Site icon PinterPolitik.com

K-Pop, Senjata Jelang Pilpres 2024?

K-Pop, Senjata Jelang Pilpres 2024?

Menteri BUMN Erick Thohir berfoto setelah berhasil mendapatkan BTS Meal (Foto: Detik)

Fenomena Korean Pop menjamur di Indonesia dan memberikan efek cukup besar khususnya bagi kaum milenial. Tidak hanya generasi muda, sejumlah tokoh politik baru-baru ini seolah memperlihatkan antusiasmenya terhadap Korean Pop atau K-Pop di media sosial. Lalu apa motif dari para politisi ini dengan mempublikasikan dirinya yang seolah menggandrungi salah satu bentuk ‘Korean Wave’ ini?


PinterPolitik.com

Budaya populer asal negeri Ginseng, Korea Selatan begitu masif menjamur di Tanah Air. Tampaknya, fenomena ‘Korean Wave’ ini sudah mendominasi kehidupan masyarakat khususnya golongan milenial. Terlihat dari sejumlah peristiwa yang menunjukkan besarnya antusiasme masyarakat terhadap budaya Korea Selatan. Seperti misalnya pada tahun 2019, yaitu saat penjualan tiket konser Blackpinkyang habis terjual dalam hitungan jam. Harga tiket yang memiliki kisaran harga dari Rp1 juta hingga Rp2,5 juta tersebut bukan menjadi masalah bagi para penggemarnya.

Tidak hanya itu, temuan data dari Twitter memperlihatkan jika Korean Pop atau K-Pop menjadi salah satu topik pembahasan yang dominan di media sosial Twitter. Berdasarkan penelitian dari media sosial ini, sejak 1 Juli 2020 hingga 30 Juni 2021, terdapat sekitar 7,5 miliar kicauan yang terkait dengan K-Pop. Menariknya, dari 7,5 miliar twit tentang K-Pop pada periode 2020-2021, tercatat jika Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara yang warganya paling banyak melakukan twit terkait K-Pop.

Sementara itu peringkat kedua dan seterusnya diisi oleh Filipina, Thailand, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Penelitian ini sekaligus memperlihatkan jika pangsa pasar terbesar K-Pop berasal dari kawasan Asia dan Amerika. K-Pop kerap diidentikkan dengan kaum milenial yang memiliki kisaran usia 15-25 tahun. Hal ini tidak lepas dari penelitian dari IDN Times yang menunjukkan jika penggemar K-Pop paling banyak ditemukan pada masyarakat berusia 15-20 dan 20-25 tahun.

Maka bukan sebuah kebetulan apabila para politisi Tanah Air memanfaatkan momentum ini. Maraknya K-Pop ternyata juga mendapatkan perhatian sehingga beberapa tokoh politik tidak segan memperlihatkan jika mereka juga lekat dengan para artis K-Pop. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, misalnya, yang baru-baru ini mengunggah sebuah video ‘bareng’ Lisa Blackpink. Video berdurasi 30 detik ini menggambarkan seolah-olah Ganjar berinteraksi dengan salah satu anggota girlband tersebut.

Selain Ganjar, Menteri BUMN Erick Thohir juga pernah memperlihatkan dirinya dekat dengan K-Pop. Seperti yang terlihat di media sosial Instagramnya pada tahun 2021 lalu di mana ia mengungkapkan keberhasilannya dalam mendapatkan BTS Meal yang ada di gerai McDonald’s. Tidak hanya itu, pada akhir bulan Desember 2021 lalu, Erick juga memperlihatkan kesukaannya dengan salah satu boyband Korea Selatan yaitu BTS. Mantan pemilik klub Inter Milan ini juga turut memberikan dukungannya terhadap salah seorang anggota BTS yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Selain dua tokoh politik ini, terdapat satu sosok lagi yang ramai diperbincangkan yaitu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2014-2016) ini mendapatkan kritikan terkait rencana Pemprov DKI Jakarta yang akan mengundang grup K-Pop BTS untuk konser di Jakarta International Stadium (JIS). Beberapa pihak, seperti Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menilai hal tersebut merupakan bagian dari upaya meningkatkan popularitas menjelang Pilpres 2024.

Jika melihat fenomena ini, lantas mengapa K-Pop bisa terseret masuk ke dalam ranah politik?

Hanya Drama Politik?  

Fenomena para politisi yang menampilkan diri dekat dengan K-Pop ini ternyata cukup ramai diperbincangkan bahkan menjadi viral. Salah satu contohnya yaitu unggahan Ganjar Pranowo yang mendapatkan berbagai macam reaksi dari masyarakat. Ada yang menanggapi secara positif, namun ada juga yang menanggapi secara negatif.

