Di era milenial ini, gangguan terhadap Pancasila kian deras menerpa. Berbagai aliran-aliran keagamaan hingga faham asing terus menggempur Indonesia agar mengganti Pancasila. Guna menjaga Pancasila tetap sebagai dasar negara, Presiden Joko Widodo telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]alam perjalanan bangsa Indonesia, beberapa kali sejumlah pihak ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi-ideologi asing yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Terbentuknya Pancasila bukan hanya sebagai ideologi bangsa, akan tetapi Pancasila juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia dengan segala perjuangannya.
Di era milenial ini, gangguan terhadap Pancasila kian deras menerpa. Berbagai aliran-aliran keagamaan hingga faham asing terus menggempur Indonesia agar mengganti Pancasila. Guna menjaga Pancasila tetap sebagai dasar negara, Presiden Joko Widodo telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
UKP-PIP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Penggagas dibentuknya UKP-PIP ini adalah Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan bersama dengan cendekiawan muslim Yudi Latif.
“Jadi termasuk pembinaan mental yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara secara menyeluruh dan berkelanjutan. Tidak hanya filosofi seperti arahan Presiden tadi tapi bicara detail bagaimana implementasi nanti di pendidikan SD, SMP, SMA, K/L. Termasuk di organisasi-organisasi misalnya seperti NU, Muhammadiyah dan lembaga-lembaga agama lainnya,” ungkap Luhut.
Pada hari Rabu (7/6) kemarin, Presiden Jokowi resmi melantik struktur Dewan Pengarah dan Eksekutif Unit Kerja Presiden – Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) di Istana Negara, Jakarta. Berdasarkan Kepres No 31/M/2017, Presiden Jokowi menunjuk Yudi Latif, seorang aktivis dan cendekiawan dengan pemikirannya tentang keagamaan dan kenegaraan pun ditunjuk menjadi kepala UKP – PIP, sementara posisi Ketua Dewan Pengarah UKP-PIP ditempati oleh Megawati Soekarnoputri.
Adapun anggota Dewan Pengarah lainnya berjumlah 8 orang, mereka adalah Jenderal TNI (purn) Try Sutrisno, Muhammad Mahfud MD, Ahmad Syafi’i Ma’arif, KH Ma’ruf Amin, KH Said Aqil Sirajd, Andreas Anangguru Yawenoe, Mayjen TNI (purn) Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS.
Tugas Dan Fungsi Dari UKP-PIP
Jika dikutip dari Perpres BAB III mengenai tugas dan fungsinya, tugas dari UKP-PIP tak lain adalah untuk membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Tugas dari unit kerja ini diatur di Pasal 3 Perpres tersebut.
Adapun, pada Perpres Bagian Kedua mengenai Fungsi, UKP-PIP menyelenggarakan berbagai fungsi, antara lain merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan menyusun garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan roadmap pembinaan ideologi Pancasila. UKP-PIP juga berfungsi sebagai pemantau, mengevaluasi, dan mengusulkan langkah strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila serta melaksanakan kerja sama dan hubungan antar-lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi .
Agar ikhtiar UKP-PIP ini tidak sekedar mengulangi sejarah Orde Baru, baik dari konsep, strategi maupun metode yang dipakai dalam rangka pembinaan dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa bernegara, mesti ada diferensiasi strategi dan semacam keunggulan kompetitif (competitive advantages) UKP-PIP atas BP-7 dan model Penataran P-4 tersebut.
Apa sebab konstruksi diferensiasi strategi dan keunggulan kompetitif UKP-PIP ini penting sekali? Sebab persepsi sebagian masyarakat hingga kini terhadap Orde Baru dan segala sesuatu yang bersenyawa dengannya adalah barang tercela. Tentu ini akan merugikan dan menghabiskan energi tim UKP-PIP nantinya untuk menjernihkan stigma akan BP-7 dan Penataran P-4 tersebut. Apa sih perbedaan UKP-PIP dan BP-7?
Memahami Perbedaan UKP-PIP dan BP 7
Saat UKP-PIP ini baru direncanakan, gelombang pro dan kontra pun berdatangan dari kalangan akademisi dan pengamat. Pro dan kontra ini datang karena ada kekhawatiran, yaitu kekhawatiran UKP-PIP tak ubahnya dengan menjiplak ide Orde Baru di mana Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rezim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4.
Salah satu pihak yang kontra adalah, Mantan Staf Khusus Susilo Bambang Yudhoyono saat menjabat sebagai presiden, Andi Arief. Dalam akun twitter pribadinya, ia menganggap lembaga baru yang dibentuk Presiden Jokowi itu bisa disalahgunakan dan tidak menutup kemungkinan UKP Pancasila digunakan untuk kepentingan politik.
UKP Pancasila hanya akan jadi akal2an, Hanya akan menjadi alat pemenangan partai tertentu, mereka bisa masuk ke RT/RW atas nama Pancasila.
