Kalender yang kita gunakan sekarang mengacu pada kalender yang digunakan para orang Roma ribuan tahun yang lalu. Dan ternyata, sejarah kalender masehi menyimpan cerita politik yang menarik.
“Selamat tahun baru!”
Itulah kalimat yang akan diucapkan jutaan orang di seluruh dunia. Yap, tahun baru 2023 sudah di depan mata.
Setiap tahunnya, peradaban manusia modern merayakan tanggal 1 Januari sebagai awal mula tahun baru. Umumnya, kita melihat tanggal ini tidak hanya sebagai penanda akhir tahun, tapi juga disertai sejumlah harapan agar di tahun yang mendatang kehidupan kita lebih baik.
Tanggal ini mungkin jadi satu-satunya tanggal yang dirayakan oleh semua orang di semua negara di dunia.
Tapi, pernahkah kalian bertanya-tanya, mulai sejak kapan sebenarnya tanggal 1 Januari dianggap sebagai awal tahun?
Well, kebiasaan ini awalnya adalah akibat kebijakan diktator Roma yang namanya mungkin sering kita dengar, yakni Julius Caesar.
Pada saat dirinya menjadi Pontifex Maximus, atau pendeta berstatus tertinggi di Roma, Caesar menetapkan sistem kalender bernama Kalender Julian, dan menjadikan 1 Januari sebagai awal tahun baru sejak tahun 45 sebelum masehi (SM).
Kalendar Julian sendiri namanya diambil dari nama keluarga besar Caesar, keluarga Julian. Namun, peran Caesar sebagai pontifex tidak hanya terkait penentuan tanggal tahun baru saja.
Ternyata, ada sejumlah keputusan politik lain Caesar yang berhubungan dengan kalender Roma, yang akhirnya menentukan alur catatan sejarah.
Kalender Lahirkan Kekaisaran Roma?
Bersamaan dengan Gnaeus Pompeius Magnus (Pompey) dan Marcus Licinius Crassus, Caesar menjadi bagian dari aliansi politik tiga politisi besar Roma yang disebut Triumvirat Pertama Republik Roma. Pada dasarnya, triumvirat ini dibentuk oleh tiga orang tadi untuk menyatukan kekuatan melawan oposisi mereka di senat Roma.
Akan tetapi, seiring waktu triumvirat ini hancur perlahan-lahan. Ini bukan karena mereka tidak menemukan kecocokan, tetapi karena Caesar memiliki kekuatan politik dan dukungan massa yang semakin lama lebih kuat dibanding rekan triumviratnya. Oleh karena itu, perselisihan di antara mereka jadi sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Puncak dari persaingan para triumvirat ini adalah ketika perang sipil meletus antara kubu Caesar dan kubu Pompey, dan yang menariknya salah satu momen terpenting yang membuat Pompey kalah dari Caesar adalah tipu muslihat dalam memainkan kalender.
Pada tahun 48 SM, pasukan Pompey berkumpul di Yunani, mereka merasa aman dari serangan Caesar karena pada saat itu adalah musim dingin (Desember-Februari). Secara rasional, hampir mustahil Caesar mengirimkan pasukannya menyeberang dari Semenanjung Italia ke Yunani melewati Laut Adriatik, karena laut tersebut terkenal memiliki arus besar berbahaya setiap musim dingin.
Namun, Pompey tidak tahu bahwa kalender yang mereka pegang adalah sistem kalender yang sudah beberapa kali diolah Caesar. Pompey menganggap saat itu mereka sedang berada di musim dingin, padahal sebenarnya saat itu adalah musim gugur (September-November).
Akibatnya, yang terjadi adalah pasukan Caesar berhasil menyeberang Laut Adriatik dengan perlawanan yang minim di laut. Semuanya kemudian berujung pada Pertempuran Pharsalus, yang menghasilkan kekalahan kubu Pompey.
Hal ini tentu hanya jadi salah satu contoh saja. Dalam masa-masa Caesar menjadi pontifex, sejumlah fenomena politik dan sosial terjadi akibat kebijakannya mengolah kalender. Bahkan tahun 46 SM dianggap jadi tahun terlama dalam sejarah karena Caesar membuat satu tahun menjadi 445 hari. Semua ini dilakukan demi memperpanjang jabatan dan menyesuaikan kepentingan politik dengan acara-acara religius sakral di Roma.
Pada akhirnya, permainan kalender ini menjadikan Caesar sebagai orang terkuat di Roma dan meskipun Caesar tidak sempat jadi kaisar, dampak dinamika politik yang ia buat membuat Romawi menjadi sebuah Kekaisaran beberapa tahun mendatang.
Oleh karena itu, Sacha Stern dalam tulisannya Calendars, Politics, and Power Relations in the Roman Empire menyebutkan bahwa dalam sejarah awal pembuatannya, kalender Roma bertindak tidak lain hanya sebagai perangkat politik para penguasanya.
Dalam pembungkusannya, mungkin disebutkan bahwa perubahan kalender termotivasi oleh kepentingan budaya dan agama, tapi pada intinya itu semua demi agenda politik.
Menarik kemudian untuk kita refleksikan hal ini ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Ternyata, hal “sepele” seperti kalender yang selalu kita gunakan setiap hari adalah bekas permainan politik para penguasa ribuan tahun yang lalu. (D74)