“Untuk menjadi tuan, politisi menampilkan diri seperti pelayan,” Charles de Gaulle, Presiden Prancis periode 1958 –1969.
PinterPolitik.com
[dropcap]F[/dropcap]enomena politisi melompat pagar berpindah dari satu partai ke partai politik lainnya merupakan lagu lama dan sesuatu yang lazim dalam panggung politik Indonesia pasca reformasi atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘kutu loncat’.
Langkah zigzag para politisi ini didasarkan pada argumentasi yang beragam. Bahkan, publik melihat fenomena tersebut pada dua sisi yang berbeda.
Apakah mereka mempertahankan idealismenya atau justru memaksakan pragmatismenya di partai politik?
Kecenderungan terbesar orientasi dan motivasi kutu loncat ialah kekuasaan, sehingga sebagian besar mengarah pada sikap pragmatisme dan oportunisme. Dengan kata lain, partai politik dijadikan kendaraan menuju kekuasaan dan keuntungan semata.
Dalam riuh rendahnya kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), tentu akan memunculkan sebuah dagelan bila ada politisi yang rela mengganti jaketnya dengan warna lain hanya untuk memuluskan orientasi pragmatisnya.
Secara sederhana, politikus kutu loncat ini tak peduli apakah ia mendapat restu atau tidak dari partainya. Ia akan terus bermanuver mencari celah dari partai lain yang bisa disusupi untuk menjadi kendaraan politiknya agar dapat melenggang menuju singgasana.
Kondisi ini disebabkan sikap partai politik yang tidak tegas atau terlalu melebarkan pintu masuk bagi pendatang tanpa melihat potensi kader partai yang sudah berkarir sejak lama.
Praktik perpindahan kader dari satu partai politik ke lainnya, memunculkan pertanyaan mengenai loyalitas dan ideologi politik yang dianut. Karena belum tentu partai politik baru yang ia masuki memiliki kesamaan ideologi.
Tak jarang yang menjadi kutu loncat merupakan kader unggulan partai yang tentunya akan sangat merugikan partai politik yang ditinggalkan. Hilangnya kader menjanjikan, tentu memutuskan rangkaian proses kaderisasi yang sudah dilakukan dalam kurun waktu lama, jejaring yang sudah dibangun pun akan ikut luruh.
Alhasil, para kutu loncat tetap lestari dan berkembangbiak pada setiap pertarungan di perhelatan Pilkada tingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten. Apalagi bila si kutu loncat ini ternyata berhasil memenangkan kontestasi, bisa jadi akan berpotensi ditiru oleh kader lainnya untuk ikut berkhianat dari partai tempatnya bernaung. Sehingga kesetiaan menjadi harga mahal yang harus dibayar bagi para kutu loncat.
Selain potensi pengkhianatan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa kader partai politik yang sering berpindah juga akan berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. Karena adanya desakan kebutuhan yang mengharuskan kutu loncat untuk melakukan balas budi dalam bentuk kompensasi berupa anggaran maupun kebijakan. Tentunya hal ini diindikasikan diperoleh dari praktik korupsi.
Sebab – Akibat Kemunculan Kutu Loncat
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Dibalik sebuah fenomena tentu ada sebab dan akibat yang ditimbulkan. Termasuk perihal langkah zigzag para politisi yang rela melepas dan mengganti atribut partainya demi kekuasaan semata.
Ragam argumentasi menjadi deretan catatan yang akan menumpuk dan menggunung. Aksi lompat pagar ini disebabkan politisi memiliki perbedaan pandangan dengan pimpinan partai, atau dengan kata lain, kader partai tidak taat dan patuh terhadap kebijakan yang diambil partai.
Dagelan politik ini banyak terekam dalam berbagai potret di media massa yang berujung pada perseteruan argumentasi, hingga pengajuan melalui jalur hukum perdata. Hal ini berdampak pada hengkangnya para politisi dari partai dan memungkinkan membuka potensi lompat pagar ke partai politik lainnya.
Dalam hal ini, kita bisa berkaca pada peristiwa yang dialami Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta yang menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Provinsi Jawa Barat, namun tidak mendapat restu dari Partai Golkar untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Para petinggi Golkar justru memberikan tiketnya pada Walikota Bandung, Ridwan Kamil yang bukan merupakan kader partai.
Sah! Golkar Dukung Ridwan Kamil di Pilgub Jabar. Padahal Dedi Mulyadi yg Kader Sendiri dan Sudah Sosialisasi Malah Tidak diusung. Sabar Pak. pic.twitter.com/GbnfQR7X8s
— M. Khumaini (@mkhumaini) October 27, 2017
Dari potret tersebut, bila ditinjau dari orientasinya, partai ternyata tidak lagi memupuk kader potensial melalui proses kaderisasi, namun siapa saja yang berpotensi menang itu yang didukung. Oleh karena itu, wajar rasanya jika kondisi ini menimbulkan pragmatisme politik yang merongrong pandangan politisi di Indonesia.
