HomeNalar PolitikKabinet Baru Jokowi ala Jepang?

Kabinet Baru Jokowi ala Jepang?

Kabinet periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) – dari menteri hingga wakil menteri – telah rampung dilantik. Namun, komposisi tim ekonomi dalam kabinet ini boleh jadi memiliki afiliasi politik tertentu dari pihak asing.


PinterPolitik.com

“Japan, they the best ever” – Gunna, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Tanggal 20 Oktober merupakan waktu yang menjadi tanda bagi pergantian pemerintahan yang baru. Meski Joko Widodo (Jokowi) tetap menduduki jabatan presiden, setidaknya terdapat wajah-wajah baru lain yang mengisi posisi-posisi pengambil kebijakan.

K.H. Ma’ruf Amin misalnya, menggantikan Jusuf Kalla (JK) sebagai wakil presiden semenjak 20 Oktober lalu. Tidak hanya posisi wapres, para pembantu presiden yang baru juga mewarnai Kabinet Indonesia Maju.

Wajah-wajah baru ini seakan-akan menyegarkan nuansa kabinet, seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama, hingga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD.

Figur-figur baru ini mengemban tugas yang berat, khususnya menteri-menteri yang berkutat di bidang ekonomi. Pasalnya, Presiden Jokowi mencanangkan bahwa periode keduanya akan banyak berfokus pada perekonomian Indonesia.

Bisa dibilang, tim ekonomi dalam Kabinet Indonesia Maju merupakan juru-juru kunci dalam mewujudkan visi Jokowi tersebut. Di tim tersebut, ada nama-nama seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa.

Selain itu, ada juga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif akan menjadi tumpuan bagi harapan presiden akan kemajuan ekonomi Indonesia.

Uniknya, tim ekonomi kabinet baru ini disebut-sebut akan banyak digerogoti oleh berbagai kepentingan partai politik. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan misalnya, berkomentar bahwa tim ekonomi banyak diisi oleh kader-kader partai, kecuali Sri Mulyani yang merupakan ekonom-teknokrat.

Kira-kira, bagaimanakah jalannya tim ekonomi baru dalam lima tahun depan? Apakah riwayat politik nama-nama tersebut dapat mengganggu perwujudan visi Jokowi?

Tim Ekonomi

Komposisi tim ekonomi bisa jadi krusial bagi masa kepresidenan kedua Jokowi. Bisa jadi, dengan fokus pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi, tim dalam kabinet baru ini memiliki peran krusial dalam mewujudan visi-visi presiden.

Dengan perannya yang penting dan krusial bagi situasi ekonomi makro, tim ekonomi dalam sejarahnya selalu diisi oleh figur-figur yang dianggap memiliki keahlian yang mendalam. Figur-figur berkeahlian ini – disebut sebagai teknokrat – biasanya memiliki latar belakang akademis.

Takashi Shiraishi dalam tulisannya yang berjudul Technocracy in Indonesia menjelaskan bahwa di masa lampau, khususnya pada era kepresidenan Soeharto, para akademisi mengisi pos-pos tim ekonomi. Teknokrasi – pemerintahan yang dijalankan oleh individu-individu yang memiliki keahlian – ini dilakukan guna menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi makro.

Baca juga :  TAKSI VINFAST VIETNAM

Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam bukunya yang berjudul Reorganising Power in Indonesia menjelaskan bahwa para teknokrat ini berusaha membatasi posisi-posisi ekonomi yang krusial dari para politisi yang dianggap memiliki kepentingan pribadi.

Setidaknya, teknokrasi di Indonesia muncul dan berkembang pada tahun 1960-an ketika pemerintahan kala itu sejalan dengan meningkatnya konsolidasi pembangunan ala Soeharto. Kerangka kebijakan ekonomi makro Soeharto pada saat itu didasarkan pada tiga prinsip, yakni anggaran yang seimbang (balanced budget), akun modal terbuka (open capital account), dan sistem nilai tukar yang dipatok (pegged exchange rate system).

Prinsip-prinsip ekonomi makro ini dijalankan guna menjaga stabilitas ekonomi. Beberapa teknokrat yang mengawali prinsip-prinsip ini adalah mantan Menteri Pertambangan Mohammad Sadli, mantan Menteri Negara Bidang Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara Emil Salim, mantan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Subroto, mantan Menteri Keuangan Ali Wardhana, serta mantan Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro.

Lalu, bagaimana dengan tim ekonomi di era Reformasi?

Para teknokrat berupaya membatasi posisi-posisi ekonomi yang krusial dari para politisi yang dianggap memiliki kepentingan pribadi. Share on X

Beberapa posisi tim ekonomi dalam pemerintahan era Reformasi kini tidak lagi didominasi oleh kelompok-kelompok teknokrat. Sebagian tim ekonomi malah diduduki oleh politisi dan praktisi ekonomi.

Shiraishi menjelaskan bahwa posisi-posisi birokrasi teknokrat ini mulai terbagi dengan para politisi dan mantan aktivis yang memiliki latar belakang di bidang ekonomi – membuat teknokrasi ekonomi tidak dapat lagi dibendung dari pengaruh “politik”.

Hal ini juga terlihat dalam Kabinet Indonesia Maju. Meski posisi Menkeu masih diisi oleh Sri Mulyani berlatar belakang akademisi, sebagian besar posisi lain telah diisi para politisi.

