikaze “Berani Mati”, Efektif?

Pasukan penerbang Kamikaze memang begitu fenomenal dalam sejarah. Bukan hanya karena semangat “bushido” – sebutan untuk nilai-nilai kehormatan yang umumnya dianut oleh para samurai – saja, tetapi juga keberanian mereka untuk menyerang musuh langsung di garis pertahanannya.

Steven J. Zaloga dalam bukunya Kamikaze, menyebutkan bahwa kebangkitan pasukan Sekutu dan makin kuatnya Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) dengan kapal-kapal induk (aircraft carrier) yang digdaya, memang membuat Jepang terdesak. Negeri Matahari Terbit yang pada 7 Desember 1941 menggempur habis-habisan pangkalan AS di Pearl Harbor itu memang tak menyangka kekuatan Sekutu bisa menguat dalam waktu singkat.

Digdaya pasukan udara Jepang mulai kesulitan melawan strategi island hopping atau leapfrogging alias “loncat katak” yang diterapkan Angkatan Laut AS.

Strategi yang dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur dan Laksamana Chester W. Nimitz itu bertumpu pada penguasaan satu per satu pulau-pulau di Pasifik yang menjadi basis kekuatan Jepang, hingga akhirnya bisa makin dekat ke daratan negera tersebut dan pada akhirnya melakukan serangan udara.

Pada akhir tahun 1944, Jepang kemudian memutuskan untuk membentuk unit Kamikaze tersebut dengan memodifikasi pesawat-pesawat tempurnya agar memuat misil berdaya ledak besar di dalamnya. Strateginya adalah bukan hanya menyerang dan menembaki musuh, tetapi menabrakkan diri ke kapal-kapal induk Sekutu dan meledakkan diri di kapal tersebut.

Taktik yang cenderung “bunuh diri” ini terpaksa dilakukan karena industri pesawat tempur Jepang kala itu “gagal” mengejar ketertinggalan produksi dan teknologi pesawat tempur pasukan Sekutu.

Jika mengandalkan mode perang tradisional, peluang kekalahan dan kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar. Selain itu, dengan menabrakkan dan meledakkan diri di kapal-kapal musuh, kerusakan yang ditimbulkan dianggap akan jauh lebih besar.

Zaloga menilai serangan ini efektif dan cukup berhasil dalam konteks efek kejut yang ditimbulkannya. Setidaknya 7 ribu korban jiwa jatuh di kubu Sekutu. Namun, korban pilot-pilot Jepang pun tidak sedikit yang berjatuhan, dengan hampir 4 ribu di antaranya tewas. Ketidakmampuan Jepang menghasilkan pilot-pilot baru dan industri pesawat tempur yang tidak bisa cepat memproduksi pesawat-pesawat baru pada akhirnya menentukan ujung Kamikaze.

Beberapa dekade berlalu, istilah ini kemudian diadopsi ke dalam konteks kampanye politik. Jelang Pemilu Sela AS pada 2018 lalu, majalah konservatif AS, The Weekly Standard menurunkan tulisan tentang Misi Kamikaze dalam kampanye politik kala itu di beberapa negara bagian.

Majalah opini itu menyebut kampanye politik melawan Mitt Romney yang maju menjadi Senat negara bagian Utah misalnya, sebagai sebuah Kamikaze – aksi berani mati.

Pasalnya, lawan-lawan Romney tak ada yang sebanding dengan mantan kandidat presiden untuk Partai Republik tersebut. Romney memang pada akhirnya memenangi pertarungan di wilayah tersebut, sekalipun hal itu juga terjadi akibat rekam jejak dan modal politik yang dimilikinya.

Lalu, bagaimana dengan Sandi?

Bergantung “Amunisi”

Tidak dapat dipungkiri bahwa kegagalan pasukan Kamikaze Jepang adalah karena “amunisi” – entah itu regenerasi pilot, maupun industri pesawat tempurnya – yang belum mampu mengimbangi semangat “bushido” yang bergelora.

Konteks ini mungkin yang membedakan Kamikaze Jepang dengan Kamikaze Sandiaga Uno, pun dengan Kamikaze melawan Mitt Romney. Pasalnya, Sandi punya modal kampanye yang tidak sedikit berbekal latar belakangnya sebagai pengusaha. Namanya pun sudah familiar di mata publik sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, pun popularitasnya dan semangat mudanya.

Adapun dalam kasus Mitt Romney, kala itu tak ada satu pun lawan politiknya yang punya modal sepadan dengannya – baik secara ekonomi-politik maupun rekam jejaknya. Sementara Kamikaze Jepang juga memiliki keterbatasan “amunisi” tersebut.

Artinya, strategi Kamikaze Sandi berpotensi punya output atau hasil yang berbeda. Dalam konteks kunjungannya ke NTT misalnya, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu datang ke Kupang yang adalah ibukota provinsi, juga ke Maumere dan Labuan Bajo yang nota bene adalah dua pusat ekonomi di wilayah tersebut.

Dari pemilihan tempat-tempat yang dikunjungi itu, memang terlihat kunjungan Sandi bukan hanya asal “serangan ke wilayah musuh” saja, tetapi juga ada perhitungan vital atau tidaknya daerah-daerah tersebut. Maumere adalah hub arus ekonomi ke luar dan masuk Flores, sementara Labuan Bajo adalah destinasi wisata yang terus bertumbuh.

Demikian pun untuk kunjungan-kunjungannya ke Jawa Timur, di mana perhitungan politis wilayah-wilayah tersebut menjadi vital. Hal ini yang membuat strategi kampanye Sandi tidak asal berani mati saja dan bisa saja strategi Kamikaze yang dilakukannya justru membuahkan hasil.

Apa pun itu, publik tentu akan menantikan seperti apa dampak nyata dari kampanye Kamikaze Sandiaga Uno ini. Ia berani memasuki wilayah yang menjadi basis musuh tanpa takut akan ada penolakan – mungkin yang bisa lebih buruk dari aksi Kornelis yang marah-marah di pasar ikan Labuan Bajo.

Yang jelas, Sandi telah menunjukkan mental petarung politiknya dan itu adalah harga yang cukup mewah serta terhormat untuk seorang calon pemimpin. Sebab, seperti kata Yasuo Kuwahara di awal tulisan, kehormatan itu lebih berat dari gunung, sementara kematian itu lebih ringan daripada sehelai bulu ayam. (S13)

Exit mobile version