HomeNalar PolitikKAMI, Reinkarnasi Kegagalan Petisi 50?

KAMI, Reinkarnasi Kegagalan Petisi 50?

Manuver dan karakteristik intelektual Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) membawa romansa historis tersendiri terkait gerakan serupa yang dengan gagah berani tampil menentang rezim Soeharto, yakni Petisi 50. Lantas, bagaimanakah nantinya pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespon manuver KAMI? Serta akankah KAMI justru mengulangi kebuntuan gerakan Ali Sadikin cs 40 tahun silam?


PinterPolitik.com

Setelah sempat dipertanyakan substansinya, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) akhirnya menggaungkan deklarasinya di Lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta. Deklarasi itu sendiri secara umum berisi jati diri koalisi serta sejumlah tuntutan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas berbagai persoalan bangsa kekinian.

Dengan mengambil momentum deklarasi yang berdekatan dengan Hari Kemerdekaan, khususnya di hari ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, Din Syamsuddin cs tampaknya sungguh-sungguh ingin menegaskan signifikansi gerakan intelektual yang mereka lakukan terhadap problematika pelik demokrasi, politik, ekonomi dan sosial yang saat ini semakin terkuak.

Pesan teranyar dari Din Syamsuddin menyongsong deklarasi bahkan bernada cukup tegas, ketika mengatakan bahwa jangan ada satupun pihak yang menganggap remeh gerakan KAMI.

Secara umum, tokoh-tokoh dalam KAMI sendiri memiliki satu frekuensi, bahwasanya kehidupan dan kenegaraan Indonesia saat ini telah menyimpang dari cita-cita nasional dan dari nilai-nilai dasar yang telah disepakati pendiri bangsa.

Tentu dengan tendensi tersebut rangkaian substansi dan semangat yang dibawa oleh KAMI secara otomatis dapat dikatakan merupakan anti-tesis bagi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.

Lantas pertanyaannya, mengapa gerakan yang dipelopori tokoh-tokoh intelektual lintas sektoral seperti KAMI sampai harus didirikan saat ini? Serta bagaimana dengan proyeksi respon dari pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi terhadap KAMI?

Aktualisasi Keluhuran Kaum Intelektual?

Sejak peradaban manusia mulai mengenal sistem ketatanegaraan, ekspresi ketidaksepakatan terhadap kekuasaan selalu hadir dalam beraneka macam bentuk yang turut berperan dalam perkembangan falsafah ideologi kontemporer.

Kaum Marxis misalnya, mengejawantahkan pentingnya peran kaum buruh sebagai mobilisator utama dalam membawa narasi perlawanan terhadap ketidakadilan pemilik modal maupun penguasa.

Kemudian, seorang filsuf Italia bernama Antionio Gramsci datang dan “menyegarkan” pemikiran Marxis sebelumnya dengan diskursus teranyar akan pentingya negosiasi peran kaum atau kelas intelektual terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang.

Dari sinilah mereka yang disebut oleh Gramsci sebagai kaum atau kelas intelektual organik muncul. Kelas yang tidak hanya terbatas pada ruang lingkup akademisnya saja, tetapi juga mengartikulasikan pemikirannya untuk merespon persoalan konkret yang ada.

Frasa “kepemimpinan moral” menjadi tajuk utama dalam kelas intelektual organik di mana mereka mengisi kekosongan yang hampir mustahil diisi kaum buruh serta masyarakat luas dengan keterbatasan sumber dayanya.

Dan nyatanya, gerakan moral ber-genre kelas intelektual organik serupa di tanah air telah ada sejak lama dan menjadi bagian penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja Indische Partij yang menjadi organisasi pertama kaum intelektual pribumi yang memiliki tujuan politik dan menuntut kemerdekaan.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Meskipun berumur singkat akibat represi Belanda, gerakan yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, serta Tjipto Mangoennkoesoemo ini dinilai mewariskan pusaka perjuangan penting atas nilai-nilai keluhuran politik bagi perjuangan kemerdekaan serta generasi setelahnya.

Tak menutup kemungkinan pula bahwa Indische Partij mewariskan energi revolusioner serupa pada Petisi 50, sebuah gerakan resistensi politik yang terbilang “bernyali” di era Orde Baru.

Ya, tidak tanggung-tanggung, gerakan tersebut dihuni 50 tokoh dengan jasa luar biasa bagi negeri antara lain Ali Sadikin, Syafrudin Prawiranegara, A.M. Fatwa, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, hingga eks pejabat tinggi ABRI seperti Jenderal A.H. Nasution dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso serta sejumlah nama lain yang tak kalah kalibernya.

Kala itu, para tokoh legendaris bangsa tersebut menggugat – secara harfiah – manuver Presiden Soeharto yang menyalahgunakan Pancasila sebagai alat politik bagi kelanggengan rezimnya dengan memobilisasi ABRI serta Golkar.

Selain itu, ideologi bangsa juga digunakan Soeharto sebagai justifikasi untuk membungkam lawan politik secara personal dengan mengatakan bahwa siapa yang mengkritik sang Smiling General berarti mengkritik Pancasila.

Oleh karenanya, kehadiran Petisi 50 dinilai menjadi representasi konkret kelas intelektual organik kala itu dengan menasbihkan surat protes yang dibacakan di depan para anggota DPR pada Mei 1980.

