Site icon PinterPolitik.com

KAMI Terjebak dalam Category-Mistake?

KAMI Terjebak dalam Category-Mistake?

Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta pada 18 Agustus 2020 (foto: Ngopibareng.id)

Gejolak politik di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi semakin bertambah setelah Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dideklarasikan bersama dengan delapan tuntutannya. Namun, dengan tuntutan yang masih terbilang abstrak, mungkinkah KAMI terjebak dalam category-mistake seperti yang disebutkan oleh Gilbert Ryle?


PinterPolitik.com

It is one big mistake and a mistake of a special kind. It is, namely, a category-mistake.” – Gilbert Ryle dalam The Concept of Mind

Jika ditanya, “apakah Anda mencintai Indonesia dan menginginkannya menjadi negara maju?”, semua warga negara Indonesia tentu akan menjawab, “iya.”

Rasa cinta ini yang kerap kita sebut sebagai nasionalisme. Dan, memang, ciri khas nasionalisme adalah kemampuannya untuk menarik dukungan dari semua lapisan masyarakat ketika dihadapkan pada ancaman nyata atau yang dipersepsikan terhadap negara dan penduduknya.

Menurut sosiolog Norwegia, Johan Galtung, nasionalisme berasal dari pengalaman bersama tentang trauma dan kemuliaan yang memungkinkan orang-orang dari semua kelas, kepercayaan, dan wilayah untuk akhirnya bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama.

Dasar kecintaan ini juga yang menjadi landasan narasi para deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Menurut mereka, kondisi Indonesia saat ini memprihatinkan sehingga perlu untuk diselamatkan. Melihat tokoh-tokohnya yang merupakan saksi sejarah, misalnya Rizal Ramli yang melihat kehancuran ekonomi pada tahun 1998, nasionalisme untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik tentu menjadi variabel kunci.

Berdasarkan delapan tuntutan KAMI yang disampaikan ketika melakukan deklarasi pada 18 Agustus lalu, berbagai masalah multi-aspek menjadi sorotan untuk diperbaiki.

Jika disarikan, tuntutan tersebut berupa harapan agar pemerintahan berjalan sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, kesungguhan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, mengatasi masalah ekonomi, mengusut pihak yang hendak mengganti konstitusi, tidak memberi peluang kebangkitan komunisme dan ideologi anti-Pancasila, dan menuntut janji presiden.

Melihat tuntutan yang ada, jelas itu merupakan nilai-nilai yang harus didukung. Akan tetapi, pertanyaan pentingnya adalah tuntutan tersebut seperti “lagu lama” yang terus diulang. Narasinya terbilang abstrak dan terlalu simplifikatif. Ini adalah salah rezim singkatnya.

Dengan tuntutan yang masih abstrak dan belum menyentuh persoalan teknis, apakah KAMI tengah terjebak dalam category-mistake seperti yang disebutkan oleh filsuf asal Inggris, Gilbert Ryle?

Category-Mistake

Cogito Ergo Sum. Bagi penikmat filsafat, tentu sangat akrab dengan pernyataan Rene Descartes ini. Bahasa Latin yang berarti Aku Berpikir Maka Ada tersebut telah menjadi dasar pijakan epistemologi Descartes untuk menerangkan perihal dualisme mind-body. Menurutnya, mental (mind) dan tubuh (body) adalah dua substansi yang berbeda dan terpisah.

Kategorisasi Descartes ini tidak hanya mengguncang diskursus filsafat, melainkan juga telah menjadi perhatian utama dalam berbagai studi psikologi. Sebagaimana diketahui, pertanyaan paling dasar dalam psikologi adalah, di mana letak, dan bagaimana mental manusia bekerja? Atau, singkatnya, apa itu mental manusia?

300 tahun kemudian, filsuf asal Inggris, Gilbert Ryle dalam bukunya The Concept of Mind memberikan bantahan keras atas kategorisasi Descartes. Menurutnya, Bapak Filsuf Modern tersebut telah melakukan kekeliruan logis yang disebut dengan category-mistake.

Ini adalah kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang keliru dalam menentukan kategorisasi, khususnya dalam menentukan mana yang bersifat abstrak dan mana yang konkret. Menurut Ryle, Descartes salah memahami bahwa mental sepenuhnya terpisah dari tubuh. Dalam pandangannya, mental adalah sesuatu yang berelasi  dengan tubuh, khususnya dengan otak.

Sebelum Ryle, category-mistake sebenarnya pernah juga dijelaskan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations ketika membantah adanya mental private. Pemikiran Ryle sendiri memang dipengaruhi oleh Wittgenstein.

Untuk mempermudah penjelasan tentang category-mistake, perhatikan contoh berikut. Suatu ketika, Naruto hendak mencari di mana Universitas X berada. Ia berkeliling dari bangunan A ke bangunan B, dan seterusnya. Ia juga pergi ke laboratorium dan ke gedung rektorat. Namun, Ia tetap bertanya, di mana Universitas X itu? Apakah itu adalah bangunan A? Ataukah gedung rektorat?