— Andi Arief (@andiarief__) June 7, 2017
Saya khawatir dokter salah diagnosa, Pancasila sebagai obat bisa keliru. Karena persoalan yang menjadi tuntutan rakyat adalah keadilan.
— Andi Arief (@andiarief__) June 7, 2017
Di era kepemimpinan Soeharto, memang ada juga lembaga yang sama seperti UKP-PIP yang dibentuk oleh Jokowi saat ini. Lembaga dulu bernama Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang diketuai Sarwo Edhie Wibowo. BP7 ini dibentuk untuk menjaga ideologi Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, lembaga itu dibubarkan pada 1998 melalui surat TAP MPR No XVIII/MPR/1998.
Perbedaan antara UKP-PIP dan BP 7 ini, yang berbeda adalah target objek yang dituju. Jika BP7 lebih mengutamakan penataran dalam orientasinya dan jejaringnya sampai tingkat Kabupaten, di mana masyarakat dan PNS yang dipancasilakan. BP 7 juga orientasinya lebih kepada penataran-penataran.
Sementara UKP-PIP sendiri tidak mengambil kewenangan lembaga-lembaga yang sudah ada tapi justru bagaimana program Pancasila dan wawasan kebangsaan yang sudah dijalankan itu tidak tumpang tindih. Jadi UKP-PIP ini bisa dianalogikan sebagai ‘dapur’ pembinaan Pancasila, sementara penyebarannya nanti akan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan.
Sebagai contoh, lanjut Yudi, program sosialisasi empat pilar MPR. “Kita kerja sama dengan MPR supaya fokus MPR sosialisasi Pancasila di kader-kader partai politik, sementara di Kementerian Dalam Negeri fokus menyasar birokrasi itu sendiri. Jadi kita lebih koordinasikan agar memastikan program-program fokus, dan nanti kita bantu bahan-bahan ajarnya,” ujarnya.
Namun, jika melihat struktur tokoh yang berperan dalam lembaga ini, agak memungkinkan jika akan ada kepentingan golongan diatas kepentingan publik, terlebih ada nama Megawati Soekarnoputri disana. Melihat statusnya sebagai seorang ketua umum partai, ada kekhawatiran jika posisi dalam unit tersebut diisi oleh orang yang punya jabatan politis, maka akan muncul subjektivitas, apalagi ketika badan ini juga terlibat dalam aksi edukasi dan sosialisasi Pancasila.
Pancasila Diantara Paham Radikal
Menurut pakar hukum dan deradikalisasi Suhardi Somomoeljono, Pancasila adalah ideologi terbaik di seluruh dunia dalam memerangi radikalisme dan terorisme. Dengan Pancasila berbagai agama, suku, budaya, bisa bersatu, dan hidup berdampingan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus membendung paham-paham kekerasan.
Namun, kekhawatiran masyarakat pada ideologi Pancasila yang dipertanyakan daya tahannya, sejak fenomena gerakan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan faham radikalisme menyebar ke seluruh Indonesia. Pancasila saat ini berada diantara pafam-pafam yang mempropagandakan pergantian dasar dan bentuk negara.
Sejarah Indonesia juga mencatat pergerakan serupa—yakni gagasan mengganti dasar negara menjadi hukum syariat Islam, alias khilafah. Indonesia memiliki pengalaman sejarah gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih belakangan. Kini, yang secara terang-terangan mengkampanyekan cita-cita pendirian khilafah adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan belum lama ini oleh pemerintah.
Jika menurut survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sebanyak 9 dari 10 orang Indonesia tidak mendukung perjuangan ISIS. Dari yang tidak setuju itu, 91,3 persen setuju apabila ISIS dilarang dan 90 persen melihatnya sebagai ancaman untuk Indonesia. Sebanyak 92,9 persen menyatakan ISIS tidak boleh hidup di Indonesia. Dari 66,4 persen yang tahu ISIS (negara Islam Irak dan Suriah), sebanyak 89,6 persen menyatakan tidak atau sangat tidak setuju dengan perjuangan mereka.
Tidak berbeda dengan ISIS, HTI yang juga mempropagandakan perombakan dasar-dasar negara Indonesia juga dapat penolakan yang tinggi. Dari 28,2 persen warga yang tahu, 56,7 persen mengetahui HTI memperjuangkan gagasan khilafah. Dan sebanyak 68,8 persen warga menolak perjuangan mereka. Sementara dari 75,4 persen yang tahu niat pemerintah membubarkan HTI, sebanyak 78,4 persen menyetujui gagasan tersebut.
Namun, dalam rangkaian survei yang sama, ada fenomena yang juga perlu diperhatikan. Di luar mayoritas masyarakat Indonesia yang menolak ISIS, ada 9,3 persen responden yang setuju mengganti NKRI dengan sistem khilafah. Jadi bisa dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Akan tetapi serangan dan propaganda untuk mengganti dasar negara masih terus dilakukan hingga saat ini.
Melihat fenomena yang terjadi ini, mampukah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) menjaga nilai-nilai Pancasila guna mempertahankan keutuhan NKRI? (A15)