Wacana komoditas racun kalajengking Presiden Jokowi membuat oposisi dan juga masyarakat terhenyak. Ada apa dengan kalajengking?
PinterPolitik.com
“Muslihat terbesar yang diderita manusia, adalah dari pendapatnya sendiri.” ~ Leonardo da Vinci
[dropcap]A[/dropcap]koen pasenkhe atau peperangan atau keributan yang sangat besar, begitulah prinsip hidup dari Raja Mesir Kuno pertama yang dikenal sebagai Scorpion King. Menurut para ahli sejarah, Raja yang juga diduga memiliki nama sebagai Mena, Weha, atau Selk ini hidup pada Periode Protodinasti, ketika dewa-dewa masih berkuasa.
Sebagai Raja Mesir Kuno pertama, namanya begitu melegenda karena menjadi Raja yang mampu menyatukan Mesir Hulu dan Mesir Hilir atau Mesir Putih dan Mesir Merah. Walau dikenal sebagai Raja yang begitu melindungi rakyatnya, Scorpion King juga dilukiskan sebagai sosok yang menakutkan dan pembawa kematian.
Kesan mematikan dan melindungi yang merupakan gambaran dari Raja Mesir tersebut, sepertinya memang sangat cocok dengan sosok binatang yang menjadi julukannya, yaitu kalajengking. Di zaman modern seperti sekarang ini, di mana hutan belantara yang merupakan habitatnya mulai punah, keberadaan kalajengking pun ikut tersingkirkan.
Pak Dhe @jokowi mengatakan racun kala jengking adalah racun termahal di dunia harganya /Liter sekitar USD 10,5jt luar biasa.??
Ternyata setelah saya browsing apa yg dikatakan pakde benar, racun kalajengking sekarang merupakan cairan ter mahal didunia.#2019TetapJokowi pic.twitter.com/qzZUaVRSI5
— Capres Abadi (@P3nj3l4j4h) May 1, 2018
Namun kondisi itu mungkin akan segera berubah, karena bisa jadi dalam waktu dekat, masyarakat akan berbondong-bondong beternak kalajengking. Bagaimana tidak, bahkan Jokowi sendiri menyarankannya. Dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrembangnas), Senin (30/4) lalu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengungkapkan kalau racun kalajengking ternyata jauh lebih mahal dari emas.
Walau pernyataannya itu disambut tawa oleh para pejabat yang hadir, namun Warganet menemukan kalau pernyataan Jokowi ini benar adanya, bukan sekedar lelucon seperti yang diduga masyarakat sebelumnya. Tapi tidak begitu dengan para politisi, terutama yang berada di kubu oposisi, pernyataan racun kalajengking ini memang sangat “lucu” dibanding isu Perpres Tenaga Kerja Asing (TKA) yang mereka dengungkan.
Usai menandatangani Pepres No. 20 tahun 2018 yang memberikan keringanan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia, Jokowi memang tengah “diserbu” banyak pihak. Baik buruh, oposisi, bahkan anggota DPR sendiri, terus melakukan tekanan agar peraturan tersebut ditarik kembali. Tak heran bila wacara racun kalajengking ini dituding sebagai pengalihan isu semata. Namun, benarkah sekedar itu saja?
Simbol Melindungi dan Mematikan
“Politisi merupakan master dari seni tipu musilihat.” ~ Martin L. Gross
Bagi masyarakat awam, wacana racun kalajengking diartikan sebagai informasi baru, terlebih adanya kenyataan kalau harga racun hewan beruas dengan delapan kaki tersebut bisa mencapai miliaran. Menurut ahli serangga dari Universitas Maryland, Raymond John St. Leger, binatang yang masuk dalam kelas Arachnida ini memang mampu bertahan hidup dari kepunahan dengan mengembangkan serum kimia yang sangat kuat.
Menurutnya, dari 1.300 spesies kalajengking, ada sekitar 300 jenis racun mematikan yang tetesannya tak hanya mampu merusak, melumpuhkan, bahkan menghancurkan sel-sel tubuh mangsanya dari dalam. Di sisi lain, para peneliti juga menemukan kalau tetesan racun tersebut bila disuntikkan ke dalam sel tumor di tubuh manusia, sel-sel tersebut juga terbukti mampu dilumpuhkan bahkan mematikan tumor tersebut.
Bila kedokteran modern menemukan kemampuan mematikan dan melindungi yang dimiliki kalajengking baru belakangan ini, masyarakat kuno sudah menemukannya bahkan berdekade-dekade lalu. Buktinya, simbol tato kalajengking yang masih memiliki kekerabatan dengan laba-laba ini, sudah populer sejak lama di berbagai budaya, seperti di Afrika, Timur Pusat, dan Asia Tenggara.
