Merujuk pada posisinya yang bukan merupakan ketua umum parpol, Jokowi disebut sebagai presiden terlemah secara politik sejak kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Namun saat ini, pemerintahan Jokowi justru disebut sebagai pemerintahan terkuat sejak reformasi. Jika benar demikian, mungkinkah Presiden Jokowi telah menjawab tantangan Francis Fukuyama?
Banyak dari kita mungkin tidak pernah membayangkan seorang Joko Widodo (Jokowi) yang sosoknya baru mendapatkan perhatian luas setelah isu mobil Esemka mencuat ke publik ini akan memenangkan kontestasi elektoral tertinggi negeri ini, bahkan memenangkannya dua kali berturut-turut.
Menimbang sosoknya yang merupakan outsider, yakni tidak berasal dari elite parpol ataupun sosok yang telah merasakan asam garam politik nasional, ini membuat Jokowi disebut harus bergantung pada sosok Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri selaku parpol utama yang mengusungnya.
Selain Mega, kedekatan Presiden Jokowi dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga disebut begitu vital. Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff menyebutkan bahwa Luhut berperan sebagai “bumper” untuk mengelola situasi politik yang sulit karena banyaknya pihak berkepentingan di sekitar Presiden Jokowi.
Atas hal ini, analis politik dari Northwestern University, Jeffrey Winters, bahkan menyebut Jokowi sebagai presiden terlemah secara politik sejak masa Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Akan tetapi, di periode kepemimpinan keduanya, Presiden Jokowi justru menunjukkan kekuatan politik yang begitu besar. Dengan keberhasilannya membentuk koalisi raksasa, pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio sampai menyebutkan pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan terkuat sejak reformasi.
Ini terlihat jelas dari mulusnya pengesahan Rancangan Undang-udang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU di parlemen baru-baru ini. Seperti yang diketahui, Omnibus Law adalah produk hukum yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi saat pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019 lalu.
Dengan kemampuannya untuk mengonsolidasikan DPR, apa dampak politik yang mungkin terjadi?
Tidak Berfungsinya Trias Politika
Fareed Zakaria dalam tulisannya Biden Understands What Twitter Doesn’t: Democrats Need a Big Tent menyebutkan bahwa Joe Biden tengah melakukan pendekatan big tent atau tenda besar guna melawan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat (AS). Ini adalah strategi dengan menggandeng berbagai segmen guna menyerap dukungan sebesar mungkin.
Strategi Biden ini sama dengan yang diterapkan oleh Presiden Jokowi saat melawan Prabowo Subianto di Pilpres 2019 lalu. Seperti yang diketahui, koalisi Jokowi-Ma’ruf benar-benar berbentuk koalisi raksasa. Apalagi, setelah terpilih sebagai pemenang, sang rival bahkan dirangkul masuk ke dalam pemerintahan.
Apalagi, dengan PAN dan Partai Demokrat menunjukkan sikap mendua, praktis hanya PKS yang benar-benar memosisikan diri sebagai oposisi. Namun belakangan, Demokrat tampaknya sudah memutuskan untuk menjadi oposisi pemerintahan.
Di parlemen, komposisi benar-benar timpang. Pada periode 2014-2019, perbandingan koalisi pemerintah dan oposisi adalah 337 kursi banding 223 kursi. Sedangkan pada periode 2019-2024, koalisi pemerintah memiliki 427 kursi, yang mana ini jauh di atas oposisi yang hanya memiliki 148 kursi. Getirnya, dengan sikap PAN yang terlihat mendukung pemerintah, 44 kursi PAN tampaknya bisa diangkat dari kelompok oposisi.
Masalahnya, ketimpangan tersebut bukan persoalan statistika semata, melainkan membuat trias politika tidak bekerja sebagaimana mestinya. Dipo Alam dalam tulisannya Demokrasi Indonesia Pasca-SBY menyebutkan bahwa untuk mengontrol kekuasaan eksekutif maka parlemen telah dibekali kekuasaan yang kuat, terutama dalam proses legislasi.
Jika sebelumnya dalam UUD 1945 yang lama kekuasaan legislasi berada di tangan Presiden, maka sesudah terjadi amendemen, kekuasaan itu dipegang oleh DPR. Artinya, sesuai prinsip trias politika, dalam hal membentuk undang-undang maka kekuasaan pokok tersebut telah dialihkan dari tangan Presiden ke tangan DPR.
