Site icon PinterPolitik.com

Kamboja Melawan

Foto: Google

Menurut PM Hun Sen, Kamboja tidak pernah menuntut AS membayar ganti rugi atas kerusakan yang disebabkan perang. Kamboja hanya ingin AS bertanggung jawab atas masalah yang disebabkan utang itu.


pinterpolitik.com

[dropcap size=big]P[/dropcap]emerintah Amerika Serikat menagih “utang perang” sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 6,6 triliun dari Pemerintah Kamboja. Tagihan itu berawal pada 1970-an, ketika AS membantu Kamboja sekitar US$ 274 juta untuk membeli pasokan makanan ketika negara di kawasan Indochina itu terlibat perang Vietnam.

Penagihan utang ini membuat geram Kamboja. Sampai-sampai Perdana Menteri Hun Sen menyebutkan, uang yang dipinjamkan Amerika itu dulu adalah uang kotor, karena dipakai untuk membeli senjata, bukan makanan. Kata Hun Sen, AS tidak berhak meminta Kamboja membayar utang yang “berlumuran darah” setelah negara adidaya itu menghujani Kamboja dengan bom selama perang Vietnam.

“AS menciptakan masalah di negeri saya dan kini menginginkan uang dari kami,” ujar PM Kamboja kepada media setempat, baru-baru ini.

Perdana Menteri Kamboja saat ini, Hun Sen. (Foto: Google)

Masih menurut PM Hun Sen, Kamboja tidak pernah menuntut AS membayar ganti rugi atas kerusakan yang disebabkan perang. Kamboja hanya ingin AS bertanggung jawab atas masalah yang disebabkan utang itu.

Kabarnya, beberapa waktu lalu Hun Sen sudah meminta pemerintah AS untuk menunda pembayaran utang, tetapi Washington mengabaikan permintaan tersebut. Jadinya, hubungan Kamboja dan AS agak terganggu.

Kisah “uang yang dipersengketakan itu” dimulai antara 1972 dan 1974. Kala itu, Departemen Pertanian AS mengucurkan dana sebesar US$ 274 juta  untuk membeli kapas, beras, dan tepung bagi Republik Khmer (saat itu) yang didukung AS. Republik Khmer adalah sekutu AS dalam perang untuk memangkas perkembangan komunisme di Asia Tenggara. Pada perang tersebut AS menjatuhkan lebih dari 500.000 ton bahan peledak di kawasan perdesaan Kamboja.

Meningkatkan Anggaran AS

Tekad Presiden Donald Trump untuk meminta kontribusi dari negara-negara yang memanfaatkan bantuan militer negaranya disampaikan beberapa hari setelah dia dilantik sebagai orang nomor satu di negara Paman Sam. Itu terkait dengan rencana AS meningkatkan kemampuan pertahanan, yang sudah dipublikasikan Trump pada masa kampanye pemilihan presiden tahun lalu.

Presiden Amerika ke-45, Donald J. Trump. (Foto: money.cnn.com)

Pernyataan berjudul “Make Our Military Strong Again” yang dirilis di situs berita Gedung Putih, belum lama ini, menyebutkan, AS akan memprioritaskan penambahan kemampuan pertahanan dan daya gempur siber. Amerika  juga akan mengembangkan sistem pertahanan peluru kendali berteknologi termutakhir untuk melindungi negara itu dari serangan rudal  Iran dan Korea Utara.”

Keinginan memperkuat pertahanan itu kemungkinan tidak terlepas dari kenyataan bahwa belakangan ini, postur kekuatan Angkatan Laut AS menyusut dari 500 kapal pada 1991 menjadi 275  pada 2016. Kemudian, kekuatan Angkatan Udara AS, kini, sepertiga lebih kecil dibandingkan dari posisi 1991.

Memperkuat militer berarti meningkatkan anggaran. Nah, pengadaan anggaran  akan diwujudkan dengan cara, antara lain,  memangkas anggaran sosial (seperti lingkungan), mengurangi secara besar-besaran bantuan luar negeri, serta meminta kontribusi dari negara asing yang memanfaatkan bantuan militer AS.

Dalam wawancara dengan stasiun televisi, belum lama ini, Trump mengatakan,  AS memiliki daftar negara-negara yang menggunakan bantuan militer AS dan selama ini tidak membayar apa pun. Seperti itulah jalan cerita mengapa AS kemudian menagih bantuan dari Kamboja.