Walau hingga kini Dedi Mulyadi belum bisa digelari sebagai kutu loncat, tapi pragmatisme pimpinan partai yang melihat sebelah mata kadernya sendiri berpotensi besar membuka peluang bagi kader partainya ini untuk hengkang ke PDI Perjuangan yang lebih menjanjikan dukungan.
Sementara itu, para politisi yang mengejar karir di partai maupun pemerintahan tentu akan berorientasi pada kedudukan strategis. Namun, karena keterbatasan jabatan yang ada, peluang ini menimbulkan risiko tidak meratanya pembagian kue kekuasaaan di partai politik.
Sedangkan dalam situasi politik tertentu, kader parpol akan diuji dari dua arah yang berbeda, yaitu dorongan dari internal dan tarik-menarik dari pihak eksternal dengan beragam kepentingan di dalamnya.
Sebenarnya, muara dari fenomena kutu loncat terletak pada aturan partai yang masih terasa longgar, terutama tidak adanya sanksi yang mampu membuat kader menjadi jera dan menghentikan praktik pragmatisme politik.
Dari sudut pandang partai politik, sebaiknya ada konsekuensi logis terhadap fenomena kutu loncat ini. Karena sikap-sikap pragmatisme yang mereka ambil, tentu akan terjadi reduksi pemaknaan partai politik menjadi kendaraan politik semata. Selain itu, tujuan partai pun bergeser dari menjaring kader berkualitas menjadi mencari popularitas.
Pasca tereduksinya pemaknaan ini, menjadikan partai sebagai kereta tumpangan yang lemah dalam melakukan kontrol terhadap para kadernya. Fenomena kutu loncat pun meningkatkan kekuatan individualisme yang dapat menginjak-nginjak kekuatan partai yang umumnya lebih bersifat institusional dan kolektif.
Mati Suri Karir Kader Parpol
Tujuan awal partai politik sebagai wadah aspirasi, medium penggemblengan calon pemimpin bangsa, dan lembaga yang turut membantu perwujudan cita—cita nasional, telah dikikis oleh fenomena kutu loncat para politisi yang memanfaatkan partai politik sebagai kendaraan politik dan pemuas hasrat politik sesaat saja.
Dampaknya pun bukan hanya dirasakan partai politik, namun akan menamatkan karir politik kader parpol yang merintis, memupuk kemampuan dan kualitas dirinya melalui sistem kaderisasi partai sehingga terputuslah mata rantai pembawa ideologi parpol yang seharus diletakkan pada singgasana yang paripurna.
Potret ini diperparah dengan sikap terbukanya partai politik yang ikut ‘mengamankan’ para kutu loncat ini, dengan mempersilakan mereka merangsek masuk menjadi kader.
Sebagian pertimbangannya, kutu loncat ini memiliki popularitas tinggi, sehingga partai politik berharap ia dapat menjadi magnet electoral dalam mendongkrak suara partai. Terlebih, mobilitasnya tinggi, karenanya dapat diandalkan oleh partai politik untuk menjalankan mesin partai.
Bila ditinjau dari etika dan norma berpolitik, tentu hal ini merupakan bentuk pengabaian prinsipil karena perjuangan berpolitiknya bukan sebagai perwujudan ideal yaitu sebagai partai politik yang lahir atas jawaban persoalan masyarakat, tapi melenceng menjadi hanya demi kepentingan pribadi saja.
Partai politik yang kerap membuka pintu lebar – lebar bagi para kutu loncat, cenderung memiliki ideologi yang tidak begitu kuat. Sehingga tentu saja tidak ada kekhawatiran berlebih terkait dengan kesesuaian gerak langkah partai dengan si kutu loncat, apakah ia telah segaris dengan khittah-nya atau tidak.
Tentunya tingkat kualitas, elektabilitas, dan kapasitas kader partai politik itu harus menjadi prioritas dan tolak ukur yang ideal bagi pengusungannya. Baik sebagai kepala daerah maupun legislator.
Karir kader partai politik akan terhenti di tengah jalan bila disalip oleh kutu loncat yang hanya mengandalkan popularitas, di sisi lain partai politik menerima begitu saja tanpa mengetahui secara mendalam mengenai kapasitas calon tersebut, apakah benar mumpuni atau tidak.
Pergeseran khittah perjuangan partai politik dan mati surinya karir kader partai politik, merupakan hubungan kausalitas yang timbul akibat fenomena kutu loncat. Padahal, para politisi kutu loncat ini sebenarnya hanya memposisikan partai politik sebagai partai pemenangan sementara yang memanfaatkan momentum politik. Di lain sisi, sebenarnya partai politik juga ikut membumihanguskan kader partainya sendiri yang sebenarnya lebih mampu mewujudkan kemurnian ideologi partai.
Sebagai epilog, perjalanan karir kader partai politik bila terus dipandang sebelah mata akan dapat menemui titik di mana posisinya mirip manusia yang tengah mati suri. Hidup segan, mati tak mau. (Z19)