Menko Perekonomian Airlangga misalnya, merupakan ketua umum Partai Golkar. Di sisi lain, Menteri PPN/Bappenas juga ditempati oleh Suharso yang merupakan Plt Ketum PPP.

Masuknya para politisi dalam tim ekonomi Jokowi ini bukan tidak mungkin akan turut memengaruhi arah jalannya kebijakan-kebijakan pemerintah. Apalagi, sebagian politisi ini juga merupakan praktisi bisnis.

Dengan masuknya para politisi ini, apa dampak lanjutannya terhadap kebijakan ekonomi Jokowi? Bagaimana afiliasi politik para politisi ini?

Menelusuri Afiliasi

Terlepas dari afiliasi politik para pengambil kebijakan ekonomi ini, tim baru ini boleh jadi memiliki afiliasi lain terkait arah kebijakan ekonomi. Pasalnya, meski tim ekonomi dalam pemerintahan Soeharto lebih banyak dipegang oleh para teknokrat, akademisi-akademisi tersebut disebut-sebut juga memiliki afiliasi politik tertentu dalam hal pendekatan kebijakan.

Lima pioneers tim ekonomi Soeharto – Mohammad Sadli, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro – misalnya, memiliki pendekatan ekonomi tertentu. Kecenderungan ini dapat dilihat dari latar belakang mereka masing-masing.

Shiraishi dalam tulisannya menjelaskan bahwa sebagian besar dari mereka yang juga memiliki kedekatan tertentu dengan Presiden Soeharto pernah menempuh studi di University of Berkeley, California, Amerika Serikat (AS). Oleh sebab itu, lima sekawan tim ekonomi ini disebut sebagai Mafia Berkeley. Posisi-posisi ekonomi yang diisi oleh mereka nantinya banyak dilanjutkan oleh lulusan-lulusan di mana kelimanya pernah menempuh studi, yakni di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Baca juga :  Jokowi Tetap Berpengaruh, Apa Rahasianya?

Uniknya, lima sosok Mafia Berkeley ini menerima backlash dari beberapa pengambil kebijakan lainnya. Pasalnya, teknokrat-teknokrat ini dianggap menggunakan pendekatan yang terlalu liberal – bertentangan dengan beberapa pendukung pendekatan nasionalis di pemerintahan Soeharto.

Shiraishi menjelaskan bahwa, selain kesamaan latar belakang pendidikan AS dan pendekatan kebijakan ekonomi, para teknokrat juga dinilai mendukung saran dan bantuan dari Sistem Bretton Woods – sebuah sistem ekonomi yang dibangun oleh AS pasca-Perang Dunia II – seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang mendorong reformasi struktural dan birokrasi.

Jika para teknokrat ekonomi pada era Orde Baru dianggap mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi reformatif dan liberal, bagaimana dengan tim ekonomi Jokowi 2.0? Apakah juga memiliki afiliasi politik tertentu?

Bila ditilik kembali, tim ekonomi kabinet baru Jokowi ini boleh jadi memiliki riwayat tertentu dengan pihak asing. Pasalnya, sebagian dari mereka memiliki keterkaitan dengan negara tertentu.

Menperin Agus misalnya, memiliki pengalaman sebagai anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia-Jepang. Selain itu, Agus juga pernah menjabat sebagai wakil ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang (PPIJ).

Selain itu, Menko Perekonomian Airlangga disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan beberapa perusahaan asal Jepang. Politisi Golkar ini dikabarkan pernah menjadi komisaris bagi PT. Hitachi Construction Machinery Indonesia.

Selain Agus dan Airlangga, terdapat juga Menteri ESDM. Arifin yang merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mantan pengusaha di bidang petrokimia pernah menjadi perwakilan luar negeri Indonesia untuk Jepang, yakni sebagai duta besar untuk negara itu sejak tahun 2017.

Peran Arifin pun cukup besar dalam beberapa investasi di sektor minyak dan gas. Pasalnya, kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Inpex – perusahaan asal Jepang – berhasil dicapai ketika dirinya menjabat sebagai dubes. Inpex ini akan menjadi kontraktor utama dalam pengelolaan Blok Migas Masela senilai Rp 280 triliun.

Lantas, bagaimana dengan dampaknya terhadap arah kebijakan?

Setidaknya, kebijakan investasi kini tampaknya mulai direncanakan untuk dialihkan fokus sumbernya. Beberapa waktu lalu, Menteri BUMN Erick dikabarkan ingin memberikan kesempatan investasi untuk beberapa negara lain selain Tiongkok, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi.

Meski begitu, wacana akan adanya pergeseran kebijakan ini belum tentu berkaitan dengan gambaran afiliasi tersebut. Yang jelas, sebagian anggota-anggota tim ekonomi kabinet baru Jokowi disinyalir memiliki relasi sosial yang dapat dibilang berkaitan dengan negara tertentu.

Namun, bila keterkaitan itu benar, lirik rapper Gunna di awal tulisan bisa jadi dapat menggambarkan kemungkinan itu. Boleh jadi, tim ekonomi baru ini – seperti Mafia Berkeley– berpikir akan adanya pilihan tawaran yang terbaik dari pihak asing. Menarik untuk dinantikan arah kebijakan investasi mereka dalam lima tahun ke depan. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Operasi Bawah Tanah Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

More Stories

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?