Pemilihan Presiden masih akan berlangsung dua tahun lagi, namun persiapannya sudah memanas. Kuatnya elektabilitas Joko Widodo, diperkirakan akan membuat pertarungan memperebutkan RI satu menjadi berat. Adakah upaya yang dapat menjegalnya?
PinterPolitik.com
“Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat.” ~ Ir. Soekarno
[dropcap size=big]P[/dropcap]emimpin berasal dari rakyat dan dipilih oleh rakyat, itulah hakikat dari pemilihan umum (pemilu) langsung. Melalui Pemilu, rakyat memilih sosok yang tak hanya mumpuni dalam memimpin, tapi juga mampu memberi rasa aman dan kesejahteraan. Tak heran bila pemilu kerap diibaratkan sebagai pesta rakyat, karena pada saat itu kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat.
Dua tahun mendatang, pesta itu akan kembali digelar. Rakyat akan memiliki ‘kuasa’ untuk mempertahankan maupun menjegal pemimpin tertinggi negeri. Sejumlah survei dan analisa mulai digelar, memprediksi kemungkinan yang akan terjadi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Mampukah presiden masa ini, Joko Widodo, mempertahankan singgasananya? Dan siapakah yang sekiranya akan bernyali untuk mencuri?
“Kami mengharapkan Pak Prabowo tetap sehat dan maju untuk 2019. Sebab, kalau Prabowo terpilih sebagai pemimpin nasional, akan membuat posisi Indonesia lebih kuat,” itulah harapan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, Kamis (20/4). Kemenangan di pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta merupakan tolok ukur untuk mengusung Prabowo Subianto maju sebagai calon Presiden pada 2019.
Wacana akan terjadinya pertarungan kedua kalinya antara Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019 nanti, juga diamini oleh Pengamat Politik Ray Rangkuti, Jumat (13/1) lalu. Secara faktual, menurutnya, hanya nama Prabowo yang mencuat sebagai kandidat alternatif melawan Jokowi. Dari parpol besar lainnya pun, ia melihat belum ada yang kepopulerannya setingkat dan menonjol dari Prabowo.
Survei Kompas: #Jokowi #Prabowo Dominasi Bursa #Pilpres2019 Segini #Elektabilitas Keduanya https://t.co/oH0vIBZHZH via @tribunmedan
— Tribun Medan (@tribunmedan) May 29, 2017
Elektabilitas Jokowi Masih Tinggi
“Biarkanlah rakyat yang menentukan arah bangsa ini akan dibangun, dan bagaimana rakyat akan menjaga masa depannya, sebab rakyat pemilik sah konstitusi.” ~ Munir
Namun Fadli Zon sebaiknya jangan besar kepala dulu, karena menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, Jokowi masih menjadi primadona untuk memimpin Indonesia. “Jika head to head Jokowi versus Prabowo, maka Jokowi 50,2 persen dan Prabowo 28,8 persen. Belum putuskan atau tidak menjawab atau rahasia sekitar 20 persen,” katanya, Rabu (22/3).
Pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi memang berhasil mengalahkan Prabowo, namun dengan perolehan suara yang tipis, yaitu 70.997.833 suara (53 persen) dan Prabowo 62.576.444 suara (46 persen). Menghadapi 2019 nanti, Jokowi bahkan sudah mengantungi dukungan dari tiga partai, yaitu Nasdem, Hanura, dan Golkar, di samping PDI Perjuangan. Namun, dukungan masih dapat berubah, tergantung peta politik jelang pendaftaran calon nanti.
Qodari mengatakan, ada lima tolok ukur masyarakat dalam menentukan presiden yang akan dipilih. Hasil survei ini, lanjutnya, merupakan tanggapan langsung warga. “Lima alasan tertinggi memilih capres, yaitu dekat dengan rakyat 22,4 persen; terbukti kerjanya 18,8 persen; berjiwa sosial dan baik 9,3 persen; membawa perubahan 9,3 persen; dan berani 6,2 persen,” terangnya.
Hasil yang sama juga diraih Harian Kompas, Senin (29/5). Survei yang dilakukan April 2017 menunjukkan 41,6 persen responden menyatakan jika pemilu dilakukan saat ini, akan memilih Jokowi. Sementara Prabowo dipilih 22,1 persen responden. “Survei Saiful Mujani Research and Consulting juga memperlihatkan 58 persen masyarakat cukup puas dengan kinerja Presiden Jokowi,” kata Ketua Umum PKPI Hendropriyono, Senin, (12/6).