Dalam budaya masyarakat primitif, mentato simbol kalajengking di tubuh sama artinya dengan menggunakan jimat pelindung. Mereka tak hanya melindungi diri dari sengatan racun kalajengking lainnya, tapi juga melindungi dari berbagai gangguan roh jahat. Mereka yakin, kalau simbol kalajengking mengeluarkan energi yang sangat ditakuti dan dihormati oleh semua makhluk, baik di alam nyata maupun secara supranatural.
Keyakinan akan perlindungan simbol kalajengking ini, bahkan masih dipercaya rakyat Tibet karena ada dalam mitologi Buddhisme. Dalam sejarah Suku Maya di daratan Amerika, Dewi Scorpion juga dipercaya akan mampu meringankan penderitaan ibu yang akan melahirkan. Sementara di Afrika, racun kalajengking telah lama dikenal sebagai obat tradisional dan penghilang rasa sakit.
Sementara dalam budaya Jawa sendiri, kalajengking juga kerap disimbolkan sebagai Betharakala atau sesuatu yang buruk (denigrate). Sehingga bisa saja, selain ingin mengungkapkan betapa berharganya racun kalajengking, Jokowi yang asli Solo juga sedang melontarkan simbol kalau ia tengah berlindung dari serangan-serangan yang ditujukan padanya.
Jurus Proteksi Jokowi
“Seni yang menyenangkan adalah seni tipu muslihat.” ~ Luc de Clapiers
Walau saat ini partai politik tengah disibukkan dengan pelaksanaan Pilkada Serentak di beberapa daerah, namun suhu perpolitikan dalam negeri sudah begitu panas dengan aroma Pilpres. Serangan dari pihak yang berseberangan dengan Jokowi pun seolah semakin menaikkan tensi dan volumenya dari berbagai arah.
Ibarat percikan api yang menemukan sumbunya, serangan oposisi pun semakin menggebu-gebu ketika Jokowi mengeluarkan Perpres No. 20 tahun 2018 yang memberikan kemudahan bagi investor luar dan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Peraturan tersebut sangat rentan dimainkan karena menyangkut rasa keadilan masyarakat, terutama kaum buruh.
Seolah menyadari akan ‘kesalahan’ langkahnya, banyak pihak menilai kalau Jokowi berusaha “lari” dari tekanan tersebut dengan melempar wacana yang mampu mengalihkan serangan padanya dari masyarakat. Menurut Sosiolog Amerika Talcott Parsons, dalam teori klasik sosilogi, apa yang dilakukan Jokowi dapat disebut menggunakan pengalihan isu sebagai alat proteksi (tool protection).
Pengalihan isu, menurut Parsons, sangat sering digunakan untuk mengalihkan isu-isu strategis dengan membuat isu yang sifatnya sektoral, seperti isu buruh yang langsung menguap hanya dengan informasi satu liter racun kalajengking bisa membuat seseorang menjadi miliarder mendadak. Seiring perkembangannya, metode pengalihan isu jadi semakin dinamis dan dilakukan secara terencana (by design) oleh penguasa.
Pengalihan isu yang terencana ini, salah satunya bisa terlihat dari bagaimana Jokowi mampu mendapatkan informasi yang langsung “menyengat” keingintahuan masyarakat akan sesuatu yang mampu memberinya keuntungan mendadak. Di sisi lain, melalui informasi tersebut, mantan Walikota Solo ini juga melemparkan simbol kalau ia tengah berlindung dari berbagai serangan yang disasarkan padanya.
Informasi yang dilemparkan secara sambil lalu seolah-olah tak terencana sehingga awalnya dianggap guyonan ini, menurut Parsons, juga sesuai dengan metode sick role dari teori klasik pengalihan isu. Melalui metode ini, Jokowi sengaja memposisikan pernyataannya agar mudah diserang dan memantik keingintahuan masyarakat. Dengan begitu, tanpa sadar, secara psikologis perhatian masyarakat akan langsung teralihkan.
Keberhasilan taktik pengalihan isu Jokowi ini, memang patut diacungi jempol karena terbukti efektif. Ini terlihat dari bagaimana reaksi oposisi, terutama para kader Gerindra yang langsung menyambar isu racun kalajengking tersebut, dibanding terus “memanasi” rakyat – terutama buruh, dengan isu Perpres TKA. Beralihnya serangan dan kegeraman oposisi ini, secara langsung membuktikan kalau perhatian masyarakat telah teralihkan.
Sebagai seorang penguasa, Jokowi terbukti cukup lihai dalam bermain-main dengan simbol dan juga pengalihan isu demi mempertahankan citra dirinya. Hanya saja, sampai kapan Presiden ketujuh ini selalu berkelit dengan menggunakan seni tipu muslihat (the art of deception) untuk melindungi keputusan tidak populisnya, seperti kata Leonardo da Vinci di awal tulisan. (R24)