Dengarkan artikel ini:
Calon presiden (capres) Partai Demokrat, Kamala Harris, akhir-akhir ini mendapatkan banyak perhatian dari warganet di Amerika Serikat (AS). Mungkinkah Kamala telah lampaui Taylor Swift?
“You think you just fell out of a coconut tree?” – Kamala Harris, Wakil Presiden ke-49 Amerika Serikat (AS)
Begitulah kata Wakil Presiden (Wapres) ke-49 Amerika Serikat (AS) Kamala Harris pada Mei 2023 silam. Kala itu, Kamala ingin menyampaikan bahwa semua hal berhubungan dan masyarakat tidak bisa hidup sendiri-sendiri.
Pernyataan tahun 2023 ini tampaknya kembali viral akhir-akhir ini di sejumlah platform media sosial (medsos), seperti X dan TikTok. Sebuah video menunjukkan cuplikan video pernyataan ini yang kemudian dicampur dengan lagu Charli XCX yang berjudul “360” dari album Brat (2024).
Video viral inipun diikuti juga dengan video-video lainnya yang menunjukkan momen-momen Kamala dengan tema album Brat. Beberapa bahkan menunjukkan Kamala yang sedang menari, berdansa, atau berjoget.
Keterkaitan Kamala dengan tema-tema ala Brat ini sebenarnya datang dari Charli XCX sendiri. Setelah Presiden ke-46 AS Joe Biden mengumumkan bahwa dirinya mundur dari kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024, Charli langsung mengeluarkan kicauan menarik.
“kamala IS brat,” begitu kicau akun X yang bernama @charli_xcx pada 22 Juli 2024 lalu. Akun kampanye Kamala, @KamalaHQ, langsung menggunakan ini sebagai referensi kampanye mereka dengan memasang referensi Brat sebagai foto header.
Respons warganet terhadap Kamala ini bisa dibilang menarik. Pasalnya, sebelumnya, perhatian publik pada Kamala sangatlah kecil.
Fenomena ini disebut sebagai Kamala-nomenon. Dibandingkan Biden, jumlah views terhadap video-video kampanye Kamala sangat signifikan meningkat pada bulan Juli 2024 ini.
Lantas, apakah ini pertanda bahwa Kamala bisa memenangkan Pilpres AS 2024 ini? Mungkinkah Kamala telah memperoleh banyak “fans” layaknya selebriti Amerika seperti Taylor Swift yang selalu mendapat dukungan dari warganet?
Memefikasi ala Kamala
Apa yang terjadi sebenarnya bisa disebut sebagai memefikasi. Dengan menggunakan pesan-pesan dengan format meme, komunikasi politik diharapkan bisa menjangkau audiens yang lebih luas, khususnya mereka yang tidak memiliki kesetiaan politik (swing voters) terhadap partai tertentu.
Mengacu pada tulisan Lindsay Beltzer yang berjudul Why Brand Relatability Matters to Millennials and Gen Z, kesesuaian (relatability) adalah hal yang penting. Jika mereka merasa sesuai dengan brand tersebut, maka pilihan merekapun akan jatuh pada brand tersebut.
Inilah mengapa pada akhirnya banyak brand berusaha mencocokkan diri dengan generasi milenial dan Gen Z. Pasalnya, mereka adalah generasi terbesar yang memiliki energi penggerak bagi masyarakat secara umum.
Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan menggunakan meme. Meme sendiri merupakan salah satu unsur budaya internet, sebuah budaya yang hanya dipahami penuh oleh generasi Milenial dan Gen Z, yakni dua generasi yang tumbuh dan besar bersama budaya internet.
Meme memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan menggerakkan wacana politik. Kecepatan dan jangkauan meme menjadikannya alat yang kuat untuk memengaruhi persepsi politik.
Salah satu contoh paling nyatapun terjadi di negara kita sendiri, Indonesia. Dalam Pilpres 2024 lalu, Prabowo Subianto keluar sebagai pemenang dan terpilih untuk menjabat sebagai presiden pada 2024-2029.
Strategi kampanye yang digunakan Prabowo kala itu adalah berjoget. Konten-konten joget ini kemudian menyebar dengan cepat sebagai meme yang digunakan oleh kelompok Milenial dan Gen Z untuk membicarakan Pilpres 2024.
Hal yang sama bukan tidak mungkin tengah dilakukan oleh Kamala, apalagi sebelumnya bukan menjadi capres yang diusung secara utama oleh Partai Demokrat. Meme adalah jalan pintas yang sesuai untuk Kamala untuk menjangkau pemilih Demokrat dan menjadi relatable dengan pemilih-pemilih Amerika.
Lantas, apakah hanya meme yang menjadi penting? Apakah konten-konten receh saja yang digunakan agar bisa memenangkan kontestasi politik layaknya Pilpres AS 2024? Mengapa demikian?
Lampaui Taylor Swift?
Pada tahun 2018 silam, seorang penyanyi terkenal asal AS bernama Taylor Swift mengumumkan dukungan politiknya untuk Partai Demokrat. Pengumuman itu memecahkan kesunyian suara politik dari Taylor selama bertahun-tahun.
Salah satu lagunya yang terkenal pada tahun 2020 adalah “Only The Young” (2020). Lagu itu memiliki pesan politik yang mendalam, yakni mendukung anak-anak muda untuk beraksi melawan ketidakadilan yang kala itu diatribusikan pada sosok Presiden ke-45 Donald Trump.
Mengacu pada tulisan Simone Driessen yang berjudul “Campaign Problems: How Fans React to Taylor Swift’s Controversial Political Awakening,” pengumuman politik Taylor ini menjadi semacam pembuktian bahwa dirinya tetap bisa menjadi Taylor sepenuhnya meskipun menyandang status sebagai figur populer.
Branding ini yang kuat melekat pada Taylor: pada lagu-lagunya, pada sejarah konfliknya dengan label musik, hingga pada perjuangannya sebagai penyanyi country perempuan. Inilah yang akhirnya membuat Taylor begitu relatable.
Hal yang sama juga bisa jadi dilakukan oleh Kamala. Seperti yang dijelaskan Beltzer dalam tulisannya yang telah disebutkan di atas, relatability juga menyangkut pada empat komponen lain, yakni kompetensi, empati, kepercayaan diri (confidence), dan karakter.
Kombinasi empat inilah yang dilakukan oleh Taylor selama ini, dengan menyajikan cerita dan narasi bahwa dirinya selalu berjuang melawan ketidakadilan yang dia hadapi, mulai dari kasus Kanye West hingga Scooter Braun.
Kamala-pun mulai menyajkan narasi yang mirip. Sebagai perempuan yang lahir dari kelompok non-kulit putih, Kamala harus mendaki karier politik yang penuh dan didominasi oleh laki-laki.
Dengan narasi-narasi yang relatable ini, ditemani dengan penyajian melalui meme, bukan tidak mungkin Kamala bisa mendapatkan dukungan loyal dari warga Amerika, setidaknya untuk mengguncang Pilpres AS 2024 mendatang. (A43)