Mantan kepala BIN tersebut mengatakan, dukungan pada Jokowi tak lepas dari kondisi perekonomian Indonesia yang terus membaik. Salah satu indikatornya, naiknya peringkat Indonesia sebagai tempat layak berinvestasi. “Lembaga rating Standard & Poor’s menaikkan sovereign rating Indonesia menjadi BBB dengan outlook stabil. United Nations Conference on Trade and Development juga menempatkan Indonesia sebagai negara berprospek investasi ke-4 dunia setelah Amerika, Tiongkok, dan India.”
Melemahkan Presiden Terlemah
“Hidup adalah tantangan, jangan dengarkan omongan orang, yang penting kerja, kerja, dan kerja. Kerja akan menghasilkan sesuatu, sementara omongan hanya menghasilkan alasan.” ~ Ir. Jokowi
Prinsip kerja tanpa peduli omongan orang, sepertinya prinsip yang tepat dilakukan Jokowi. Karena sejak terpilih sebagai presiden, ia memiliki jumlah haters yang cukup banyak, terutama dari para pendukung Prabowo. Tipisnya suara kemenangan yang diraih juga menyebabkan pemerintahan Jokowi banyak mendapatkan guncangan dari anggota legislatif yang awalnya berkoalisi sebagai oposisi.
Fakta ini pula yang membuat analis politik dari Northwestern University, Prof. Jeffrey Winters menilai kalau Jokowi adalah presiden terlemah dalam sejarah politik Indonesia. “Jokowi presiden terlemah sejak masa Gus Dur. Dia ditinju oleh tokoh-tokoh politik yang tidak peduli dia jatuh,” kata Winters seperti dikutip dalam Wall Street Journal, Selasa, (28/7/2016).
Lemahnya posisi Jokowi ini, memang pada akhirnya banyak menguntungkan pihak-pihak yang ingin menjatuhkannya. Selama tiga tahun pemerintahannya, tak sedikit isu-isu yang dihembuskan untuk menjungkal kepemimpinan Jokowi. Bahkan sempat beredar upaya makar yang dilakukan pihak-pihak tertentu, dengan mendompleng aksi massa terkait kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) lalu.
Terjangan Fitnah
“Saya melihat ada tiga isu artifisial yang diarahkan ke Istana, ke pemerintah. Satu, anti-Islam, kedua antek China, ketiga pro-PKI.”
Tiga isu ini diungkapkan oleh Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (30/5) lalu. Teten yang juga sempat diisukan sebagai antek komunis oleh Alfian Tanjung ini mengimbau, kritik yang ditujukan kepada pemerintah sebaiknya dilakukan secara proporsional.
Tudingan-tudingan bohong yang diarahkan secara masif kepada Presiden Jokowi ini, menurut Teten, sebenarnya untuk membentuk opini masyarakat. Berita-berita bohong itu, lanjutnya, tidak hanya mengotori demokrasi, namun juga tidak produktif di tengah usaha pemerintah menjalankan roda pembangunan nasional. (Baca: Jokowi: PKI, Gebuk Saja!)
Sangat keterlaluan mereka yg fitnah Jokowi. Presiden RI sampai hrs mempertahankan diri di FB. Mari hantam mrk yg melakukan itu thd Presiden pic.twitter.com/uLzpdBierz
— Daemoen (@Mentimoen) June 5, 2017
Kebijakan Tidak Populis
“Saya tahu, banyak yang memaki-maki saya. Untuk awal-awal. Itu yang karena belum tahu arahnya mau kemana. Saya siap tidak populer. Saya siap dimaki-maki.”
Pernyataan ini Jokowi akui karena sudah siap dengan segala keputusan yang diambil, terutama kebijakan yang tak populis. Ada beberapa kebijakan yang ia ambil dan ini berisiko menggerus popularitasnya. Diantaranya adalah kebijakan mengalihkan subsidi BBM, menolak impor beras, hingga menghukum mati pengedar narkoba.
Jokowi sadar kalau perubahan yang ia dorong akan menyakitkan masyarakat. Namun, semuanya juga harus sadar kalau perubahan biasanya dimulai dengan hal-hal yang sakit. “Jangan dipikir Jokowi penakut, itu yang perlu dicatat. Waktu mengalihkan BBM November lalu, saya diingatkan. ‘Pak Jokowi, kalau mengalihkan akan menghilangkan subsidi, maka popularitas akan jatuh’. Itu risiko. Tidak ada masalah buat saya.”
“Tapi saya yakin tahun ini kita akan tumbuh seperti tahun kemarin. Orang bekerja harus optimis, jangan pesimis. Masyarakat juga harus optimis. Kalau ada suara-suara miring, itu tolong diluruskan. Mohon dijelaskan sebetulnya kondisinya seperti ini. Saya kira itu tugas kita bersama, sehingga tak menjadi rumor yang tak baik,” katanya Sabtu (16/5). (Baca: “Tugu” Rakyat, Simbol Protes Mahasiswa)
Presidential Threshold?
