Demi membendung kekuatan Ahok yang secara misterius, bila telah keluar dari jeruji penjara, apakah Anies sengaja merekrut para pejabat yang didepak Ahok?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]osok Rustam Effendi kini terlihat lebih sering datang dan pergi di kediaman Boy Bernard Sadikin yang terletak di Jalan Borobudur No. 2. Mantan walikota Jakarta Utara yang pernah bersitegang dengan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok itu, rupanya sudah bergabung dalam Senior Executive Forum yang dibangun Boy.
Anak mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, Boy Sadikin, berbalik badan menjadi pendukung, bahkan ketua relawan Anies – Sandi dan resmi hengkang dari kursi Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) daerah Jakarta, setelah partai banteng bermoncong putih tersebut mengusung Ahok dalam gelaran Pilkada Jakarta lalu.
Kini, setelah Anies dan Sandi menang, tentu Boy makin sibuk saja. Ia membangun “Rumah Aspirasi” dengan mengelola dan mengendalikan tim relawannya untuk menampung pengaduan masyarakat. Agar aspirasi yang ditampung tak menjadi ‘dingin’, dikumpulkanlah para pakar dan pejabat dalam Senior Executive Forum yang berada dalam satu tiang dengan Rumah Aspirasi.
Tak hanya Rustam Effendi, ada pula Lasro Marbun dan Joko Kundaryo. Persamaan mereka berada dalam forum tersebut, adalah pernah ‘bermasalah’ dengan Ahok. Rustam Effendi pada April 2016 lalu, sengaja mengundurkan diri sebagai walikota karena berselisih dengan Ahok. Sementara Joko Kundaryo, awalnya duduk sebagai Kepala Dinas Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan. Ia dipecat Ahok karena pekerjaannya dianggap tak bisa memenuhi target. Lalu, Lasro Marbun yang dulu menjabat sebagai Kepala Inspektorat DKI Jakarta, dipecat pula oleh Ahok sebab terlibat proyek siluman pengadaan alat catu listrik sebesar Rp. 400 miliar.
Kini mereka semua kembali ‘direkrut’ dan akan mengisi jabatan di pemerintahan Anies – Sandi melalui forum yang diubah Boy. Keputusannya untuk menarik kembali orang-orang yang ‘dizalimi’ Ahok tentu tak akan mulus, jika tak mendapat persetujuan dari Anies dan Sandi.
Melongok dari strategi yang dilancarkan Boy dan tentunya Anies, apakah ini merupakan salah satu strategi atau cara membendung kekuatan Ahok di tahun 2019 mendatang?
Membendung Kekuatan Ahok
Keberadaan Ahok tak bisa diremehkan begitu saja. Bukan sulap, bukan sihir, namanya bisa muncul dalam survei calon Wakil Presiden 2019. Berada dalam jeruji besi ternyata mampu mendudukkan dirinya di urutan 4 dalam survei elektabilitas yang dibuat oleh Indo Barometer. Ahok mendapatkan 3,3 persen dari total 1.200 responden di 34 provinsi.
Tak hanya Ahok, ada pula nama Anies Baswedan di sana. Hanya berbeda 0,3 persen, Anies unggul dengan perolehan 3,6 persen. Perolehan yang tak kontras ini, patut diwaspadai. Sebab dibandingkan dengan Ahok, Anies Baswedan harus ‘tertatih’ mendapatkan kursi DKI Jakarta 1 terlebih dahulu, sementara Ahok tak harus beranjak dari dalam penjara.
Di sisi lain, Anies juga menempati posisi sebagai calon terkuat untuk mendampingi Prabowo dalam Pilpres 2019. Hasilnya tak main-main, Anies dan Prabowo bahkan mengungguli tokoh-tokoh politik lain seperti Presiden PKS, Shohibul Iman dan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, perolehan tersebut dikomentarinya, “Kalau begini Pak Prabowo tingkat kesuksesannya harus ditingkatkan. Anies Baswedan cukup tinggi karena melalui Pilkada Jakarta,” jelasnya.
Maka dengan merekrut orang-orang yang pernah bekerja dan ‘sakit hati’ dengan Ahok, tentu bisa menjadi sebuah manuver tersendiri untuk membendung kekuatan Ahok dan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki Anies. Dari Rustam Effendi, Lasro Marbun, dan Joko Kundaryo, pengalaman bekerja langsung bersama Ahok bisa didapat. Dari sana, kelemahan dan kekuatan dari strategi bekerja Ahok bisa didapatkan. Lebih jauh lagi, strategi membendung kekuatan Ahok tak tertutup pula akan tersingkap.
Walau Pasal Penodaan Agama sudah menjadi momok bagi Ahok, bahkan menurut pakar hukum Bivitri Susanti eksistensi karir politik Ahok sudah terancam, namun Ahok masih mempunyai basis massa dan pendukung loyal yang tak sedikit. Salah satu contoh kecilnya adalah Tsamara Amany, kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kerap menyebut Ahok sebagai sosok tegas dan berani.
Kembali Setelah Terdepak
Merekrut kembali orang-orang yang didepak untuk kembali ke kursi pemerintahan, tak hanya dilakoni oleh Anies Baswedan saja. Bahkan Presiden Indonesia pun pernah pula melakukannya. Presiden Jokowi pernah mendepak Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan di Kabinet Kerja.
Hal yang sama terjadi pula pada Arcandra Tahar. Kehadirannya yang sempat menyita perhatian publik, karena disinyalir memiliki kewarganegaraan ganda, Amerika Serikat dan Indonesia, harus mundur dari jabatannya. Akibatnya, ia diberhentikan secara hormat pada setelah 20 hari menjabat sebagai menteri ESDM dan digantikan oleh Luhut Panjaitan.
Namun pada Oktober 2016 lalu, Presiden Jokowi kembali melantik keduanya sebagai menteri. Ignasius Jonan menjabat sebagai menteri ESDM dan Arcandra Tahar sebagai wakilnya. Walau begitu, tentu saja intensi Presiden Jokowi melantik keduanya, tak sama dengan intensi yang dimiliki oleh Anies untuk merekrut kembali orang-orang yang ‘dibuang’ Ahok.
Langkah Anies yang dibantu oleh Boy Sadikin, juga berupaya menumbuhkan loyalitas dari para pejabat tersebut, selain mendapatkan informasi mengenai bagaimana kekuatan dan kelemahan kerja Ahok. Tak tertutup kemungkinan pula, jika Anies hendak memutarbalikan semua kebijakan yang sudah dibangun Ahok selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini akan dibahas pula dalam sekuel tulisan berikutnya, yakni kebijakan Anies yang menjadi anti-thesis kebijakan Ahok.
Terlepas dari jurus dan strategi yang hendak dimainkan Anies untuk membendung kekuatan Ahok dan memaksimalkan kekuatannya di 2019, para pejabat tersebut masih tetap layak berkarya. Seperti mengutip pernyataan Boy Sadikin, bagaimana pun konflik yang terjadi antara mereka dengan Ahok, para pejabat ini memiliki kemampuan dan pengalaman yang mumpuni di bidangnya. (Berbagai Sumber/A27)