Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo tampil sebagai deklarator KAMI setelah lama tak muncul di hadapan publik. Dalam acara deklarasi itu, Gatot menyinggung soal ancaman proxy war dan oligarki. Kemunculan kembali Gatot ini menimbulkan spekulasi beragam di tengah masyarakat. Mungkinkah KAMI jadi ajang pemanasan Gatot untuk 2024?
Dalam serial televisi Game of Thrones, Daenerys Targaryen memiliki misi untuk merebut tahta Seven Kingdoms. Ia adalah anak dari King Aerys II Targaryen, seorang tiran yang digulingkan lewat sebuah pemberontakan.
Sadar keluarganya tak lagi memiliki dukungan kaum elite di Seven Kingdoms, Daenerys mencoba membangun basis kekuatan baru di Benua Timur. Di sana, Ia tampil sebagai sosok pembela para budak dan rakyat kecil hingga berhasil menjadi pemimpin dan mendapat julukan ‘Breaker of Chains’.
Sukses menjadi penguasa di Benua Timur , Daenerys memutuskan berlayar menuju Benua Barat untuk menuntaskan misinya. Kepada rakyat Seven Kingdoms, Ia menawarkan narasi sama seperti yang Ia bangun di Benua Timur; menjadi pembebas rakyat kecil dari kekuasaan kaum oligarki. Ia menyebut narasi ini dengan adagium ‘Breaking the wheel’.
Narasi ‘Breaking the wheel’ ala Daenerys agaknya mirip dengan narasi yang disuarakan oleh Mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo saat mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Pada kesempatan itu, Gatot kembali menyinggung soal proxy war dan kekuasaan oligarki yang menggerogoti negara.
Pernyataan Gatot ini lantas menuai respons dari partai pendukung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). PDIP menilai Gatot tak paham perbedaan konsolidasi demokrasi dengan oligarki. Menurut politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno, konsolidasi demokrasi baru bisa dipersepsikan sebagai oligarki, hanya apabila keputusan-keputusan politik tidak berdasar konstitusi dan tidak berpihak kepada kepentingan negara dan bangsa.
Meski sudah berulang kali keluar masuk telinga publik, dan dibantah oleh kubu pemerintah, namun dinamika perkembangan politik teraktual, tak bisa dipungkiri, mulai memberikan afirmasi terhadap pernyataan politis Gatot tersebut.
Yang mungkin masih lekat di ingatan publik adalah terkait polemik pencalonan putra presiden, Gibran Rakabuming Raka di Pemilihan Wali Kota Solo 2020 dan menantu presiden Bobby Nasution di Pemilihan Wali Kota Medan 2020. Meski sempat menimbulkan riak kecil di internal PDIP selaku partai pengusung, toh pencalonan keduanya mulus-mulus saja.
Hal ini tentu membuat sebagian pihak menuding Presiden Jokowi sedang membangun dinasti politiknya yang mau tak mau membuat pernyataan Gatot seolah mendapatkan momentumnya.
Lantas pertanyaannya, apakah benar Gatot tengah menggunakan narasi ‘Breaking The Wheel’ untuk mendulang simpati rakyat lewat KAMI? Terkait hal ini, Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy Satyo Purwanto telah memberikan bantahannya. Menurut Satyo, keikutsertaan Gatot tidak berkaitan dengan Pilpres 2024, melainkan karena jiwa korsanya terpanggil untuk memberikan kontribusi dan berjuang demi NKRI.
Akan tetapi, menimbang pada dapatnya KAMI menjadi batu loncatan Gatot untuk mendulang simpati demi modal politik di Pilpres 2024, mungkinkah sekiranya KAMI menjadi alat politik yang mumpuni bagi Gatot?
Modal Sosial dan Modal Politik
Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu pernah mendeskripsikan modal sebagai sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Artinya, istilah ‘modal’ digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Ada beberapa jenis modal yang dipaparkan Bourdieu dalam bukunya yang berjudul The Forms of Capital, salah satunya adalah modal sosial. Dalam pemikirannya, modal sosial merupakan properti individual, bukan kolektif, yang bersumber dari status sosial seseorang. Modal sosial ini dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang atau individu yang menguasai sumber daya.
