Tak semua kampanye negatif akan menghasilkan efek buruk. Bagi masyarakat kampanye negatif bahkan membawa pengaruh positif. Lalu bagaimana dengan hoax?
PinterPolitik.com
“Seperti aktivitas penting lainnya, kampanye merupakan permainan kelompok.”~ Alastair Campbell
[dropcap]P[/dropcap]ilkada DKI Jakarta sudah lewat, tapi “kengeriannya” masih membekas hingga jelang Pilkada Serentak selanjutnya yang akan berlangsung Juni tahun ini. Walau serangan isu negatif serta SARA tidak seramai dan semasif Pilkada Jakarta lalu, namun di beberapa wilayah, pola-pola sama mulai ikut digunakan untuk menjatuhkan lawan.
Di Jawa Timur misalnya, Khofifah Indar Parawansa sebagai salah satu calon gubernur (cagub) mengeluh kalau kubunya sering mendapat serangan kampanye hitam. Saking banyaknya, tim Khofifah-Emil minggu lalu telah melaporkan sekitar 30 serangan itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kondisi yang sama juga terjadi pada Ridwan Kamil, salah satu cagub Jawa Barat. Namun Walikota Bandung ini mengaku sudah terbiasa diserang isu negatif. Tak seperti Khofifah, pria yang akrab di sapa Kang Emil ini memilih membalas kampanye hitam itu dengan sikap-sikap yang dianjurkan oleh Islam, yaitu membalasnya dengan kebaikan.
Semarak Partai Pendukung @KhofifahIP dan @EmilDardak dalam Menyapa Publik juga bisa Menekan Hoax serta Kampanye Hitam
Bersama bersuara bijak dan beretika
Menyerap aspirasi Warga
Yth @NasDem @DPP_PPP @Golkar5 @PDemokrat @PartaiHANURA @Official_PAN pula menyapa Warga Jawa Timur.— Persaudaraan Khofifah-Emil (@KhofifahJatimBe) March 10, 2018
Di luar Jawa, serangan kampanye hitam juga menerjang. Salah satunya, Djarot Syaiful Hidayat yang menjadi cagub Sumatera Utara. Sementara di Makassar, Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Sulawesi Selatan mengatakan kalau kampanye negatif marak di media sosial (medsos). Pelakunya, tak lain para pendukung sang calon.
Dalam setiap pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres), kampanye merupakan salah satu cara bagi para calon kepala daerah untuk menjaring suara. Namun penggunaan kampanye negatif, apalagi kampanye hitam, sebenarnya telah dilarang atas berbagai alasan.
Meski begitu, penggunaan kampanye hitam maupun negatif tak bisa dielakkan karena telah terbukti ampuh dan sangat menguntungkan dalam menjatuhkan suara lawan. Benarkah kampanye hitam dan negatif sepenuhnya akan memberi dampak buruk? Lalu masuk kategori manakah hoaks?
Peluru Tajam Saat Pemilu
“Permasalahan dari kampanye hitam adalah terlalu sering digunakan.” ~ Mark Shields
Menurut Dr. Kevin Banda, profesor bidang ilmu politik dari University of Nevada, dalam kampanye hitam maupun negatif merupakan bagian penting dari keberhasilan kampanye. Sebab saat itu, kandidat tak hanya berinteraksi dengan warga dan mempromosikan keunggulan yang ia miliki, tapi juga berusaha membandingkan dirinya dengan lawan.
Penggunaan kampanye hitam maupun negatif, lanjut Banda, sangat mempengaruhi pemikiran warga agar tidak memilih kandidat selain dirinya. Menurut profesor spesialis interaksi kandidat dan kampanye iklan ini, secara logis, setiap kandidat bertarung bukan hanya agar warga memilihnya, tapi juga agar tidak memilih saingannya.
Bisa disimpulkan, keberadaan kampanye hitam maupun negatif memang sengaja digunakan sebagai “peluru tajam” untuk merubuhkan citra lawan. Menurut Banda, para politikus melihat kampanye hitam dan negatif secara berbeda dengan masyarakat. Sebab tak mungkin si kandidat membanggakan dirinya, tanpa menjelek-jelekkan lawan.
Fakta ini juga diakui oleh Pengamat Politik Triyono Lukmantoro yang menilai kalau kampanye negatif tidak dapat dihindari dalam setiap Pemilu. Menurut Akademisi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Dipenogoro (Undip), Semarang ini, sebenarnya kampanye negatif boleh dilakukan selama didasari data dan fakta.
Hal yang sama juga dinyatakan Direktur Indo Barometer Muhammad Qodari, namun kampanye negatif memiliki perbedaan mendasar dengan kampanye hitam. Bila kampanye hitam lebih pada menyerang lawan dengan melakukan fitnah atau tuduhan yang tak mendasar, kampanye negatif biasanya menyerang atas data dan fakta.
Menurut Qodari, kampanye hitam yang lebih banyak berisikan fitnah dan tuduhan tanpa dasar data dan fakta, memang harus benar-benar dihindari. Namun kampanye negatif seharusnya malah dipelihara dalam kehidupan berdemokrasi, sebab kandidat tersebut menyerang lawannya berdasarkan data dan fakta yang ada. Mengapa bisa begitu?
