Site icon PinterPolitik.com

Justifikasi Korupsi ala Mahfud MD?

Justifikasi Korupsi ala Mahfud MD

Menko Polhukam Mahfud MD (Foto: CNN Indonesia)

Menko Polhukam Mahfud MD mengeluarkan pernyataan menarik karena meminta masyarakat agar tidak kecewa pada pemerintah yang masih koruptif dan oligarkis karena pemerintah juga memiliki kemajuan. Lantas apa yang membuat Mahfud MD melontarkan pernyataan tersebut? Apakah ada intensi politik tertentu di balik pernyataan tersebut?


PinterPolitik.com

Sabtu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berbicara tentang korupsi pada salah satu diskusi daring. Ia mengakui bahwa pemerintah memang koruptif dan oligarkis. Menurut Mahfud, kebijakan ekonomi Indonesia mengalami banyak intervensi politik sehingga korupsi dapat tumbuh subur.

Tidak sampai disitu, Mahfud MD meminta agar masyarakat tidak terlalu kecewa pada pemerintah yang koruptif dan oligarkis. Hal ini dikarenakan Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan dari masa ke masa sehingga hal ini tidak luput dari perhatian masyarakat.

Mahfud MD mengaitkan kemajuan dengan masalah kemiskinan di Indonesia. Ia membandingkan masa kini dengan masa pemerintahan Soekarno, di mana hampir 99 persen masyarakat Indonesia berada di garis kemiskinan. Ia juga membandingkannya dengan akhir rezim Soeharto yang tingkat kemiskinannya menyentuh angka 18 persen.

Setelah reformasi, angka kemiskinan berada di 11,7 persen pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Mahfud, Indonesia telah mengalami kemajuan karena pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), angka kemiskinan turun menjadi 9,1 persen dan angkanya naik tipis menjadi 9,7 persen karena pandemi Covid-19.

Meskipun begitu, Mahfud MD mengatakan tindakan korupsi memang merupakan pelanggaran hukum. Tetapi, masyarakat juga perlu melihat kemajuan Indonesia dan pemerintah dalam menekan angka kemiskinan.

Baca Juga: Pinta Cinta Buta Mahfud

Menanggapi pernyataan Mahfud MD, Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat Yan Harahap mengatakan bahwa pernyataan Mahfud MD merupakan hal yang janggal. Yan berpendapat bahwa di satu sisi Mahfud MD menyadari permasalahan korupsi, namun Mahfud juga meminta masyarakat memaklumi perilaku koruptif tersebut. Menurutnya, pernyataan Mahfud MD ini membenarkan bahwa pemerintah di era Jokowi memang koruptif.

Pernyataan Mahfud MD tentu menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Lantas, apakah ada maksud tertentu dari pernyataan Mahfud MD yang mengaitkan permasalahan korupsi dengan kemajuan Indonesia?

Membangun Narasi Baik?

Akhir-akhir ini, memang banyak kasus korupsi yang bermunculan, seperti kasus benih lobster, bansos Covid-19,  dan sebagainya. Belum lagi adanya kejanggalan dalam proses penegakan hukum, misalnya Ihsan Yunus yang lenyap dari dakwaan pada kasus korupsi bansos Covid-19.

Dari berbagai kasus korupsi yang terjadi, mungkin saja Mahfud MD berusaha mengalihkan masyarakat dari permasalahan yang ada. Melalui pernyataannya, Mahfud MD ingin membawa perhatian masyarakat ke prestasi pemerintah dalam menekan kemiskinan, bukan kekurangan pemerintah dalam menangani kasus korupsi.

Hal ini dapat dijelaskan melalui tulisan Suhair Hashim dalam Speech Acts in Selected Political Speeches yang mengutip speech act theory. Teori tersebut menyatakan bahwa pidato atau pernyataan politikus akan menggunakan diksi tertentu yang didasari pada konteks dan intensi pembicara. Penggunaan power dan bahasa politis berfungsi untuk menuntun opini publik sehingga hal tersebut menjadi instrumen untuk mengontrol masyarakat secara umum.

Tulisan ini dapat digunakan untuk menjelaskan pernyataan Mahfud MD yang mungkin sedang menggunakan power-nya untuk mengubah persepsi masyarakat atas pemerintah. Mahfud MD mungkin memiliki intensi untuk menuntun masyarakat agar tid ak kecewa kepada pemerintah yang oligarkis dan buruk dalam menangani korupsi.

Untuk menutup kekecewaan tersebut, Mahfud MD menjabarkan kontribusi pemerintah dalam memajukan Indonesia dengan menekan angka kemiskinan. Mahfud pun membandingkannya dengan masa kepemimpinan presiden sebelumnya dan menyimpulkan pemerintahan Jokowi memilki angka kemiskinan terendah.

Baca Juga: Ke Mana Idealisme Mahfud yang Dulu?

