Tidak berhenti di Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Kaesang Pangarep, sepertinya akan terjun ke dunia politik sebagai pejabat eksekutif. Berbagai partai politik bahkan sudah memberikan sambutan kepada Kaesang. Apakah ini menunjukkan krisis etika politik Jokowi?
PinterPolitik.com
“In civilized life, law floats in a sea of ethics.” — Earl Warren
Pada 2019 lalu, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Kaesang Pangarep, mengaku menolak tawaran untuk maju menjadi calon anggota legislatif (caleg). Dalam perbincangannya dengan Irfan Hakim pada April 2022, Kaesang juga bercerita bahwa hanya dirinya yang bukan pejabat di keluarga – alias masyarakat sipil.
“Kayak satu keluarga pejabat semua, ada bapak, mas Gibran, kakak Ipar. Otomatis ibu juga, kakak ipar juga, kakak saya nomor dua juga. Jadi kalau kumpul keluarga itu… Wah pejabat semua, kayak orang sipil datang, misi Pak,” cerita Kaesang ke Irfan Hakim.
Well, cerita itu tinggal cerita. Cukup mengejutkan. Pada 24 Januari 2023, Gibran Rakabuming Raka mengungkap bahwa Kaesang tertarik untuk terjun ke politik. Ia pun memberi bocoran bahwa Kaesang ingin menjadi pejabat eksekutif.
Tidak butuh waktu lama, berbagai elite partai politik langsung menyambut hangat berita tersebut. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahkan telah merayu Kaesang untuk bergabung dengan PDIP. “Karena di PDI memang ada ketentuan dalam satu keluarga itu berasal dari satu partai yang sama,” ungkap Hasto pada 30 Januari 2023.
Sehari sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku memberikan kebebasan kepada Kaesang. “Sudah ngomong ke saya, tapi saya selalu memberi kebebasan kepada mereka. Saya tidak mempengaruhi, saya tidak memutuskan,” ungkap RI-1 pada 29 Januari 2023.
Tidak Ada Pertarungan?
Melihatnya secara hukum, tentu tidak ada masalah, katakanlah jika Kaesang menjadi pejabat seperti Gibran dan Bobby. Seperti yang menjadi argumentasi berbagai pihak, “Toh, Kaesang harus bertarung di pemilu.” Selain itu, Kaesang memiliki hak untuk dipilih dan mencalonkan diri.
Iya, berbagai argumentasi itu sekiranya tepat secara normatif. Namun, bagaimana jika dalam faktanya tidak terdapat “pertarungan”?
Kita bisa melihat kasusnya pada Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Solo 2020. Yup, Gibran menang telak dengan 225.451 suara (86,5%). Bahkan, karena semua partai mendukung Gibran, putra sulung Presiden Jokowi itu hampir melawan kotak kosong. Majunya Bagyo Wahyono dan Suparjo Fransiskus Xaverius sebagai pasangan calon (paslon) independen juga didera isu sebagai pasangan boneka.
Isu ini makin mencuat setelah Bagyo-Suparjo hanya memperoleh 35.055 suara (13,5%). Padahal, ketika mendaftar di KPU, pasangan itu menyerahkan syarat dukungan sebanyak 41.425 suara – meskipun setelah dilakukan pengecekan hanya 36.006 bukti dukungan yang dianggap memenuhi syarat.
Tentu pertanyaannya, kenapa perolehan suara Bagyo-Suparjo lebih kecil dari syarat dukungan yang mereka serahkan?
Kembali pada Kaesang, adanya karpet merah jelas terlihat. Baru saja mengungkapkan keinginan untuk maju, berbagai elite partai politik langsung berlomba-lomba memberikan sambutan hangat – seperti disebutkan pengamat politik Adi Prayitno pada 26 Januari 2023, “karena Mas Kaesang ini adalah anak Presiden yang saat ini berkuasa”.
Mengutip Adi, apakah partai politik akan tetap berlomba-lomba memberikan sambutan kepada Kaesang jika Jokowi sudah tidak menjabat?
Melakukan komparasi, kita bisa membandingkannya dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tidak hanya didera sentimen karier politik instan dan dinasti politik, karier politik AHY terlihat menuai berbagai ganjalan. Beberapa waktu lalu bahkan terdapat usaha untuk mengkudeta AHY dari pucuk pimpinan Partai Demokrat.
Pertanyaannya, kembali mengutip Adi, apakah ganjalan-ganjalan itu akan mendera AHY jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjabat Presiden RI?