Kampanye Negatif atau Investigasi?
“Entah mengapa, para politisi menjadi begitu yakin kalau kampanye negatif akan berhasil di setiap Pemilu.” ~ George McGovern
Kenangan akan maraknya kampanye hitam maupun negatif di Pilkada DKI Jakarta lalu, masih kuat diingatan. Kasus penodaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menjadi contoh bagaimana kampanye negatif dapat memutarbalikkan keadaan dan menumbangkan sang pertahana yang awalnya begitu kuat bagi lawan.
Terlepas dari apakah video yang diunggah Buni Yani di edit atau tidak, namun pernyataan Ahok terkait ayat-ayat suci umat Islam, mampu membakar emosi sebagian besar Muslim di tanah air. Sehingga apapun kebenarannya menjadi tidak penting lagi, sebab ada bukti nyata yang memperlihatkannya.
Bagi Rick Farmer, PhD, peneliti dari University of Akron, AS, kampanye negatif mampu menjadi “pembunuh” karakter yang ampuh, sebab masyarakat umumnya lebih mudah mengingat kabar negatif daripada kabar positif. Namun di sisi lain, kampanye negatif ini memberikan fakta baru bagi masyarakat yang sebelumnya – mungkin – tak terdengar.
Begitupun yang diyakini Kyle Mattes dan David P. Redlawsk dalam bukunya, The Positive Case for Negative Campaigning. Menurut keduanya, kampanye negatif mampu memberi informasi yang berguna bagi pemilih. Tanpa informasi tersebut, masyarakat bisa saja salah memilih pemimpin, sebab tentu tak ada satupun kandidat yang mau membongkar kejelekannya sendiri.
Tentu bukan hal yang mudah bagi tim sukses seorang kandidat untuk menggali data dan fakta negatif dari lawannya, bahkan tak jarang butuh upaya dan dana tak sedikit untuk mendapatkan fakta tersebut. Penggalian informasi ini, juga kerap membutuhkan upaya investigasi yang memerlukan banyak personil dan waktu tak sedikit.
Ambil contoh, upaya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam mengungkap dugaan korupsi yang dilakukan Jokowi saat memimpin Ibukota. Seperti yang pernah diakui Ketua Progress 98 yang juga anggota Presidium Alumni 212 Faisal Assegaf, kalau Komisi Pencegahan Korupsi (KPK) bentukan Anies akan mampu membongkar dugaan kebocoran APBD di era Jokowi.
Bukan tak mungkin kalau nantinya, hasil kerja KPK Pemprov DKI ini juga akan digunakan sebagai “senjata pembunuh” Partai Gerindra untuk menjatuhkan Jokowi di Pilpres 2019. Dengan catatan, bila dugaan itu ternyata benar dan Gerindra mampu memperlihatkan data dan fakta yang menguatkan tudingan tersebut. Karena bila tidak, tentu akan menjadi bumerang bagi Gerindra dan Anies sendiri.
Berdasarkan penelitian Gina Garramone dalam tulisan Effects of Negative Political Advertising on the Political Process, kampanye negatif juga mengandung konsekuensi besar bagi penggunanya. Biar bagaimana pun, kampanye negatif yang terlalu sering digunakan akan membuat masyarakat menjadi muak dan kehilangan kepercayaan.
Secara tak langsung, para pelaku kampanye negatif juga pada akhirnya dicap sebagai tokoh diskriminatif dan senang memecah belah. Contohnya dapat lihat dari kasus pelaporan Fahri Hamzah dan Fadli Zon atas tuduhan penyebaran kebencian (hate speech), oleh seorang pengacara bernama Muhammad Rizki.
Kedua tokoh politik ini secara tak langsung mendapatkan label tersebut, akibat seringnya melontarkan komentar negatif yang kadang menyerang pribadi lawan politiknya. Di sisi lain, selama keduanya mampu memberikan bukti dan fakta akan kebenaran pernyataannya, semua itu dapat saja dinyatakan sebagai kritik.
Kemudahan yang ditawarkan media sosial, dalam hal ini twitter yang digunakan Fahri maupun Fadli, memang membuat penyebaran informasi semakin cepat. Kemajuan teknologi informasi ini, pada akhirnya dapat disalahgunakan pihak tertentu untuk menyebarkan kabar bohong alias hoax.
Berita bohong, tentu saja dapat dianggap sebagai kampanye hitam yang dilakukan secara simultan dan masif. Ini juga yang dilakukan oleh Saracen maupun Muslim Cyber Army (MCA) yang belum lama ini tercyduk Tim Kejahatan Siber Polri. Penyebaran kampanye hitam di media sosial, bukan hanya melanggar Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) tapi juga UU Pemilu, bila dilakukan saat Pemilu berlangsung.
Membedakan kampanye negatif dengan kampanye hitam, memang masih sulit dilakukan, terutama di negeri ini. Namun kampanye negatif yang didasari investigasi, menurut Qodari, seharusnya tidak dapat dijerat oleh UU karena didasarkan atas pembuktian data dan fakta. Di sisi lain, kalau dijeratpun, hukumannya tidak terlalu memberatkan juga. Jadi wajar saja kalau banyak hoax yang berseliweran kan? (R24)