Kasus gagal ginjal akut menyerang Indonesia, ratusan anak jadi korbannya. Sudah cukup tanggapkah pemerintah merespons kasus ini?
Kasus ginjal akut belakangan menyita perhatian masyarakat. Sesuai perkembangannya, ditemukan setidaknya ada 206 kasus dan yang mirisnya, terdapat 99 anak meninggal akibat penyakit ini. Jika dipersentasikan, angka tersebut artinya hampir 50 persen penderita penyakit ginjal akut dipastikan meninggal.
Penyakit yang sebelumnya juga berhasil menggemparkan Gambia ini diduga kuat diakibatkan tiga zat berbahaya bernama ethylene glycol atau etilen glikol (EG), diethylen glycol atau dietilen glikol (DEG), dan ehylene glycol buthyl ether (EGBE). Zat-zat ini ternyata cukup sering ditemukan dalam beberapa obat cair, utamanya obat yang cukup generik, yakni parasetamol, yang sering digunakan orang untuk turunkan panas demam.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan bersama dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah menggalakan gerakan menyetop penggunaan obat cari sementara, termasuk parasetamol, selama proses identifikasi medis berlanjut. Sebagai langkah konkretnya, Kemenkes merilis Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak, pada 18 Oktober.
Namun, kritik kemudian dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad. Menurutnya, dalam menanggapi masifnya korban kasus ginjal akut ini, pemerintah terlihat masih bersikap abu-abu. Di satu sisi, pemerintah melalui Kemenkes memang sudah lempar imbauan penggunaan obat parasetamol cair, tapi di sisi lain, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono justru dinilai membuat publik bingung dengan mengatakan bahwa parasetamol sebenarnya aman.
Hal ini dinilainya menciptakan situasi yang tidak pasti tentang keadaan yang sebenarnya, terutama bagi orang-orang yang awam dunia medis. Bagi mereka yang memang familiar, mungkin memahami perbedaan parasetamol mana yang berbahaya dan yang tidak akan mudah, tapi bagi yang sama sekali tidak tahu, narasi yang disampaikan pemerintah ini menurut Sufmi mampu menimbulkan kesimpangsiuran dan fitnah.
Lantas, apakah respons pemerintah tentang kasus ini sudah tepat?
Ada Kesalahan Retorika?
Sebelum membahas ini lebih lanjut, ada satu hal yang sepertinya perlu kita kritisi tentang komunikasi publik yang dilakukan pemerintah, khususnya Kemenkes, yaitu teknik retorika.
Negarawan Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero dalam publikasinya The Five Cannon of Rethoric, menyebutkan bahwa ada lima indikator dalam menakar sebuah retorika yang bagus dan yang tidak. 1) invention (rumusan narasi yang ingin disampaikan), 2) arrangement (penyusunan materi narasi), 3) style (cara penyampaian narasi), 4) delivery (eksekusi penyampaian narasi), 5) memory (kemampuan menyimpan gagasan/narasi dalam ingatan dan mengungkapkan kembali pada waktunya).
Dari kelima indikator tersebut, faktor delivery mungkin jadi yang paling penting dalam komunikasi publik karena hal ini berperan sebagai pembawa pesan yang perlu dipahami oleh masyarakat, sekaligus jadi gambaran tentang sikap pemerintah terhadap suatu krisis yang sedang ditanganinya. Terkait kasus gagal ginjal, jika mengacu pada apa yang disampaikan Cicero, pihak Kemenkes seharusnya lebih memperhatikan persepsi publik tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Walau apa yang disampaikan melalui sejumlah pernyataan pejabat Kemenkes dan Surat Edaran mengenai parasetamol adalah hal yang masing-masing benar, tidak semua lapisan masyarakat mampu memahami secara detil perbedaan obat-obat cair. Sehingga, apa yang berpotensi terjadi di lapangan adalah justru akan muncul perdebatan besar antar elemen-elemen masyarakat tentang obat mana yang aman dan obat mana yang tidak. Terlebih lagi, manusia terkadang memiliki bias tertentu terhadap hal-hal yang mereka harapkan benar.
Oleh karena itu, alih-alih memperdebatkan pernyataannya sendiri, Kemenkes seharusnya mampu membatasi informasi detil tentang obat-obat tertentu jika memang mereka belum secara pasti menentukan obat berbahaya seperti apa yang sebenarnya menyebabkan penyakit gagal ginjal akut. Perlu dipahami bahwa hal ini pantas dilakukan bukan karena ingin membatasi informasi masyarakat, tetapi untuk mencegah adanya kesimpangsiuran informasi agar masyarakat merasa pasti.
Akan tetapi, tentu permasalahan tentang obat berbahaya dan kasus gagal ginjal akut ini tidak hanya soal retorika saja
Mengapa Bisa Jadi Masalah Besar?