“Hari ini Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menyatakan dukungannya kepada Ir Joko Widodo untuk maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden RI tahun 2019 yang akan datang.”
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Senin (12/6) secara resmi mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi sebagai calon presiden dalam Pilpres 2019. Namun dukungan PKPI pimpinan Hendropriyono ini tentu tak akan banyak artinya bila ambang batas Presidential Threshold (Pres-T) yang kini tengah diributkan pemerintah dan DPR, ternyata berada di angka di atas 10 persen. Sebab PKPI tidak dapat mengusung Jokowi tanpa berkoalisi dengan partai lainnya.
Tarik ulur ambang batas Pres-T dalam pembahasan RUU Pemilu ini memang akan sangat berpengaruh di Pilpres 2019. Sebagian besar menganggap partai koalisi Jokowi, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, dan Nasdem, ngotot ambang batas tetap 20 persen untuk memantapkan langkah Jokowi sebagai presiden untuk kedua kalinya. Sementara partai-partai kecil yang mendukung Jokowi beranggapan, tingginya ambang batas hanya akan menjegal mereka untuk menjadi partai tunggal pengusung Jokowi. (Baca: Jokowi Dijebak Presidential Threshold)
Belajar Dari SBY
“Dari sisi komitmen dan kepemimpinan, Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) berbeda sekali dengan Pak Joko Widodo. Dua profesional yang berbeda.” ~ Sri Mulyani Indrawati
Ucapan Menteri Keuangan ini disetujui Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampow, ia mengatakan SBY dan Jokowi mempunyai gaya kepemimpinan sendiri. “Kalau SBY hati-hati betul dalam memilih menteri, karena tidak mau pilih figur yang dicerca publik, dia tidak berani ambil risiko. Jokowi adalah orang yang mau ambil risiko terkait keputusan politiknya,” katanya, 22 Desember 2014.
Dari segi gaya kepribadian, Jokowi juga berbeda sekali dengan SBY. “SBY tidak tahan di-bully sementara Jokowi membiarkan dirinya di-bully. Meskipun dipilih oleh publik, namun dia tidak mau melayani publik secara gampangan,” jelasnya. Tak pelak, keputusannya berefek pada kepuasan kinerja yang rendah yaitu hanya 40,7 persen saja, sedangkan pemerintahan awal SBY, kepuasan masyarakat mencapai 70 persen.
Kepuasan masyarakat memang sangat berpengaruh pada tingkat elektabilitas, sikap hati-hati SBY ini juga yang pada akhirnya menuntunnya menjabat sebagai presiden selama dua periode. Walaupun di tahun 2017 ini tingkat kepuasan masyarakat meningkat menjadi 66,4 persen, namun mampukah Jokowi mengambil hati sebagian masyarakat yang sudah terlanjur kecewa, pada Pilpres 2019 nanti?
Peneliti Senior Network for South East Asian Studies, Muchtar Effendi Harahap berpendapat Jokowi akan sulit menang pada Pilpres 2019 mendatang. “Parpol pendukung Jokowi sangat mungkin gagal mempengaruhi massa pemilih. Mengapa? Mesin parpol tidak akan bekerja efektif dan mendulang suara pemilih maksimal untuk Jokowi, karena pamor PDI Perjuangan pun tengah merosot,” terangnya, Sabtu (27/5).
Muchtar juga melihat sebagian umat Islam masih menganggap rezim Jokowi adalah rezim anti-umat Islam dan kerap mengkriminalisasi aktivis dan ulama Islam. “Itu akan diperkuat lagi apabila PPP dan PKB selaku parpol Islam tidak mendukung resmi Jokowi,” katanya. Apalagi selama tiga tahun berkuasa, Jokowi dinilai belum berhasil menunjukkan prestasi sesuai janji kampanye dan rencana pembangunan nasional jangka menengahnya.
Di sini lain, Qodari berpandangan kalau elektabilitas Jokowi akan tetap meningkat walaupun dukungan parpolnya rendah. Kinerja Jokowi-JK yang tinggi dalam bidang pelayanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kesetabilan harga di daerah terpencil, kebijakan tol laut, pemberantasan korupsi, eksekusi hukuman bagi pengedar narkoba, dan hubungan baik dengan Arab Saudi, menjadi alasan utama masyarakat memilihnya. Jadi, mampukah Jokowi memenangi pertarungan Pilpres 2019 nanti? Berikan pendapatmu. (Berbagai sumber/R24)