Dalam diri keduanya sama-sama mengalir darah politikus ternama. Tapi siapa sangka, tekanan politik yang mereka terima bisa melahirkan kekuatan berbeda?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]ebagai seorang politikus tersohor yang sedang berceramah, bagaimana rasanya bila tiba-tiba ada orang yang berteriak mengejek wajah kusut dan pakaian ketat yang dikenakan? Tentu tindakan itu tak hanya membuat situasi menjadi tak nyaman, tapi juga malu. Sayangnya, inilah yang pernah terjadi pada Nurul Izzah, politisi Partai Keadilan Rakyat (PKR) Malaysia.
Nurul Izzah bukanlah sembarang orang, ia merupakan putri sulung Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri (PM) Malaysia dan istrinya, Wan Azizah Wan Ismail yang saat ini duduk sebagai wakil PM Malaysia. Pasca kemenangan Mahathir, keluarga ini mendapat sorotan masyarakat dan media karena dianggap membawa wajah baru bagi Malaysia.
Pelecehan terhadap dirinya sendiri, merupakan bentuk penolakan dari pendukung Pemerintahan Najib Razak, PM Malaysia yang baru saja digulingkan karena kasus korupsi. Pelakunya sendiri berhasil dikerjar oleh para aktivis Wanita Malaysian Chinese Association (MCA). Namun kejadian ini, ternyata mampu memperkaya pengalaman Nurul Izzah dalam berhadapan dengan kerikil dan akar liar di dunia politik.
Sejak ikut terjun ke dunia politik tahun 1997, melalui partai yang saat ini dipimpin oleh ibundanya, Nurul Izzah sudah “biasa” berhadapan dengan persekusi semacam itu. Terlebih saat ayahnya didera sangkaan hukum, mulai dari dugaan korupsi hingga sodomi, hingga harus keluar masuk penjara.
Ketika itulah, Nurul Izzah memutuskan terjun ke politik, demi mengobati trauma dan mengubahnya menjadi gerakan oposisi pemerintah. Ia rela banting setir dari seorang insinyur elektro lulusan Universitas Tenaga Nasional, kemudian menjadi politikus dengan menempuh pendidikan Hubungan Internasional di John Hopkins University.
Berbekal pendidikannya tersebut dan keberadaannya di PKR, Nurul Izzah akhirnya bisa memasuki parlemen. Keberadaannya di dunia politik memang tak bisa dilepaskan dari nama besar dan pengaruh nama ayah dan juga ibunya. Hal itu pun disadari betul oleh perempuan berusia 37 tahun tersebut.
Tetapi Nurul Izzah juga mampu secara mandiri menjadi prototipe politikus multikulturalis dan pluralis. Di belakangnya, ia didukung oleh kelompok Tionghoa dan Kristen, kelompok yang tak mendapat banyak tempat dan perhatian di bawah rezim Najib Razak yang lebih mengutamakan kelompok mayoritas Muslim dan Melayu.
Pilihan berada di kelompok minoritas, membuat dirinya dianggap murtad dan juga ikut merasakan jeruji besi. Pengalaman pertamanya masuk hotel prodeo terjadi saat ia mengatakan kalau pemerintah telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menciduk ayahnya melalui delik hukum yang tak masuk akal. Namun berkat desakan pihak internasional, akhirnya Pemerintah terpaksa membebaskannya.
Apa yang terjadi pada Nurul Izzah mengingatkan perkataan John A. Booth dalam penelitiannya berjudul The Effect of Repression Political Violence and Pain Loss. Penelitian yang diterbitkan University of North Texas ini, menyebutkan kalau efek pemerintahan yang mengekang dan represif akan melahirkan pula kekuatan partisipasi dalam bentuk sosial kapital maupun kelompok yang masif dan kuat.
Sikapnya yang memilih bergabung menjadi oposisi dengan PKR akibat penzaliman pemerintah pada ayahnya, juga merupakan pengejawantahan partisipasi kekuatan sosial kapital yang digariskan John A. Booth. Represi pemerintah juga membawa Nurul Izzah bersatu dengan kelompok Wanita MCA yang masif dan berhasil bertahan hingga kini.
Puti, Terhalang Puan?
Ketahanan sosial kapital Nurul Izzah menghadapi represi negara, pada akhirnya memberikan dirinya julukan sebagai “Puteri Reformasi”. Sebagai pewaris darah ayahnya, ia juga berani terjun ke dalam pergolakan politik negerinya. Pergulatan Nurul Izzah ini, mengingatkan pada perjuangan cucu Bung Karno, Puti Guntur Soekarno.
Sebagai pewaris tunggal Guntur Soekarno, putra sulung Soekarno, Puti digadang-gadang mewarisi bakat orasi yang mumpuni seperti yang dimiliki Megawati dan juga kakeknya, Soekarno. Saat ini, sama halnya seperti Nurul Izzah, Puti tengah menjadi “panutan” dan tokoh yang diidolakan, terutama oleh masyarakat Jawa Timur.
Dalam politik, kekuatan nama dan sosok dapat melahirkan legitimasi yang tak main-main. Hal ini diamini oleh peneliti senior Indonesian Public Institute Karyono Wibowo, menurutnya politik masih menganut paternalisme, yakni seorang tokoh heroik atau historik, masih dianggap sebagai patron politik ideal oleh sebagian masyarakat.