Jika kita ingin menelisik kasus ini lebih dalam, permasalahan menentukan obat mana yang perlu dijadikan “tersangka” dan mana yang tidak, mungkin adalah ujung tanduk dari sebuah permasalahan yang lebih besar.
Sudah jadi rahasia umum bahwa diduga ada mafia dalam produksi dan pendistribusian obat di Indonesia. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Sadikin bahkan pernah mengakui hal itu, dengan mengatakan industri farmasi Indonesia sepertinya terhambat permainan para mafia sehingga tidak bisa berkembang dengan efektif.
Ini kemudian berkorelasi dengan sejumlah kasus obat ilegal yang pernah melanda Indonesia. Penemuan ribuan obat ilegal yang seringkali dilaporkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengindikasikan bahwa sepertinya ada semacam “lubang” yang mampu dieksploitasi para mafia obat agar mereka bisa mendapatkan keuntungan dengan penjualan obat ilegal.
Jika hal ini benar, tentu masuk akal bila penelusuran obat parasetamol mana yang berbahaya dan mana yang tidak akan menemui kesulitannya tersendiri. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah juga lakukan investigasi yang mendalam tentang kenapa permasalahan ini bisa menjadi besar dari tahap pertama, utamanya yang berkaitan dengan regulasi obat berbahaya.
Terkait hal itu, mungkin fenomena ini juga bisa berperan layaknya sentilan bagi peraturan tentang dunia medis di Indonesia. Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menyoroti bagaimana Indonesia bisa tertimpa masalah obat berbahaya dan kasus ginjal akut, dan menurutnya, hal ini bisa terjadi karena pengawasan obat berbahaya di Indonesia yang dasarnya memang masih lemah.
Zat-zat berbahaya dalam obat cair seperti EG, DEG, dan EGBE baru dideteksi sekarang, padahal nilai berbahaya mereka terhadap ginjal sesungguhnya sudah diketahui sejak lama. Ini membuktikan bahwa dari quality control sendiri, mungkin masih banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah.
Lantas, apa respons pantas yang perlu dilakukan pemerintah?
Saatnya Terapkan KLB?
Selain harus lebih memperkuat fungsi pengawasan produksi dan distribusi obat, dalam jangka waktu dekat pemerintah juga perlu membawa permasalahan gagal ginjal ini ke tahapan yang lebih serius.
Kembali mengutip apa yang disampaikan Dicky, besar dugaannya bahwa jumlah korban obat berbahaya yang sebenarnya jauh lebih besar dari sekadar 200-an orang saja. Terlebih lagi, penggunaan obat parasetamol cair juga meningkat banyak akibat pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya pemerintah segera terapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terhadap kasus ginjal akut ini karena jika tidak mendapatkan penanganan yang menyeluruh secara cepat, ada kemungkinan semuanya bisa menjadi lebih parah.
Dan kalau kita merujuk pada Peraturan Menkes No. 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan, penyakit gagal ginjal akut sudah mulai memenuhi kriteria KLB, seperti peningkatan yang sudah melebihi dua kali lipat dalam waktu dekat (36 kasus Bulan Agustus, 206 kasus bulan Oktober), dan fatality rate atau tingkat kematian yang mendekati 50 persen.
Pemerintah pun juga perlu merefleksikan kejadian ini dengan apa yang dikatakan Niccolò Machiavelli dalam bukunya Diskursus, yang menegaskan bahwa hal yang terpenting dalam menjaga kestabilan negara adalah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.
Jika dalam suatu krisis pemerintah menunjukkan sikap yang justru menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan di masyarakat, maka hal itu tidak hanya akan menimbulkan keraguan dari masyarakat terhadap kapabilitas pemerintahnya dalam menangani krisis, tapi juga kepanikan karena pihak yang seharusnya membuat mereka merasa tentang justru bertindak sebaliknya.
Dengan demikian, agar masalah gagal ginjal akut ini tidak menjadi lebih besar, pemerintah harus berani mengambil langkah yang lebih tegas, salah satunya dengan menetapkan status KLB dan mengurangi permainan narasi kata-kata tentang parasetamol mana yang aman dan yang tidak aman, karena hal ini justru akan membuat masyarakat awam semakin bingung.
Di saat yang bersamaan, ini juga jadi momen bagi pemerintah untuk mulai mempertimbangkan penanganan yang tepat bagi semua kalangan masyarakat, karena tentu jika kasus ini menyebar ke daerah yang sulit dijangkau, perlu ada kebijakan yang mampu menjawab keperluan merujuk masyarakat yang jauh dari rumah sakit.
Bagaimanapun juga, besar harapannya kasus mengerikan ini tidak berkembang menjadi lebih parah. Semoga segala proses kesehatan yang perlu dilakukan bisa berjalan dengan lancar. (D74)