Berbagai kehebohan timbul akibat tingkah laku wakil rakyat, termasuk anggota-anggota DPR. Terakhir, terdapat anggota DPRD DKI Jakarta yang bernama Cinta Mega tertangkap basah menggunakan aplikasi judi online.
“I do what I want when I’m wanting to” – Billie Eilish, “bad guy” (2019)
Kutipan lirik di atas merupakan salah satu lagu yang paling fenomenal di akhir dekade 2010-an. Bagaimana tidak? Lagu “bad boy” (2019) dari Billie Eilish menempati posisi teratas di tangga lagu selama berminggu-minggu.
Popularitas lagu ini akhirnya membuat penyanyi-penyanyi populer ikut mencoba untuk membawakan lagu ini – seperti Justin Bieber. Lagu ini pula yang dianggap membuat nama Billie meledak di industri musik dunia.
Namun, lirik-lirik dalam lagu ini memiliki sejumlah makna yang sebenarnya bisa membuat kita bertanya-tanya akan diri kita. Dalam sejumlah wawancara, Billie pun mengatakan bahwa lagu “bad guy” memainkan banyak bentuk persona (sifat) yang ada di masyarakat.
Dan, mungkin, persona inilah yang mungkin juga perlu diperhatikan oleh para wakil rakyat yang menjadi bagian dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR Daerah (DPRD). Pasalnya, para wakil rakyat kerap menjadi sorotan publik akibat tingkah laku mereka.
Anggota DPRD DKI Jakarta, Cinta Mega, misalnya, mendapat sorotan karena tertangkap basah menggunakan aplikasi judi online. Alhasil, Cinta Mega-pun dipecat.
Tidak hanya Cinta Mega, beberapa kasus lain juga pernah terjadi. Seorang wakil rakyat berinisial HM pernah menonton video porno di ponselnya. Sontak saja, publik pun dibuat heboh.
Perilaku buruk para wakil rakyat ini juga tercatat dalam lirik lagu dari Iwan Fals yang berjudul “Surat Buat Wakil Rakyat” (1987). “Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat,” nyanyi Iwan Fals dalam lagu tersebut.
Bahkan, mungkin, bisa dibilang bahwa pemandangan anggota-anggota DPR yang sibuk bermain ponsel bukan lagi menjadi pemandangan aneh. Seakan-akan tingkah laku demikian sudah dinormalisasi.
Inipun menimbulkan sejumlah tanya di benak masyarakat. Mengapa para wakil rakyat ini bisa bertingkah laku ‘seenaknya sendiri’? Padahal, rakyat-pun telah menyoroti tingkah laku mereka.
Mencari Budaya ‘Seenaknya Sendiri’?
Bukan jadi rahasia lagi bahwa banyak praktik dalam kehidupan dipengaruhi oleh cara suatu masyarakat berpikir. Nilai dan norma yang ada di masyarakat inilah yang bisa dipahami sebagai budaya (culture).
Nah, bukan tidak mungkin, budaya yang ada di masyarakat juga mempengaruhi bagaimana tata laku dan praktik politik dijalankan. Setidaknya, inilah definisi budaya politik (political culture) yang dicetuskan oleh Lucian Pye dalam bukunya yang berjudul Political Culture and Political Development.
Agar mudah dipahami, budaya politik adalah bagaimana individu dalam suatu struktur politik bertindak, bertingkah laku, dan membuat keputusan politik. Berdasarkan serangkaian nilai inilah, para individu dalam budaya politik tersebut menjalankan langkah-langkah politiknya.
Lantas, bagaimana dengan budaya politik Indonesia? Mungkinkah budaya politik Indonesia yang juga mempengaruhi tingkah laku para wakil rakyat?
Setidaknya, banyak pakar menilai bahwa budaya politik Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa – khususnya tata laku yang dipegang oleh Kesultanan Mataram yang berdiri pada tahun 1587 hingga tahun 1755. Dominasi budaya politik Jawa dalam budaya politik Indonesia ini disebut dengan istilah “Mataramisasi”.
Dalam budaya politik ala Mataram, hierarki kekuatan (power) menjadi sistem utama yang digunakan – yang mana raja berada di pusat kekuasaan. Ini juga mengapa budaya politik Jawa selalu soal upaya-upaya untuk memusatkan berbagai sumber kekuatan.
Konsepsi kekuatan ala budaya politik Jawa ini juga dijelaskan oleh Benedict R. O’G Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Setidaknya, Anderson menyebutkan tiga konsepsi utama atas kekuatan politik dalam budaya politik Jawa.
Pertama, kekuatan dipercaya memiliki sifat konkret sehingga jumlahnya di alam semesta tetap. Ini juga berhubungan dengan sifat kekuatan yang kedua – yang mana kekuatan dianggap homogen, apapun sumbernya.