Lebih lanjut lagi, Bourdieu mengatakan bahwa modal sosial tidak tersedia secara alamiah bagi semua orang. Ia hanya dapat diakses oleh mereka yang berusaha memperolehnya dengan mencapai posisi kekuasaan dan status dengan mengembangkan niat baik.
Berangkat dari pandangan Bourdieu ini, maka bisa saja dipahami bahwa Gatot tengah mengumpulkan modal sosial untuk meraih kekuasaan.
Status sosial atau prestise Gatot sebagai mantan panglima TNI tentu dapat Ia manfaatkan sebagai modal yang menguntungkan dirinya. Apalagi dalam setiap gelaran Pilpres, hampir bisa dipastikan dikotomi capres militer vs capres sipil akan selalu muncul ke permukaan. Gatot dapat mengkapitalisasi statusnya itu untuk mengambil ceruk dukungan dari kalangan yang memiliki preferensi di dunia militer.
Keterlibatan Gatot dalam gerakan KAMI yang membawa narasi ‘gerakan moral untuk menegakkan kebenaran’ juga dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk ‘mencapai posisi kekuasaan dengan mengembangkan niat baik’ seperti yang dimaksud oleh Bourdieu.
Regina Birner dan Heidi Wittmer juga menyebut bahwa modal sosial ini dapat dikonversi menjadi modal politik. Dalam tulisan mereka yang berjudul Converting Social Capital into Political Capital, mereka mencontohkan bagaimana suatu komunitas lokal di Thailand berhasil memengaruhi keputusan politik pemerintah secara nasional terkait RUU Kehutanan Masyarakat.
Keberhasilan ini diraih berkat kerja sama anggota-anggota komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang untuk mencapai tujuan politik yang sama.
Dalam konteks yang berbeda, Gatot tentu dapat memanfaatkan jejaringnya di KAMI untuk menjadi modal politiknya. Apalagi anggota-anggota yang tergabung di KAMI juga berasal dari kalangan intelektual lintas sektor.
Singkatnya, jika Gatot mampu menkonsolidasikan atau mempersatukan berbagai elemen masyarakat yang tergabung dan mendukung KAMI, ini tentunya dapat digunakan sebagai modal politik yang mumpuni bagi mantan Panglima TNI tersebut.
Belum Cukup?
Meski secara teori Gatot dapat memanfaatkan KAMI untuk kepentingan Pilpres, namun pendiri lembaga survei KedaiKOPi Hendri Satrio berpendapat lain. Menurutnya, KAMI memang bisa meningkatkan popularitas Gatot, namun tak akan bisa dijadikan sebagai kendaraan politik.
Ia mengacu pada fakta dalam Pasal 6A UUD 1945 yang mengamanatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusung oleh partai politik. Aturan inilah yang menjadi batu sandungan paling besar bagi Gatot yang belum memiliki basis dukungan dari kalangan partai politik.
Jika serius ingin bertarung pada Pilpres 2024, Ia menyarankan Gatot untuk mengikuti jejak Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan membuat partai sendiri, atau mengikuti jejak Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang mengubah ormasnya menjadi partai politik.
Namun begitu, langkah Gatot untuk mewujudkan dua opsi tersebut agaknya tak akan mudah. Meski pegiat yang tergabung dalam KAMI memiliki visi yang sama, namun tak dapat dipungkiri tokoh-tokoh di dalamnya memiliki basis pendukung masng-masing, seperti Rizal Ramli, Din Syamsuddin dan Rachmawati Soekarnoputri.
Belum lagi, dalam beberapa kesempatan, sejumlah simpatisan KAMI menegaskan gerakan tersebut tidak dimaksudkan untuk memunculkan calon presiden untuk Pemilu 2024.
Secara umum, kans Gatot untuk maju dalam Pilpres 2024 memang tak terlalu banyak diuntungkan pascadeklarasi gerakan KAMI. Akan tetapi, jika memang gerakan ini terus berkembang menjadi sebuah gerakan yang konstruktif, bukan tidak mungkin, pada akhirnya Gatot sebagai salah satu deklarator KAMI akan diuntungkan secara politis dari gerakan ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.