Beberapa hari lalu, Indonesia menorehkan prestasi dengan lolos ke putaran final Piala Asia untuk pertama kalinya sejak 15 tahun lalu. Ini bisa dibilang menjadi pencapain tersendiri seiring masih karut marutnya tata kelola sepak bola nasional. Di tengah euforia kesuksesan tersebut, muncul sebuah narasi mendorong putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk mengambil alih kepemimpinan di asosiasi sepak bola Indonesia, PSSI, dalam pemilihan kepemimpinan di tahun 2023 mendatang. Ini tentu akan jadi peruntungan menarik sekaligus pembuktian kapasitas sang putra presiden. Akankah ia mampu jadi orang yang memperbaiki sepak bola Indonesia?
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI yang menjadi induk organisasi sepak bola Indonesia boleh dibilang menjadi simpul penting dalam tata kelola sepak bola tanah air. Sebagai olahraga paling populer di negeri ini, tak diragukan lagi bahwa kepemimpinan di lembaga ini akan ikut menentukan arah perkembangan prestasi olahraga ini.
Setidaknya dalam 20 tahun terakhir, prestasi sepak bola Indonesia tak bisa banyak diharapkan. Alih-alih prestasi, publik justru disuguhkan oleh berbagai macam konflik dan penyelewengan. Mulai dari dualisme kepemimpinan organisasi di PSSI, pembinaan tim nasional yang awut-awutan, hingga kompetisi domestik yang yang lebih banyak diwarnai penyimpangan serta pengaturan skor. Belum lagi soal mafia sepak bola, relasi kepentingan dengan politik kekuasaan, dan lain sebagainya.
Barulah di tahun-tahun terakhir ini, pengelolaan beberapa sektor – misalnya terkait tim nasional – menunjukkan sedikit perubahan. Ini terkait penunjukan pelatih yang punya track record bagus sekelas Shin Tae-yong untuk membina talenta-talenta muda Indonesia.
Shin Tae-yong adalah pelatih asal Korea Selatan yang pernah menangani timnas negaranya tersebut di ajang Piala Dunia 2018 lalu. Salah satu memori dari kiprahnya di ajang tersebut adalah kesuksesannya menyingkarkan Jerman di fase grup putaran final gelaran Piala Dunia yang di tahun tersebut diselenggarakan di Rusia.
Namun, di samping perekrutan pelatih yang bagus untuk timnas, PSSI tetap saja masih punya banyak catatan. Asosiasi sepak bola ini belum punya training center atau pusat latihan sendiri bagi timnas. Lebih buruknya, PSSI juga belum punya kantor sendiri yang permanen.
Tak heran, ketika nama Kaesang mencuat untuk jadi Ketum PSSI dalam pergunjingan warganet di Twitter, muncul banyak harapan bahwa anak presiden ini bisa menjadi jalan tata kelola PSSI menjadi lebih baik. Sekalipun demikian, ini juga jadi pembuktian bahwa status Kaesang sebagai putra Jokowi makin menguatkan citra relasi PSSI dengan politik yang sudah terjadi mungkin sejak awal organisasi itu berdiri.
Tentu pertanyaannya adalah apakah Kaesang bisa menjadi kunci perbaikan bagi organisasi sepak bola tanah air ini?
Perbaiki Sepak Bola, Perbaiki Masyarakat
PSSI memang selalu sarat narasi politik. Ini karena kepemimpinan organisasi ini kerap bersinggungan dengan tokoh-tokoh politik. Di tahun 1975 misalnya, ada nama Bardosono yang merupakan teman Soeharto saat bergabung di PETA dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang ditunjuk sebagai Ketum PSSI.
Nama-nama tokoh politik lain misalnya mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Menko Polhukam Agum Gumelar, mantan Sekjen Partai Golkar Nurdin Halid, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI La Nyalla Mattalitt,i dan Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi adalah beberapa sosok yang berelasi ke politik, yang pernah jadi Ketum PSSI.
Bahkan nama Ketum PSSI saat ini, Mochamad Irawan alias Iwan Bule yang merupakan pensiunan jenderal polisi juga punya relasi dengan politik ketika ia ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat di tahun 2018 lalu.
Namun sayangnya, konteks politik yang punya ujung pada pembangunan masyarakat, banyak kali jadi kurang terasa dalam kepemimpinan sosok-sosok politisi ini ketika mengelola sepak bola nasional lewat PSSI. Ujung-ujungnya, yang publik saksikan adalah prestasi Indonesia angin-anginan, sedangkan kepengurusan organisasi terjebak dalam politik internal yang tidak berkesudahan.
Tak heran jika banyak yang menunjuk bahwa apa yang terjadi pada PSSI sesungguhnya menggambarkan kondisi negara ini. Sebab, sepak bola adalah refleksi dari kondisi masyarakat itu sendiri.