Tingginya korupsi di Indonesia sekiranya menurunkan kepercayaan masyarakat atas pemerintah dalam menangani korupsi. April lalu, Indonesia Political Opinion (IPO) mengeluarkan survei tentang persepsi masyarakat terkait program pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19. Survei tersebut menyebutkan bahwa 68,1 persen masyarakat nilai bahwa program bantuan Covid-19 rawan dikorupsi.

Kecurigaan masyarakat tersebut jelas tidak bisa dilepaskan dari kasus korupsi bansos Covid-19 yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Belum lagi penanganannya dianggap mencurigakan karena hilangnya nama Ihsan Yunus dalam kasus bansos Covid-19.

Selain itu, survei Indonesia Political Opinion (IPO) pada Oktober 2020 lalu menunjukkan ketidakpuasan publik di bidang hukum mencapai 64 persen. Hasil survei ini menunjukkan ketidakpuasan publik di bidang hukum jauh lebih tinggi dibandingkan bidang lainnya. Performa pemerintah dalam memberantas korupsi menjadi pemantik terbesar buruknya bidang penegakan hukum.

Survei tersebut juga menuliskan kepuasan publik pada Mahfud MD hanya memperoleh 34 persen. Angka ini tertinggal jauh dari anggota Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) lainnya, seperti Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian 49 persen dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang mencapai 57 persen.

Politik Harapan

Mahfud MD menjabarkan Indonesia telah mengalami kemajuan karena pencapaian pemerintah dalam menekan angka kemiskinan dari masa ke masa. Kemajuan tersebut tentu juga dapat dilihat dari variabel lain, misalnya kesuksesan pemerintah dalam menangani korupsi atau pemerintah yang terbebas dari kasus korupsi.

Jim Collins dengan konsep the stockdale paradox (paradoks stockdale) dalam bukunya From Good to Great menjelaskan tentang psikologi ketahanan kepemimpinan atau survival psychology. Untuk mencapai cita-cita atau tujuan, seseorang harus menghadapi tantangan dalam prosesnya, tak peduli sesulit apa pun rintangan tersebut.

Collins mengatakan perlu adanya sikap konfrontasi terhadap tantangan tersebut, atau yang disebut brutal facts of reality yang menjadi resep vital kesuksesan.

Paradoks stockdalemenyeimbangi nilai optimism dan realism. Pada dasarnya, jika seseorang ingin yang terbaik, maka ia harus mempersiapkan diri untuk yang terburuk. Seseorang butuh memahami kondisi dan probabilitas rintangan terburuk untuk mencapai suatu tujuan.

Jika ditarik ke konteks pernyataan Mahfud, paradoks stockdale  tampaknya yang tengah dirujuk oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Mahfud begitu paham atas kondisi pemerintah yang koruptif dan oligarkis saat ini. Itu adalah fakta yang sulit dibantah.

Namun, alih-alih tenggelam atas kondisi tersebut karena terjebak dalam bayangan keadaan ideal, seperti kondisi minim korupsi, Mahfud mengeluarkan pernyataan realistis bahwa keadaan itu harus diterima. Tentu naif mengatakan kondisi saat ini dapat diubah dalam sekejap mata. Butuh waktu dan proses yang panjang.

Namun, kendati menerima kenyataan tersebut, Mahfud tetap mengeluarkan pandangan optimisnya bahwa kemajuan memang terjadi. Di tengah realitas yang brutal, harus ada harapan yang tetap dipegang dan dilihat.

Dalam politik, konteks pernyataan Mahfud tersebut disebut dengan politics of hope atau politik harapan. Konsep ini dikemukakan oleh ilmuwan politik asal Inggris, Jonathan Sacks dalam bukunya Politics of Hope. Sacks menawarkan konsepnya tersebut di tengah maraknya politik berbasis narasi ketakutan, pesimisme, dan kemarahan.

Baca Juga: Politics of Hope Vaksin Jokowi

Sacks mendefinisikan politik harapan sebagai sebuah gagasan yang memperjuangkan terwujudnya negara kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimakud Sacks meliputi bidang ekonomi, kebebasan, demokrasi, penegakan hukum, serta jaminan atas hak asasi manusia.

Sacks menegaskan bahwa politik harapan menolak narasi politik yang dikembangkan dengan menebar pesimisme, ketakutan, bahkan kemarahan. Namun, politik harapan juga tidak menoleransi narasi politik yang dibangun atas dasar utopisme atau janji-janji melangit yang membuai, namun sukar direalisasi. Dalam logika politik harapan, narasi politik harus dibangun di atas pondasi visi yang jelas, terukur dan bisa dieksekusi.

Nah, sekarang pertanyaannya, apakah narasi kemajuan yang didengungkan Mahfud MD adalah semacam utopisme atau visi yang jelas dan terukur? Hanya kebijakan dan langkah-langkah pemerintah yang dapat menjawabnya. (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version