Keterlibatan AS dalam perang di berbagai negara sudah menjadi bagian dari sejarah dunia. Jauh sebelum Perang Dunia I dan II, AS sudah masuk dalam lingkaran koalisi dengan negara-negara lain, misalnya, pada peperangan era Napoleon.  Hal yang sama juga dilakukan oleh Uni Soviet (ketika itu) dan beberapa negara lain. Maka, tidak heran apabila AS memiliki daftar rekan-rekan yang dibantu dalam operasi militer.

Dibayangi ketakutan akan gelombang komunisme yang sedang menjalar di Asia Tenggara, Amerika Serikat tahun 1955 di bawah Presiden John F. Kennedy dan kemudian Lyndon B. Johnson, mendeklarasikan perang terhadap Vietnam Utara yang didukung Uni Soviet dan Tiongkok. (Foto: www.dw.com)

Pampasan Perang

Selama ini, kita lebih sering mendengar istilah pampasan perang, yakni pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negara pemenang perang dari negara yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material.

Istilah pampasan perang mulai digunakan setelah Perang Dunia I berakhir. Pada saat itu, pihak Sekutu meminta pampasan dalam jumlah besar dari Jerman, namun mereka kesulitan menagihnya. Kemudian, setelah Perang Dunia II berakhir, Uni Soviet dan Sekutu Barat mengumpulkan pampasan dalam bentuk material (seperti perlengkapan industri) langsung dari wilayah Jerman. Kabarnya, perselisihan yang terjadi karena pampasan perang adalah salah satu faktor yang menyebabkan renggangnya hubungan Uni Soviet dan negara-negara Barat.

Merujuk bahan kepustakaan, setelah Perang Dunia I dan II, Jerman dan aliansinya dinyatakan bersalah karena telah memulai perang dan harus membayar pampasan. Semula, penarikan pampasan perang adalah sebagai ganti rugi kerusakan akibat perang, tapi kemudian menjadi sumber dana bagi negara pemenang perang untuk mendanai biaya militer mereka.

Pada 1952, Jepang menandatangani perjanjian damai dengan 49 negara, yang di antaranya mengatur tentang pembayaran pampasan kepada Indonesia, Burma, Filipina, dan Thailand. Sebagian besar pampasan tersebut dibayarkan dalam bentuk jasa, material, dan investasi.

Kehadiran industri Jepang di Indonesia tidak bisa terlepas dari penandatanganan perjanjian pemberian uang pampasan perang pada 1958. Setelah Jepang menyatakan kalah pada Perang Dunia II, Indonesia mulai memasuki babak baru sebagai negara merdeka. Kemudian,  kubu Sekutu membawa Jepang untuk menandatangani Perjanjian San Fransisco, yang salah satunya menuntut Jepang bertanggung jawab secara moral dan material kepada negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia.

Perundingan mengenai uang pampasan perang Jepang ke Indonesia terbilang alot karena memakan waktu hingga delapan tahun. Pada awalnya, dua kubu di Jepang ikut campur dalam proses perundingan.  Pertama, pihak mantan militer yang menginginkan agar bantuan mampu memulihkan citra Jepang sekaligus menjaga jalinan khusus dengan Indonesia. Pihak kedua, pengusaha yang  ingin ikut serta dalam perundingan karena melihat Indonesia punya ladang bisnis yang bisa dimanfaatkan.

Ketika itu, pihak Indonesia meminta USD 17,5 miliar, tetapi Kementerian Luar Negeri Jepang menolak dengan alasan kerusakan yang ditimbulkan Jepang tidak banyak. Apalagi, perang Jepang bukan melawan Indonesia. Bahkan melalui kementeriannya, Jepang mengklaim telah memberikan banyak sumbangan kepada Indonesia, lewat  suplai makanan, pakaian, dan amunisi.

Perundingan dilanjutkan oleh Kabinet Juanda. Tetapi, Indonesia tidak dapat menerima kompensasi disamakan dengan yang akan diterima negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar dan Filipina, yang masing-masing mendapatkan USD 200 juta dan USD 550 juta.

Sidang bilateral lanjutan menyepakati kompensasi yang diterima berupa dana pampasan atau biaya ganti rugi perang senilai US$ 223,08 juta. Pembayarannya dalam bentuk fasilitas-fasilitas serta pinjaman US$ 80 juta. Keputusan ini ditandatangani Soekarno pada 1958. Kompensasi dibayarkan dalam 12 tahun, yakni US$ 20 juta per tahun dan US$ 3,08 juta pada tahun terakhir.

