Permintaan bebas Juliari Batubara atas kasus korupsi bansos Covid-19 semakin menguatkan persepsi publik bahwa partai politik (parpol) merupakan entitas korup. Apakah parpol memang melahirkan politisi korup? Jika demikian, mungkinkah parpol dihapuskan?
“I hate all politics. I don’t like either political party. One should not belong to them – one should be an individual, standing in the middle. Anyone that belongs to a party stops thinking.” ― Ray Bradbury, penulis asal Amerika Serikat
Eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara tengah mendapat sorotan luas masyarakat. Pasalnya, dalam nota pembelaan atau pleidoi yang dibacanya pada 9 Agustus, eks politisi PDIP ini meminta untuk dibebaskan dari segala dakwaan.
Alasan Juliari juga tidak kalah mencuri perhatian. Ia menyinggung masalah keluarga. Anak-anaknya masih di bawah umur dan sangat membutuhkan perannya sebagai sosok ayah. “Akhirilah penderitaan kami ini dengan membebaskan saya dari segala dakwaan,” ungkapnya.
Entah kebetulan atau tidak, ungkapan serupa juga disampaikan oleh eks Menteri Kelautan dan Perikanan (Men-KP) Edhy Prabowo.
“Saya sudah berusia 49 tahun, usia di mana manusia sudah banyak berkurang kekuatannya untuk menanggung beban yang sangat berat. Ditambah lagi saat ini saya masih memiliki seorang istri yang salihah dan 3 orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah,” begitu ungkapnya pada 9 Juli.
Edhy pun meminta untuk dibebaskan atau diberikan hukuman yang seringan-ringannya. Permintaan tersebut terbilang menarik karena pada 22 Februari lalu, eks politisi Partai Gerindra ini mengaku siap dihukum mati, bahkan hukuman yang lebih berat dari itu.
Mengacu pada Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon dalam buku Introduction to Logic, pembelaan Juliari dan Edhy tersebut tergolong dalam kekeliruan bernalar (fallacies) yang disebut dengan argumentasi ad misericordiam (appeal to pity). Argumentasi tersebut digunakan dengan tujuan untuk meminta belas kasihan orang lain.
Baca Juga: Tuntutan Rendah Juliari, Kontradiksi KPK?
Terlepas dari bentuk argumentasi pembelaan keduanya, kasus Juliari dan Edhy adalah fenomena gunung es atas maraknya kasus politisi korup yang kerap kita dengar.
Dua kasus ini juga kembali memperkuat persepsi publik terkait partai politik (parpol) merupakan entitas korup. Alasannya sederhana, kader-kader yang dihasilkan tidak jarang mendekam di balik jeruji besi karena kasus korupsi.
Menariknya, dalam Sekolah Kader PSI baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan pembelaan terhadap eksistensi partai politik. Menurutnya, kendati pun parpol kerap dipersepsikan negatif, kehadirannya masih dibutuhkan sebagai penyeimbang kekuasaan.
Namun, seperti yang mudah ditebak, pembelaan semacam itu tidak menyurutkan persepsi negatif publik atas partai politik. Unggahan infografis PinterPolitik terkait pernyataan Mahfud di Instragram, misalnya, dibanjiri oleh komentar yang mendiskreditkan partai politik.
Persoalan mengenai derasnya sentimen negatif terhadap partai politik kemudian melahirkan suatu gagasan, mungkinkah sistem politik, khususnya demokrasi dijalankan tanpa partai politik?
Gelombang Deparpolisasi
Di Indonesia sendiri, dalam berbagai rilis survei, kepercayaan publik terhadap partai politik memang memiliki tren rendah. Dalam rilis survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2021, misalnya, kepercayaan publik terhadap parpol menduduki posisi terendah dengan hanya mencapai 47,8 persen.
Ada pula rilis survei Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) pada Maret 2021. Dalam temuannya, hanya 37,3 persen responden yang menilai partai politik memiliki kinerja yang baik, dan sebanyak 58,6 persen menilai kinerja parpol buruk dan korup.
Mengacu pada Katherine Ellison dalam tulisannya Can we have democracy without political parties?, tren meningkatnya ketidakpercayaan terhadap partai politik ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai belahan dunia.
Saat ini, bahkan tengah berkembang gagasan, mungkinkah demokrasi dijalankan tanpa partai politik, atau setidaknya peran parpol ditekan seminimal mungkin?
Kendati awalnya disebut gagasan yang banal, Ellison melihat krisis ekonomi 2008 dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016 telah membuat gagasan ini mendapatkan perhatian luas.
Secara khusus, gelombang ketidakpercayaan publik terhadap partai politik ini disebut dengan deparpolisasi.