Martin J. Power dalam tulisannya Football and Politics, menyebutkan bahwa hal ini bisa terjadi karena sepak bola punya relasi yang sangat erat dengan politik itu sendiri. Ia menulis bahwa sejak awal kemunculannya, sepak bola sudah punya relasi tersurat yang sangat jelas dengan tribalisme, aksi protes, propaganda militer, simbol politik, dan maskulinitas. Ini meliputi berbagai bidang, termasuk hingga dalam urusan agama dan ideologi.
Di Skotlandia misalnya, kita menyaksikan rivalitas antara klub sekota, Celtic dan Rangers, yang menjadi simpul dari konflik agama yang terjadi antara Katolik dan Protestan di negara tersebut. Atau klub sepak bola Inggris, Liverpool FC, awalnya menjadi simpul dari gerakan komunitas buruh pelabuhan kota Liverpool.
Belakangan, sepak bola juga menjadi refleksi kapitalisme ekonomi dan politik pada tataran yang jauh lebih tinggi. Klub asal Inggris, Newcastle United misalnya, kini dimiliki oleh negara Arab Saudi. Sekalipun kepemilikannya terjadi lewat konsorsium tertentu, tapi tidak bisa dipungkiri relasinya langsung dengan kekuasaan yang ada di Saudi.
Lalu ada kisah soal mantan pemilik Chelsea, Roman Abramovich, yang terjerat lingkaran konflik Ukraina vs Rusia akibat kedekatannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini sempat menjadi pergunjingan penting dan mempengaruhi kebijakan pemerintah Inggris yang politiknya cukup keras terhadap Rusia, yang ujung akhirnya mempengaruhi tata kelola Chelsea dan intisari dari sepak bola itu sendiri.
Narasi-narasi tersebut memang menjadi gambaran paling jelas bahwa sepak bola menjadi cerminan dari masyarakat. Tak heran jika banyak yang menyebutkan bahwa memperbaiki sepak bola bisa menjadi salah satu langkah untuk memperbaiki masyarakat itu sendiri. Ini karena olahraga mewakili banyak nilai luhur, misalnya sportivitas, pantang menyerah, kerja keras, dan lain sebagainya.
Pertanyannya adalah akankah Kaesang mampu menjadi langkah awalnya?
Hanya Anak Presiden Yang Bisa
Bukan rahasia lagi bahwa perbaikan tata kelola PSSI ujung-ujungnya memang akan berkaitan dengan persoalan politik, bahkan di level elite. Politisi senior Golkar Aburizal Bakrie misalnya, pernah dituduh sebagai elite yang berada di balik kekuasaan kelompok tertentu di PSSI. Keberadaan nama Ical tentu membuat pertautan kepentingan di PSSI ini tak lagi sepele sifatnya.
Ini tentu akan jadi pekerjaan rumah yang besar untuk Kaesang. Apalagi, dua pendahulu yang memimpin organisasi ini menjadi representasi dari institusi yang berpengaruh: Edy Rahmayadi dari militer, dan Iwan Bule dari kepolisian. Mungkin ini pula yang jadi semacam penguat argumentasi bahwa ketika militer dan polisi tak bisa membawa perubahan banyak di organisasi, levelnya kemudian ditingkatkan menjadi anak presiden.
Kaesang sendiri kini berstatus sebagai Direktur Utama klub bola asal Solo, Persis Solo. Ia bersama dengan Menteri BUMN Erick Thohir memang tercatat menjadi pemilik saham dari klub sepak bola ini. Dengan demikian, status keterlibatannya dalam sepak bola sudah cukup untuk menjadi modalnya ikut dalam pemilihan Ketum PSSI.
Mungkin, ganjalan terbesarnya adalah status usianya yang masih 27 tahun akan berbenturan dengan aturan pemilihan yang kini ada di PSSI yang menetapkan batas minimal pencalonan Ketum PSSI ada di angka 30 tahun. Sekalipun demikian, aturan ini masih bisa berubah jika terjadi dinamika di dalam organisasi tersebut.
Kemudian, tantangannya juga akan ada dalam konteks kepengurusan PSSI itu sendiri. Ini karena mekanisme pemilihan Ketum PSSI melibatkan para anggota komite eksekutif alias Exco yang sering kali punya benturan kepentingan di antara mereka sendiri. Akibatnya, banyak kali warna politik organisasi menjadi sangat kental dan cenderung tidak sehat.
Pada akhirnya, pencalonan menjadi Ketum PSSI akan menjadi tantangan besar untuk Kaesang. Ini juga jadi pembuktian akankah Kaesang bisa ikut jejak kakaknya, Gibran Rakabuming Raka, untuk menduduki jabatan publik tertentu. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)