Nah, masalahnya adalah dengan lemahnya oposisi saat ini, pemerintah yang memiliki koalisi raksasa di DPR dapat membuat produk hukum tanpa hambatan yang berarti. Ini terlihat jelas dengan mulusnya Omnibus Law Ciptaker yang merupakan inisiasi Presiden Jokowi. Dengan kata lain, koalisi raksasa tersebut telah membuat eksekutif seolah memiliki kekuasaan legislasi.
Senada, pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio juga menegaskan dengan posisi oposisi yang tidak kuat, trias politika tidak lagi bekerja dengan semestinya.
Namun menariknya, konteks tersebut ternyata dapat dimaknai secara positif. Tampaknya ini adalah jawaban dari masalah birokrasi yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama. Lantas, masalah apakah itu?
Menjawab Fukuyama?
Fukuyama dalam tulisannya America in Decay: The Sources of Political Dysfunction menyebutkan bahwa sistem politik AS telah mengalami pembusukan atau disfungsi karena seiring waktu, sistem checks and balances-nya menjadi semakin dalam dan kaku, sehingga terjadi polarisasi politik yang begitu tajam.
Apalagi, dengan sosok Trump yang kontroversial, ini semakin memperparah penajaman dan polarisasi politik di AS. Dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama juga menegaskan bahwa Trump adalah produk sekaligus kontributor atas pembusukan demokrasi di AS.
Ini membuat tiap kelompok hanya menyuarakan kepentingannya, sehingga sulit menelurkan kebijakan secara efektif karena proses pengambilan kebijakan yang penuh dengan perdebatan politis. Tidak hanya karena polarisasi politik, disfungsi tersebut juga terjadi karena pada realitasnya, mereka yang terlibat aktif dalam pemilu (menggunakan hak suaranya) hanyalah kelompok-kelompok tertentu.
Masalah disfungsi tersebut kemudian disebut Fukuyama sebagai vetocracy atau vetokrasi. Ini adalah sistem tata kelola pemerintahan yang tidak berfungsi karena tidak ada satu entitas politik yang dapat memeroleh kekuasaan yang cukup untuk membuat keputusan dan mengambil alih tanggung jawab yang efektif.
Fukyama dalam tulisannya Checks and Balances menyebutkan bahwa vetokrasi di AS telah membuat kelompok kepentingan yang terorganisir dengan baik dan kaya dapat memblokir inisiatif yang tidak mereka sukai. Ini kemudian melahirkan harapan di tengah warga AS agar pemimpin yang begitu kuat dapat lahir untuk mengatasi masalah tersebut.
Nah pertanyaannya, dengan koalisi besar Presiden Jokowi yang mampu mengonsolidasikan DPR, apakah itu menjawab masalah vetokrasi yang dikemukakan oleh Fukuyama? Seperti yang diketahui, birokrasi di Indonesia begitu buruk sehingga pengambilan keputusan menjadi tidak efektif.
Fukuyama dalam tulisannya Democracy and the Quality of the State juga menyinggung Indonesia dengan menyebutnya sebagai contoh negara demokrasi baru yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu tetapi gagal membentuk pemerintahan yang berkualitas.
Pada konteks mulusnya UU Ciptaker, boleh jadi Presiden Jokowi telah menjawab tantangan vetokrasi karena UU tersebut lolos tanpa perdebatan yang berarti di parlemen. Akan tetapi, masalah vetokrasi tidak hanya soal pengambilan putusan yang efektif, melainkan juga memastikan kebijakan yang ada terlepas dari intervensi golongan kuat dan kaya. Ini kerap kita sebut sebagai oligarki.
Nah, pertanyaannya, apakah UU Ciptaker benar-benar terlepas dari intervensi oligarki?
Pasalnya, saat ini banyak beredar dugaan terdapat pasal titipan dalam UU tersebut. Ini misalnya diungkapkan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto yang mengklaim berhasil menemukan penambahan atau penghilangan pasal atau ayat yang tertuang di draf Omnibus Law Ciptaker yang telah dikirimkan ke Presiden Jokowi.
Klaim ini sendiri telah ditampik oleh Ketua Panitia Kerja (Panja) UU Cipta Kerja, Supratman Andi Agtas yang menegaskan tidak terdapat penyelundupan pasal atau penyunatan pasal seperti yang dituduhkan.
Ya, terkait masalah pasal selundupan, tentunya ini sulit untuk dijustifikasi. Namun yang jelas, pada konteks pembuatan UU Ciptaker, Presiden Jokowi tampaknya telah berhasil menjawab tantangan vetokrasi karena mulusnya pengesahan produk hukum tersebut.
Kita nantikan saja ke depannya bagaimana kelanjutan drama UU Ciptaker ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)