Jika direnungkan, persoalan ini mengingatkan kita pada penjabaran John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice. Fondasi gagasan Rawls berpijak pada kenyataan bahwa setiap orang lahir secara tidak setara. Ada yang lahir dari keluarga miskin, ada yang terlahir kaya raya, berasal dari kelompok etnis/ras tertentu, terlahir sangat berbakat, dan seterusnya.
Menurut Rawls, keuntungan karena dilahirkan sebagai yang lebih beruntung (kita sebut saja privilese), bukanlah alasan untuk berhak atas lebih banyak manfaat dari institusi sosial. Menurut Rawls, adalah tugas negara untuk mengubah ketidaksetaraan menjadi keuntungan semua warga negara, khususnya terhadap mereka yang paling tidak beruntung.
Mengacu pada prinsip paling mendasar yang membedakan demokrasi dengan sistem politik lainnya, hanya dalam demokrasi setiap warga negara dapat dipilih secara setara – tidak ada privilese karena keturunan tertentu.
Dengan adanya karpet merah karena Jokowi sedang berkuasa, tidak heran kemudian berbagai pihak menyinggung soal etika politik.
“Pertama, jika Kaesang masuk kontestasi dan ada peluang menang dengan libatkan keluarga, maka ini meneguhkan upaya membangun kekerabatan politik Joko Widodo,” ungkap pengamat politik Dedi Kurnia Syah pada 26 Januari 2023.
Masyarakat Lumrah Saja?
Terkait kritik berbagai pihak, sekiranya kita semua mengetahui persoalan etika politik karena status Jokowi yang masih berkuasa. Namun, pertanyaannya, kenapa fenomena ini tetap dibiarkan terjadi?
Fenomena pelanggaran etika politik di Indonesia setidaknya terjadi karena dua faktor. Pertama, hal itu terjadi akibat kurangnya kesadaran pejabat atau politisi terhadap norma-norma yang berlaku. Kedua, hal tersebut bisa juga dipicu oleh budaya permisif masyarakat sendiri.
Yang menarik, ketidakpatuhan terhadap norma ternyata dimotori oleh kalkulasi matematis. Robert Seidman dalam bukunya The State Law and Development, menyebutkan faktornya terkait erat dengan reward dan punishment.
Menurut Seidman, seseorang melanggar aturan karena menghitung keuntungan dari ketidakpatuhannya melebihi kerugian atas kepatuhannya terhadap hukum. Artinya, si pelaku sangat memahami bahwa pelanggarannya memiliki insentif lebih besar dibandingkan kepatuhannya.
Pada kasus berbagai pejabat yang mendorong keluarganya maju di pemilu, penjabaran Seidman sekiranya terjadi. Mereka sangat menyadari, dengan posisinya sebagai penguasa, potensi kemenangan keluarganya lebih besar dibanding ketika sudah turun takhta.
Kedua, kalkulasi matematis itu berkorelasi kuat dengan budaya permisif masyarakat. Amalia Syauket dan Nina Zainab dalam penelitian berjudul Social Permissive Reasoning as Inherited Poverty (Critical View of a Political Dynasty Prone to Corruption) menyebutkan bahwa korupsi dan dinasti politik berkorelasi kuat dengan budaya permisif masyarakat Indonesia.
Dalam temuan Syauket dan Zainab, terus berdirinya dinasti politik Ratu Atut di Banten, misalnya, terjadi karena perilaku masyarakat yang sangat permisif, khususnya terhadap politik uang. Meskipun berbagai kasus korupsi mendera dinasti politik Ratu Atut, sebagian masyarakat merasa itu bukan urusannya. Yang terpenting, kehidupan sehari-harinya dapat terpenuhi.
Pada kasus Kaesang, budaya permisif itu jelas terlihat. Tidak hanya dari kalangan masyarakat luas, melainkan juga dari kalangan para elite politik.
Sebagai penutup, sekiranya kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, memang benar Kaesang memiliki hak politik. Ia berhak terpilih sebagai pejabat eksekutif seperti kakaknya, Gibran.
Namun, jika bertolak pada etika politik dan prinsip paling dasar demokrasi, sekiranya lebih heroik jika dilakukan setelah Jokowi purna tugas.
Kedua, pernyataan Jokowi bahwa dirinya memberikan kebebasan bukan tidak mungkin bertolak pada dua kalkulasi, yakni kalkulasi kemenangan dan kalkulasi budaya permisif masyarakat. (R53)