Di sini, Naruto telah melakukan category-mistake karena keliru dalam membedakan mana yang merupakan hal fisik, dan mana yang merupakan konsep abstrak. Beda halnya dengan bangunan A ataupun gedung rektorat yang memiliki bentuk fisik sehingga dapat disentuh, universitas adalah sesuatu yang abstrak karena merupakan institusi.

Singkatnya, Naruto telah keliru dalam mengajukan pertanyaan karena institusi yang merupakan ide, gagasan, atau abstraksi adalah sesuatu yang tidak beruang.

Category-Mistake dalam Politik

Getirnya, kekeliruan logis yang dijelaskan oleh Ryle ini adalah persoalan keseharian yang kerap terjadi, namun tidak disadari. Dalam persoalan politik misalnya, category-mistake benar-benar terjadi. dalam diskursus politik yang kita temui, berbagai pihak kerap memberikan kritik simplifikatif dengan menyebutkan ini atau itu adalah kesalahan negara, pemerintahan, atau rezim yang tengah berkuasa.

Segala persoalan, mulai dari korupsi, buruknya kondisi ekonomi, hingga penanganan pandemi Covid-19, begitu mudah diasosiasikan dengan menyebutnya sebagai kegagalan negara. Tentu saja jawaban semacam ini dapat dibenarkan. Akan tetapi, apabila dianalisis secara logis, ini merupakan suatu kekeliruan.

Negara, pemerintahan, ataupun rezim adalah abstraksi. Ini adalah entitas non-fisik. Di sisi lain, masalah ekonomi adalah persoalan praktis. Pun begitu dengan korupsi dan penanganan pandemi Covid-19. Dengan kata lain, persoalan praktis yang ada telah dibenturkan dengan sesuatu yang tidak beruang.

Dalam persoalan-persoalan tersebut, terdapat aktor-aktor fisik yang berperan. Dalam masalah ekonomi misalnya, harus dirinci pihak mana yang bermasalah? Apakah menteri? Apakah pengusaha tertentu? Atau aturan tertentu?

Menyebut pihak tertentu juga tidak cukup karena harus dirinci secara teknis masalah yang dimaksud. Seperti yang diwanti-wanti oleh Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus, dalam suatu diskursus harus benar-benar dipahami terlebih dahulu duduk perkara yang dibahas agar tidak terjebak dalam kekeliruan logis dan ambiguitas. Kemampuan untuk merinci persoalan teknis adalah salah satu indikasi kuat bahwa masalah yang tengah dibahas betul-betul dipahami.

Sekarang pertanyaannya, apakah KAMI telah terjebak dalam category-mistake, khususnya dalam delapan tuntutan yang mereka bawa?

KAMI Terjebak?

Melihat delapan tuntutan yang ada, memang harus diakui bahwa tuntutan tersebut masih terbilang abstrak dan menyasar institusi. Misalnya pada tuntutan agar pemerintahan dijalankan berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Diakui atau tidak, ini benar-benar tuntutan yang tidak praktikal.

Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila berisi nilai-nilai abstrak dan luwes. Bahkan sampai saat ini multi-tafsir atasnya masih terjadi. Terlebih lagi, terdapat pula analisis yang menyebutkan bahwa Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila adalah nilai yang begitu sukar untuk diaktualisasi.

Narasi yang dibawa oleh berbagai simpatisan KAMI juga terbilang abstrak. Berbagai permasalahan yang ada selalu diasosiasikan kepada negara, pemerintahan, dan rezim. Menurut mereka, entitas-entitas non-fisik tersebut yang bertanggung jawab atas berbagai persoalan praktis yang ada.

Sampai saat ini, mungkin hanya Rizal Ramli (RR) yang terlihat memberikan masukan konkret. Di luar benar tidaknya saran RR, pemahaman mantan Menko Kemaritiman tersebut terkait persoalan ekonomi dengan jelas terlihat dari masukan-masukan teknis yang kerap dilontarkannya.

Tokoh lainnya seperti Rocky Gerung, kendati memberikan saran konkret seperti “reshuffle” Presiden Jokowi, saran ini terbilang sangat simplifikatif. Rocky juga terlihat hanya melontarkan pernyataan-pernyataan abstrak yang tidak jelas (ambigu) objek rujukannya. Kembali mengacu pada Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus, diskursus yang jernih dapat terjadi apabila suatu pernyataan memiliki objek rujukan yang jelas dan tidak ambigu.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, jika KAMI masih bertahan dengan tuntutan abstrak seperti saat ini, gerakan tersebut tampaknya akan terjebak dalam category-mistake. Jika nantinya KAMI mampu menelurkan tuntutan dan saran teknis nan praktis, barulah dapat disebutkan bahwa category-mistake tidak terjadi.

Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan pergerakan KAMI ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version