Pernyataan Karyono sangatlah relevan. Jangankan cucunya, putri Bung Karno yang kini memimpin PDIP pun, terjun ke dunia politik akibat nama besar ayahnya. Dengan nama dan sosok Soekarno, Megawati bisa memiliki akses berpolitik dan mampu membangun basisnya sendiri di tahun 1990-an.
Meski begitu, karir politik Puti sendiri tak bisa dianggap mulus. Karena bagaimana pun juga, ia bukanlah penerus darah Megawati, sang ketua umum PDI Perjuangan. Secara tak langsung, banyak pihak menilai kalau kemampuannya sengaja ditekan agar tidak menutupi pamor putri tunggal Megawati, yaitu Puan Maharani.
Berbeda dengan Puan, sosok tenang Puti, seolah kontras dengan penampilan orasinya yang menggebu-gebu, menggugah, dan bersemangat. Orasinya hampir selalu berhasil membuat seluruh ruangan ikut memekik kata “merdeka!” Kemampuannya inilah yang membuat Puti dipilih untuk menggantikan Azwar Annas sebagai calon wakil gubernur Jawa Timur, mendampingi Gus Ipul.
Bila dibandingkan dengan jalan yang ditempuh Nurul Izzah, langkah Puti tentu dianggap lebih santai dan lancar, walau lambat. Namun begitu, bukan berarti ia tak menemui kendala. Seperti yang tergambar, Puti tenggelam karena sosok Puan yang lebih diprioritaskan sejak awal untuk menempati posisi nyaman dalam dunia politik.
Jika mengembalikan apa yang telah digariskan oleh John Booth dalam the effect of repression, tekanan internal yang dialami Puti dalam trah keluarga Soekarno masih belum mampu melahirkan kekuatan sosial kapital sebesar apa yang dilalui Nurul Izzah.
Lahirnya Kekuatan Berbeda
Dalam sebuah kesempatan, Slavoj Zizek pernah berkata jika dirinya punya hak memilih di Amerika Serikat (AS), maka ia akan memilih tokoh konservatif Donald Trump supaya memaksa gerakan politik AS bisa berkembang dan kembali aktif. Walau menuai kontroversi, kini bisa dibuktikan sendiri bahwa di tengah-tengah sengkarut kepemimpinan Donald Trump, masyarakat AS berusaha melek dan aktif berpartisipasi dalam politik.
Sementara itu, dalam konteks pemerintahan Malaysia yang disebut kleptokrat di bawah rezim Najib Razak, pada akhirnya “dianggap” berhasil digulingkan oleh oposisi. Kemenangan kelompok oposisi, yang disimbolkan dengan keluarga Nurul Izzah dan Mahathir Mohammad ini, tentu diraih dalam proses panjang.
Bila hendak berlogika seperti Zizek, tanpa adanya Najib dan pemerintahan kleptokrasi yang menjebloskan ayahandanya, Nurul Izzah barangkali tak pernah mengenal dunia politik. Dirinya juga tak akan rela banting setir ke jurusan HI di Inggris. Tanpa kerikil dan akar liar, ia pun juga tak akan bisa dijuluki sebagai “Putri Reformasi” dan diakui sebagai politikus yang mumpuni.
Bila ditarik ke ranah psikologi, Albert Bandura, psikolog terkenal asal AS, juga pernah berkata, seseorang hanya akan menjadi cemerlang dan punya daya tahan (resilience) bila menghadapi pergulatan, ketimpangan, dan tekanan. Dari represi dan persekusi itulah, Nurul Izzah juga dianggap cemerlang.
Lantas apakah Puti bisa dianggap setara seperti halnya Nurul Izzah? Tekanan yang dialami oleh Puti jelas sangatlah berbeda. Tekanan yang dialami Puti terjadi di lingkup internal trah keluarganya. Tetapi tekanan tersebut, alih-alih dianggap sebagai bentuk represi, adalah juga bentuk akses dan kompetisi.
Dalam teori kelompok yang dijabarkan oleh David B. Truman dalam Organized Interest Groups in American National Politics, disebutkan bahwa dalam sebuah kelompok politik, distribusi kekuatan sebenarnya menjadi tujuan utama di dalamnya. Tetapi dalam kasus kekuatan yang timpang, akses hanya didapatkan pada kepentingan politik tertentu atau pemimpin.
Posisi Megawati sebagai pemimpin PDIP, akhirnya memainkan peran dalam pembagian akses, di mana dirinya leluasa memberi kesempatan pada Puan untuk berada di depan layar politik. Puti bukannya tak kebagian sama sekali, tetapi langkah politiknya baru dimulai ‘belakangan’, dibandingkan Puan.
Namun begitu, Puti bukan berarti kalah. Saat dirinya ditarik oleh Megawati menjadi calon wagub Jatim, masyarakat memandangnya sebagai angin segar yang datang dari trah Soekarno. Selain cantik, muda, dan berwibawa, Puti juga punya bakat orasi. Setidaknya itu pula yang diakui Gus Ipul, sehingga tak heran bila Puti lebih disukai masyarakat ketimbang Puan Maharani.
Tetapi tetap saja, langkah Puti ini belum bisa disejajarkan dengan apa yang dilakukan oleh Nurul Izzah. Dengan demikian, tekanan yang datang baik dari pemerintah maupun internal keluarga, serta nama besar ‘tokoh politik’ yang berada di pundak keduanya, ternyata mampu melahirkan bentuk kekuatan yang berbeda. (A27)