Site icon PinterPolitik.com

Kampanye Anti-Korupsi Hanya Ilusi?

5d722e089cec4

Foto: (KOMPAS.com/Dylan Aprialdo Rachman)

Fenomena korupsi bagaikan rantai setan yang tidak ada habisnya. Kelemahan Undang-Undang (UU) Pemilu dapat melegalkan eks narapidana korupsi untuk mencalonkan kembali dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Ternyata, terpilihnya eks narapidana korupsi sebagai pejabat publik bukan hanya disebabkan oleh sistem politik, melainkan juga budaya dan ilusi.


PinterPolitik.com

“Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri.” – Najwa Shihab

Korupsi seakan menjadi permasalahan yang tidak akan habis untuk dibahas. Kelemahan UU Pemilu yang ditelaah dari artikel PinterPolitik.com dengan judul “UU Pemilu Jadi Penyebab Korupsi?” menunjukkan bahwa betapa mudahnya eks narapidana korupsi untuk mencalonkan diri kembali pada Pemilu 2024.

Adapun artikel tersebut menyinggung adanya kemungkinan eks narapidana korupsi yang mencalonkan kembali pada Pemilu 2024 untuk melakukan suap kepada publik. Ini merupakan hasil dari rezim ‘obral remisi’ akibat dibatalkannya Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2012 yang melonggarkan aturan hukuman bagi narapidana koruptor. 

Tidak heran jika saat ini sudah ada 23 narapidana yang dibebaskan secara bersyarat dimana narapidana korupsi yang berkelakuan baik dan menjalani sepertiga masa pidana dapat dibebaskan secara bersyarat, namun diperketat dengan aturan pemberian remisi. 

Politisi yang terlibat kasus korupsi yang dimaksud yaitu eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari, eks Gubernur Jambi Zumi Zola, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Pemberian remisi dapat digunakan diantaranya dengan pembayaran remisi (misalnya membayar denda dan setuju untuk menjadi justice collaborator (JC).

Kembalinya eks narapidana korupsi dapat membahayakan sistem pemerintahan di masa depan. Fenomena ini sebenarnya tidak asing lagi untuk dibahas dimana eks narapidana korupsi justru dipilih kembali oleh masyarakat.

Menurut artikel “Why Do People Forgive Corrupt Politicians?” César Morales Oyardive terdapat setidaknya tiga aspek yang membuat masyarakat kembali memilih calon yang dulunya merupakan narapidana korupsi antara lain cynicism, noise, dan implicit exchange.

Lantas, bagaimana maksud dari aspek cynicism yang dapat mempengaruhi pemilihan eks narapidana korupsi di pemilihan umum?

Labeling Koruptor Hanya Alat Politik?

Aspek cynicism merujuk kepada adanya perasaan pesimistis terhadap semua politisi. Pada aspek ini, sekalipun korupsi dianggap tercela, tidak ada yang akan mengubah arah pemungutan suara. Masyarakat terkesan cuek dalam menanggapi isu korupsi.

Ini dapat dihubungkan dengan teori social labeling yang dilansir dari artikel PinterPolitik.com dengan judul “Radikalisme, Labeling Mirip PKI?” dimana aksi labeling dapat dikaitkan dengan pemerintah dalam menindak orang maupun kelompok tertentu.

Aksi ini dapat dijadikan sebagai alat untuk menyerang lawan politik bagi politikus. Artinya, ketika seseorang dilabel sebagai seorang koruptor, maka mungkin saja itu hanya dilakukan untuk menjelek-jelekkan lawan. Padahal, dari segi penegakan hukum masih terbilang lemah.

Konsep ini pun sesuai dengan labeling theory yang diungkapkan oleh Jón Gunnar Bernburg dimana labeling dapat digunakan sebagai cara untuk mengecap seseorang atas kejahatan (crime) dan perilaku menyimpang (deviant) di masyarakat. Dengan demikian, ini lekat dengan terciptanya perspektif konstruksionisme dan interaksionisme simbolik dimana realita sosial tercipta dari apa yang dikonstruksikan sendiri oleh masyarakat sehingga sulit untuk melepaskan stigma tersebut.

Selain itu, meskipun kampanye anti korupsi sudah digembar-gemborkan, tetap saja tidak berpengaruh kepada penurunan tingkat korupsi. Bahkan tidak mampu untuk mencegah eks narapidana korupsi dapat terpilih kembali.