Henrik Mueller dalam tulisannya Do we still need political parties? memberikan poin menarik. Menurutnya, tanpa adanya partai-partai besar yang mampu mengorganisir konsensus yang stabil, suatu negara pasti akan terjebak dalam kebuntuan.
Sekarang coba bayangkan, apabila partai politik tidak ada, pengambilan keputusan akan melibatkan begitu banyak elemen, mulai dari individu, hingga kelompok-kelompok kecil. Kira-kira apa yang terjadi? Akan ada perdebatan alot, sulitnya terjadi konsensus, hingga keputusan mungkin tidak diambil.
Baca Juga: Bilal, Jokowi dan Negara Penjaga Malam
Ilmuwan politik AS, Francis Fukuyama menjelaskan persoalan ini menggunakan konsep thymos atau thymia dari Plato. Menurutnya, terdapat tiga masalah yang sulit diselesaikan oleh demokrasi liberal modern, yakni thymos, isothymia, dan megalothymia.
Thymos adalah bagian dari jiwa manusia yang sangat membutuhkan pengakuan akan martabat. Isothymia adalah tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Sedangkan megalothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul.
Ketiga hal tersebut menuntut satu hal, yakni hasrat untuk diakui atau dihormati. Masalahnya adalah, kendati demokrasi liberal modern menjanjikan kehormatan yang setara, pada praktiknya janji tersebut begitu sulit terjadi.
Dengan jaminan kesamaan hak, seperti kebebasan berpendapat, setiap individu ataupun kelompok sosial akan berusaha untuk menyuarakan identitas ataupun kepentingannya agar mendapatkan pengakuan.
Kembali pada pertanyaan tadi, tanpa adanya partai politik, bukankah akan ada ribuan atau jutaan thymos yang ingin diakui? Dengan adanya partai politik, seperti kata Mueller, itu dapat menjadi wadah untuk menampung thymos-thymos yang ada.
Seperti penegasan Fukuyama, mungkin benar itu tidak benar-benar representatif, namun itu masih lebih baik daripada berada pada posisi deadlock.
Lingkaran Setan
Terkait masalah representatif, suka atau tidak, gelombang deparpolisasi , khususnya yang melanda anak muda justru telah memperbesar persoalan tersebut. Seperti yang diketahui, karena buruknya persepsi terhadap parpol, berbagai pihak menjadi enggan untuk masuk dalam partai politik.
Masalahnya adalah, jika orang-orang yang baik dan amanah tidak mengambil porsi besar, parpol akan diisi oleh mereka yang hanya memiliki kepentingan pragmatis dan oportunis.
Lebih jauh, masalah ini dapat dijelaskan melalui salah satu teori permainan (game theory), yakni dilema narapidana (prisoner’s dilemma). Dilema narapidana adalah konsep yang menerangkan bahwa kerja sama sulit terjadi karena masing-masing individu mengasumsikan pihak lain pasti mengambil keputusan atas kepentingannya sendiri.
Nah, karena parpol dominan diisi oleh mereka yang memiliki kepentingan pragmatis dan oportunis, dilema narapidana benar-benar terjadi dalam aktivitas politik. Terjadi surplus ketidakpercayaan dan setiap pihak berusaha mencari keuntungan pribadi.
Persoalan ini menjadi lebih kompleks karena besarnya biaya kampanye. Sebenarnya, masalah ongkos politik ini dapat diselesaikan apabila parpol memiliki kemandirian finansial. Masalahnya, dalam Pasal 40 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, parpol tidak diizinkan untuk mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.
Ini sekiranya membuat partai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan logistiknya. Alhasil, ini berkonsekuensi pada dilanggarnya Pasal 40 Ayat 3, di mana terjadi praktik lumrah partai dalam menerima sumbangan dari pihak asing, perseorangan, perusahaan atau badan usaha, serta menggunakan fraksi di berbagai lembaga pemerintahan sebagai sumber pendanaan.
Baca Juga: Mahfud Akui Pelemahan KPK?
Selain memiliki badan usaha, ada pula saran lain agar logistik parpol ditanggung oleh negara. Ekonom senior Rizal Ramli, misalnya, kerap menyuarakan hal ini.
Pada akhirnya mungkin perlu disadari bahwa gelombang deparpolisasi telah berkontribusi secara tidak langsung atas meningkatnya ketidakpercayaan terhadap partai politik. Selain itu, masalah kemandirian finansial parpol sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah.
Tidak mungkin parpol menjalankan fungsinya untuk memberikan pendidikan politik dan mencetak kader-kader berkualitas, apabila disibukkan mencari logistik agar partai dapat berjalan. (R53)