Dengan sifat konkret ini, kekuatan pun akhirnya sulit dipertanyakan. Ini berkaitan dengan konsepsi ketiga – yang mana legitimasi kekuatan dalam budaya politik Jawa tidak bisa dipertanyakan.
Bukan tidak mungkin, sifat kekuatan seperti inilah yang akhirnya terbawa hingga Indonesia di masa modern. Boleh jadi, konsepsi ketiga inilah yang akhirnya membuat individu yang memiliki power merasa memiliki hak untuk tidak dipertanyakan.
Namun, para wakil rakyat bukanlah satu-satunya pemegang kekuasaan utama – mengingat ada juga pejabat eksekutif. Lantas, mengapa para politisi legislatif ini bisa memainkan kekuatan dalam konsepsi ala Jawa? Peran apa yang dimainkan oleh para anggota DPR?
Anggota DPR = “Priyayi” Baru?
Menariknya, para politisi legislatif memainkan peran yang menarik dalam pola kekuasaan Indonesia. Bukan tidak mungkin, para wakil rakyat memainkan peran “priyayi” dalam budaya politik Indonesia modern.
Kata “priyayi” sendiri merujuk pada para aristrokrat dalam budaya politik Jawa. Mengacu pada tulisan Majid Wajdi, Paulus Subiyanto, dan I Made Sumartana yang berjudul Identifying Social Class in the Society of Java, mereka adalah orang-orang yang berpengaruh – kerap kali masih memiliki darah bangsawan – dalam masyarakat Jawa.
Pemahaman soal peran priyayi dalam budaya politik Jawa ini juga pernah ditulis oleh sejumlah Indonesianis – orang-orang luar negeri yang mempelajari studi ke-Indonesia-an. Salah satunya adalah Clifford Geertz yang muncul dengan klasifikasi kelompok sosial-politik Jawa yang terdiri atas abangan, santri, dan priyayi.
Dalam penjelasan Geertz, priyayi memiliki peran tengah yang bertugas untuk mengatur keteraturan masyarakat kelas bawah. Para priyayi ini biasanya bekerja untuk kraton – dalam hal ini adalah istana dalam pola kekuasaan politik ala Jawa.
Tidak hanya Geertz, Heather Sutherland dalam tulisannya yang berjudul The Priyayi juga menjelaskan bahwa para priyayi memiliki koneksi dua arah, yakni dengan kraton dan masyarakat umum. Kekuatan yang diakui oleh dua kelas lainnya inilah yang membuat priyayi tetap memiliki pengaruh.
Lebih lanjut lagi, Sutherlan menyebutkan bahwa ada dua sumber kekuatan yang dimiliki oleh priyayi. Pertama, para priyayi biasanya memiliki koneksi ke penguasa – dalam hal ini kraton. Selain itu, kedua, priyayi juga menguasai sumber-sumber penting – seperti produk-produk agrikultural, tenaga kerja, hingga tentara/orang bersenjata yang potensial.
Bukan tidak mungkin, pola dan sumber kekuatan yang dimiliki oleh priyayi dalam penjelasan Geertz dan Sutherland sebenarnya dibilang mirip dengan peran yang dimainkan oleh para wakil rakyat di masyarakat modern Indonesia. Banyak para politisi di DPR adalah orang-orang yang memiliki koneksi politik dan menguasai sejumlah sumber – misal biasanya juga orang berpengaruh seperti pengusaha.
Dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, misalnya, banyak calon legislative (caleg) memiliki latar belakang sebagai pengusaha – dalam laporan Tempo dan Auriga Nusantara. Selain itu, beberapa caleg juga berasal dari jalur politik – seperti aktivis atau individu yang memiliki hubungan keluarga dengan para politisi di masa lampau.
Pola mirip “priyayi” dalam hal sumber kekuatan ini bukan tidak mungkin membuat para anggota DPR juga memainkan peran masyarakat layaknya priyayi dalam budaya politik Jawa – yakni sebagai penengah yang juga memiliki kehidupan layaknya sang penguasa atau raja.
Padahal, seperti penjelasan Sutherland, seorang priyayi juga memiliki nilai-nilai penting yang dianut – yakni permintaan moral yang perlu dipenuhi dengan kelas sosialnya. Beberapa di antaranya adalah pengetahuan dan kebudayaan yang baik – seperti kebaikan bertutur dan kesopanan yang perlu dijunjung tinggi.
Boleh jadi, bila ingin menjadi “priyayi” yang sebenarnya, alangkah baiknya para wakil rakyat juga memiliki permintaan moral (moral demands) yang dipenuhi oleh para priyayi dalam budaya politik Jawa. Siapa tahu nantinya akan benar-benar diakui layaknya seorang “priyayi” sebenarnya oleh masyarakat? Bukan begitu? (A43)