Kampanye anti korupsi tidak mampu melawan stigma yang kuat bahwa korupsi di pemerintah sudah dianggap lumrah. Tentunya, hal ini bukan merupakan suatu tanda yang baik, seakan-akan masyarakat memaafkan dan melupakan begitu saja kejahatan (extraordinary crime) yang dilakukan oleh koruptor sehingga narapidana yang bebas dapat dengan leluasa melanjutkan kepentingan-kepentingannya.

Lalu, hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa eks narapidana korupsi dapat terpilih kembali?

Antara Popularitas dan Stigma

Masih membahas mengenai konsep social labeling, dampak stigma dapat menjadi begitu besar bagi kepopuleran politikus. Koruptor dapat memiliki stigma yang baik dan buruk.

Gambaran stigma baik koruptor mudah dilihat ketika masa menjelang Pemilu. Para politisi berusaha untuk ‘cari muka’ kepada masyarakat demi perolehan suara.

Adapun eks narapidana korupsi memang memiliki popularitas yang tinggi ketimbang politikus yang jujur. Mereka berusaha untuk merepresentasikan karakter masyarakat di tempat yang bersangkutan (wilayah yang memilih mereka) sehingga cerminan ‘merakyat’ dapat pada sisi impresi mereka terhadap rakyat. Mereka paham betul bagaimana mencuri hati masyarakat, salah satunya memberi uang agar dirinya dapat dipilih dan sebagainya. Dengan demikian, stigma tau labeling yang positif juga dapat menjadi pengaruh yang buruk.

Perhelatan Pemilu 2019 lalu dapat menjadi contoh nyata. Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo yang merupakan salah satu politikus yang menang Pemilu, namun berstatus sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nilai proyek sangat fantastis yaitu dapat mencapai miliaran rupiah. Ia memenangkan Pemilu karena citranya yang merakyat dan dikenal baik kepada masyarakat. Lebih lanjut, angka persentase perhitungan suaranya bahkan mencapai 60,1 persen (lebih dari setengah). 

Melihat fenomena yang terjadi, apakah masyarakat memang tidak se-aware itu?

Korupsi Bukan Hanya Salah Politisi

Dari penjelasan di atas, bisa disebutkan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia cenderung acuh dengan korupsi, namun pada saat yang sama, tetap kampanyekan gerakan anti korupsi.

Baik masyarakat maupun politisi sama-sama punya andil dalam menciptakan budaya korupsi. Pemerintah kurang tegas dan masyarakat juga menganggap budaya korupsi sebagai suatu hal yang lumrah. Ini menjadikan kampanye anti korupsi tidak efektif untuk mencegah korupsi.

Masyarakat nantinya dapat mempengaruhi orang-orang yang mereka temui dan kenal. Budaya masyarakat seringkali membuat korupsi menjadi hal yang lumrah, misalnya budaya untuk memberikan sebagian uang kepada pihak kelurahan maupun pungutan liar lainnya.

Hal ini justru membuat aturan menjadi lemah. Aturan ini akan berdampak pada penegakan hukum kasus pelanggaran korupsi.

Bersamaan dengan itu, tingkat partisipasi Pemilu legislatif menunjukkan peningkatan. Dari 75,11 persen pada 2014 dan mencapai 81,69 persen pada 2019. 

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 juga mengalami peningkatan, yaitu sebesar 81,9 persen, meningkat dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sebesar 69,6 persen. Berdasarkan data ini, sebaiknya partisipasi Pemilu juga diikuti oleh kesadaran akan siapa calon yang akan dipilih, bukan hanya melihat berapa besaran angka partisipasinya tetapi lebih kepada penilaian aktor politik yang dapat mendukung nilai-nilai demokrasi.

Dengan demikian, baik masyarakat maupun politisi sama-sama punya andil dalam menciptakan budaya korupsi. Pemerintah kurang tegas dalam  memberikan hukuman kepada koruptor, sedangkan masyarakat memiliki kontribusi untuk benar-benar menerapkan nilai anti korupsi dan tidak menganggap budaya korupsi sebagai suatu hal yang lumrah.

Pada akhirnya, kampanye anti korupsi itu sendiri tidak boleh hanya menjadi ilusi belaka tetapi juga benar-benar diimplementasikan. (Z81)

Exit mobile version