Terlepas dari berbagai komentar baik negatif dan positif, namun akibat dari peristiwa ini nama Ganjar viral di media sosial. Menunjukkan sikap menyukai K-Pop ini dinilai beberapa pihak merupakan strategi untuk menarik simpati dari kaum milenial. Pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas’udi menilai langkah yang dilakukan oleh Ganjar merupakan upaya untuk menarik perhatian dari kaum milenial mengingat sosok Lisa Blackpink tergolong salah satu representasi kaum milenial di Indonesia.

Demikian halnya yang dilakukan oleh Erick Thohir yang sebelumnya juga menampilkan dirinya menyukai K-Pop. Secara garis besar itu berarti kesukaan para politisi terhadap K-Pop memang memiliki motif tertentu yakni ingin merepresentasikan jika para tokoh politik ini dekat dengan milenial. Dalam buku Erving Goffmann berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, terdapat sebuah penekanan terhadap istilah Impression Management yang secara garis besar menjelaskan tentang suatu pembentukan persepsi yang dilakukan oleh seseorang dengan strategi yang cenderung lebih halus, sehingga objek yang didekati merasa nyaman.

Sama halnya dengan cara yang dilakukan para politisi ini, yaitu mengeksploitasi K-Pop untuk kepentingan tertentu. Melalui ‘pertunjukkan’ yang seolah mengenal K-Pop, diharapkan bisa menjadi strategi untuk menarik perhatian milenial. Namun upaya ini belum bisa disebut efektif karena golongan milenial tidak seluruhnya menyukai K-Pop. Segmentasi musik setiap orang berbeda-beda sehingga sulit ketika mengeneralisasi milenial dengan K-Pop.

Strategi untuk menarik simpati ini sebenarnya sudah sering dilakukan oleh para tokoh-tokoh politik seperti yang terlihat ketika pasangan ganda putri bulu tangkis Indonesia Greysia Polii dan Apriani Rahayu meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 lalu. Berbagai macam politisi dari partai politik yang berbeda turut ‘memeriahkan’ kemenangan atlet bulu tangkis Indonesia.

Banyak flyer yang bertebaran di media sosial dan bergambar politisi dengan pasangan ganda tersebut. Ironisnya, beberapa gambar politisinya lebih besar dibandingkan atlet yang memenangkan olimpiade. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Dirk Witterborn dalam bukunya berjudul The Social Climbers Bible yang menjelaskan, jika seorang politisi ulung juga merupakan seseorang yang pandai melakukan panjat sosial atau pansos.

Namun, kerap kali bukan pujian melainkan cibiran dari masyarakat terhadap para politisi yang mendominasi media sosial. Upaya pansos dengan harapan mendapat reaksi positif tidak terlaksana karena para politisi ini dianggap narsis dan hanya ‘nebeng’ untuk tenar. Lalu jika motif para politisi ini menggunakan sesuatu hal yang populer, lantas apakah mampu menggaet suara milenial di Pilpres 2024?

Tepat Gaet Milenial?

Mengacu pada artikel PinterPolitik yang berjudul Saatnya Partai Politik Tinggalkan Milenial?, telah dijelaskan secara umum jika generasi Z dan milenial merupakan kelompok masyarakat yang paling banyak di Indonesia. Generasi Z sendiri yang merupakan jumlah terbanyak memiliki rentang usia 8-23 tahun.

Meski demikian, tidak semua generasi Z bisa dijadikan ceruk suara karena terbagi dengan kelompok swing voters yang baru saja memilih satu kali. Dan yang terpenting, banyak generasi Z yang belum memiliki hak suara. Sementara sisanya memiliki kematangan dalam memilih karena sudah mengikuti pemilihan selama lebih dari satu kali. Atas dasar inilah suara kaum milenial belum tentu bisa menjadi lumbung suara bagi para politisi, terutama bagi mereka yang hendak berkompetisi di Pilpres 2024.

Perspektif yang menegaskan jika suara milenial belum menjamin kemenangan juga sudah pernah dikemukakan melalui penelitian dari lembaga survei Alvara. Pada survei tersebut dijelaskan jika sebagian besar dari 40-45 persen jumlah generasi milenial di Pemilu 2019 cenderung apatis terhadap politik. Maka tidak heran bila para milenial enggan untuk menggunakan hak pilihnya di kontestasi politik.

Apabila mengacu beberapa temuan ini, tampaknya upaya para tokoh politik untuk menggaet simpati milenial, misalnya dengan menggunakan K-Pop tampaknya belum bisa menjamin mampu meraup suara. Selain karena tidak semua milenial menggemari K-Pop, namun masih banyak kemungkinan lainnya tergantung dari tingkat kematangan para milenial yang akan memilih di Pilpres 2024 mendatang. (G69)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version