Meskipun akhir cerita Soeharto memang terlampau “sakti”. Dan seperti halnya para penentang Soeharto, para tokoh Petisi 50 “dikucilkan” dengan bermacam rupa oleh rezim kala itu.

Semangat yang sama hadir empat dekade berselang. Ya, kemunculan KAMI dinilai menjadi kelas intelektual organik baru seperti yang disebutkan oleh Gramsci, di mana merepresentasikan kesadaran dan kepemimpinan moral atas tindak-tanduk kekuasaan yang dianggap semakin “berlebihan”.

Bahkan tak keliru kiranya ketika KAMI disandingkan dengan Petisi 50, ketika terdapat sejumlah nama berkaliber mumpuni di bidangnya masing-masing, seperti mantan Panglima TNI Jenderal Purn. Gatot Nurmantyo, tokoh senior Muhammadiyah Din Syamsuddin, pakar hukum tata negara Refly Harun dan lain sebagainya dalam gerakan tersebut.

Jika Petisi 50 berhadapan dengan Soeharto yang menyalahgunakan Pancasila, KAMI pun menempatkan diri untuk berhadapan secara langsung dengan pemerintah saat ini – di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi – yang berdasarkan delapan poin tuntutannya, acapkali dianggap memiliki tendensi penyimpangan atas privilege kekuasaan yang dimilikinya, baik dari aspek kebijakan maupun regulasi.

Hal menarik yang kemudian mengemuka dari komparasi dua gerakan kelas intelektual berbeda zaman tersebut ialah signifikansinya terhadap politik dan pemerintahan yang ada.

Jika Petisi 50 berakhir buntu, bagaimana dengan prospek eksistensi KAMI saat ini?

“Oposisi Swasta” Terlalu Mudah Dikalahkan?

Kunci untuk menjawab pertanyaan di atas ialah bagaimana pemerintah yang berkuasa saat ini bereaksi atas manuver KAMI.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Christoph Steinhardt dalam State Behaviour and the Intensification of Intellectual Criticism menyebut bahwa ketika muncul sebuah intellectual criticism atau kritisisme intelektual, secara alami pemerintah yang berkuasa akan merespon dengan melakukan policy and institutional adjustment atau penyesuaian secara kebijakan dan instititusional.

Lebih lanjut, Steinhardt mengatakan bahwa penyesuaian tersebut dapat berupa kebijakan dengan justifikasi stabilitas maupun mengerahkan peran lembaga, baik secara persuasif maupun koersif.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Soeharto secara paripurna merepresentasikan sari tulisan Steinhardt di atas dengan merespon intellectual criticism Petisi 50 dengan sebuah pembungkaman secara terstruktur terhadap sosok-sosok di balik gerakan tersebut, terutama secara koersif.

Respon terhadap para tokoh Petisi 50 didokumentasikan dalam publikasi berjudul Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekularisme yang menyebut bahwa mereka dikucilkan dari kehidupan ekonomi dan politik, “dibuntuti” oleh intel kiriman pemerintah, hingga instruksi untuk dihabisi oleh penguasa Orde Baru.

Selain itu, Natsir dan ke-49 tokoh di balik Petisi 50 dicekal plus dilarang ke luar negeri dan bahkan sempat ingin dikirim oleh Soeharto ke Pulau Buru di Maluku, tempat pembuangan tahanan politik. Meskipun pada akhirnya gagasan “pembalasan” terakhir urung terjadi karena ketidaksepakatan Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) saat itu Jenderal M. Jusuf, atas rencana tersebut.

Jika berpaling kepada KAMI, memang belum ada respon berarti dari pemerintah selain nada-nada normatif. Terlebih lagi, tampaknya sejauh ini manuver KAMI secara politik belum se-trengginas Petisi 50.

Akan tetapi jika eskalasi manuver KAMI meningkat dan memiliki implikasi secara langsung pada perspektif publik terhadap pemerintah, seperti yang disampaikan oleh Steinhardt, secara alamiah pemerintah tentu akan bereaksi dengan skala tertentu.

Sejumlah reaksi terhadap berbagai narasi yang berlawanan arus dengan pemerintah sejauh ini dapat publik lihat pada berbagai sampel kasus, seperti kasus Ravio Patra, kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis, hingga penangkapan demonstran.

Meskipun memang pada faktanya, cukup tricky dan menjadi “kecanggungan” tersendiri untuk menjustifikasi bahwa pemerintah secara langsung bertanggung jawab atas berbagai sampel reaksi di atas.

Pada sisi berbeda, potensi reaksi yang persuasif berdasarkan asumsi Steinhardt juga bisa jadi akan berdampak langsung, terutama pada pelemahan KAMI. Persuasif dalam artian merangkul oposisi dengan berbagai pendekatan ialah kemungkinan tersendiri yang telah menjadi keahlian pemerintah di bawah Presiden Jokowi saat ini.

Bagaimanapun dengan deklarasi yang telah dilakukan serta relevansinya dengan kondisi politik dan pemerintahan saat ini, KAMI diharapkan tidak terlalu mengambang tanpa gebrakan politik yang jelas.

Selain itu, sebagai kelas intelektual organik, KAMI diharapkan dapat terus konsisten dan berkembang menjadi sebuah gerakan konstruktif bagi perbaikan demokrasi di tanah air. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?