Pengamat internasional dari Global Future Institute, Hendrajit, menilai dana pampasan perang juga semacam uang tutup mulut terhadap tiga kejahatan perang Jepang, yaitu romusha, juugun ianfu, dan heiho atau wajib militer. “Mereka ingin membersihkan masa lalu Jepang yang buruk,” ujar Hendrajit, sebagaimana dikutip dari merdeka.com, Minggu (3/11/2013).

Intervensi Jadi Kontroversi

Kini, AS menagih pengganti bantuan dari Kamboja, yang diberikan  pada masa perang Kamboja-Vietnam, satu  konflik antara Republik Sosialis Vietnam dan Kamboja. Perang ini dimulai dengan invasi dan pendudukan Vietnam terhadap Kamboja dan penurunan Khmer Merah dari kekuasaan. Penagihan “utang perang” inilah yang membuat PM Hun Sen geram.

Elizabeth Becker, wartawan yang meliput genosida di Kamboja pada 1970-an,  mengatakan, tuntutan agar Kamboja mengembalikan uang itu sungguh tidak bermoral.

Elizabeth Becker adalah seorang penulis pemenang penghargaan dan wartawan yang meliput urusan nasional dan internasional sebagai koresponden New York Times dan anggota staf yang memenangkan Penghargaan Pulitzer 2002 untuk Layanan Umum. (Foto: Google)

Ia berpendapat, intervensi AS di Kamboja adalah sebuah kontroversi pada masa itu. AS menyeret Kamboja ke dalam Perang Vietnam dengan harapan setelah perang meluas  AS bisa memenangkan konflik itu. Ia juga mengatakan, komplikasinya kini dirasakan setelah 50 tahun berlalu, warisan Khmer Merah sangat mengerikan.

Seperti dikemukakan Machiavelli, perang merupakan suatu dasar alamiah untuk menyelesaikan masalah dan hal yang penting untuk dilakukan. Jika suatu negara gagal menerapkan  diplomasi untuk menyelesaikan konflik atau pun mencapai kepentingannya, perang menjadi jalan yang penting untuk ditempuh.

Ia juga mengatakan, jika suatu negara terlibat dalam konflik yang berujung pada perang, maka warga negara harus ikut mendukung negara secara penuh, yang secara sederhana disebut dengan istilah conscript atau wajib militer. Tanggung jawab dalam mendukung atau membela negara berada pada seluruh warga negara.

Kita simak juga pandangan seorang jenderal dan intelektual dari Prusia, Carl von Clausewitz (1780-1831) dalam bukunya On War, yang menyebutkan, perang hanyalah kelanjutan dari politik atau kebijakan dengan cara lain.  Ia berpendapat, tujuan perang adalah mengalahkan dan melucuti senjata. Kalau lawan tidak dikalahkan secara total, maka dia akan bisa mengalahkan kita di kemudian hari, yang akhirnya  akan memaksakan kehendaknya pada pihak yang sebelumnya memenangkan peperangan.

Lebih dari 1,3 juta orang tewas terbunuh selama perang Vietnam. Amerika sendiri kehilangan sekitar 56.000 serdadu, sementara 156.000 lainnya mengalami luka atau cacat seumur hidup. Namun jumlah tersebut tidak sebanding dengan angka kematian yang disebabkan pengeboman militer AS, yakni hingga 200.000 warga sipil dan militer di Vietnam dan Kamboja. (Foto: www.dw.com)

Payung Hukum Bantuan

Jelas, perang ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Untuk memenangkannya ditempuh jalan, antara lain, meminta bantuan dari negara lain, yang kemampuan perangnya, baik pasukan maupun peralatan tempur, lebih baik. Tetapi, apakah permintaan bantuan itu mesti dibayar kelak tentu harus dibuka perjanjian yang jadi payung hukumnya.

Dalam konteks ini dapat dipahami kegalauan dan kemarahan  Kamboja atas sikap AS yang meminta kontribusi sebagai ganti atas bantuan militer yang diberikan puluhan tahun lalu. Kita pula dapat memahami mengapa AS harus menagih pengganti bantuan dimaksud.

Sebagai sesama anggota Perhimpunan Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN), kita berharap Kamboja dan AS dapat menyelesaikan masalah krusial ini dengan baik, terutama dengan mengedepankan diplomasi. Kita percaya, untuk menyelesaikan masalah sepelik apa pun dalam hubungan bilateral, diplomasi masih menjadi kekuatan ampuh dan berdaya tahan lama. (Berbagai sumber/E19)

Exit mobile version