HomeNalar PolitikJubir “Galak”, Sri Mulyani Krisis Reputasi?

Jubir “Galak”, Sri Mulyani Krisis Reputasi?

Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo kembali terlibat perdebatan sengit di Twitter, kali ini melawan politisi Partai Gerindra Fadli Zon. Ini bukan kali pertama Yustinus terlibat perdebatan. Lalu, mengapa juru bicara (jubir) Sri Mulyani itu begitu aktif merespons isu keuangan negara di media sosial? 


PinterPolitik.com  

Debat panas muncul setelah Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra yang juga Ketua Badan Kerja Sama Antar Lembaga DPR Fadli Zon disenggol Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo di Twitter. 

Musababnya, di akun @fadlizon, dirinya menjelaskan harga bahan bakar minyak (BBM) yang murah dan nihilnya jalan tol berbayar di Aljazair saat mengikuti Konferensi ke-17 Uni Parlemen Negara-Negara Islam (PUIC). 

Tak dinyana, Yustinus tampaknya langsung ke-trigger atas unggahan Fadli yang telah dilihat satu juta kali itu dengan membagikan data pembanding terkait antara Aljazair dan Indonesia, bahkan lengkap dengan infografisnya. 

Dalam data yang dipaparkan Yustinus, cadangan minyak hingga rasio utang disebutkan. Menariknya, sosok yang bisa dibilang juru bicara (Jubir) Menkeu Sri Mulyani itu juga menyentil rasio utang yang sering dinyiyirin oleh Fadli. 

Setelah saling balas, Fadli menyebut Yustinus sebagai textbook thinker yang kerap melewatkan substansi. 

Jika diamati, ini bukan kali pertama Yustinus begitu reaktif terhadap isu yang terkait keuangan negara. Dalam dua pekan terakhir, setidaknya, dia sangat aktif meladeni dengan keras sejumlah kritik. 

image 2

Saat Sekretaris Departemen IV DPP Partai Demokrat Hasbil Mustaqim Lubis menyentil utang negara dengan serangkaian rincian data, misalnya, Yustinus langsung menanggapi hal tersebut dengan “jurus template” bahwa rasio utang Indonesia yang rendah dibanding negara lain di Asia Tenggara. 

Apa yang disampaikan Hasbil sendiri tak lain adalah perpanjangan narasi atas kritik Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mengkritik utang menumpuk di era pemerintahan Presiden Jokowi. 

Tak hanya itu, kritik soal “pengambilan” dana haji oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dari politikus PKS Iskan Qolba Lubis turut ditanggapi Yustinus. 

Mengenai hal ini, Yustinus kiranya berada di atas angin mengingat kewenangan pengelolaan dana haji berada di Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). 

Berkaca dari jamaknya respons lantang Yustinus tersebut, sebuah pertanyaan sederhana mengemuka. Mengapa Menkeu Sri Mulyani dan jajarannya sampai membutuhkan jubir yang sangat aktif? Adakah yang memang harus benar-benar dibentengi atau “ditutupi”? 

Baca juga :  For The Needs of Menko

Signifikansi Jubir 

Untuk memahami secara komprehensif gestur reaktif Yustinus, pemahaman terhadap eksistensi seorang jubir agaknya dapat menjadi titik tolak pertama. 

Jubir, dalam hal ini yang dimiliki aktor dalam politik maupun pemerintahan memang begitu krusial sebagai penggaung konstruktif serta berhadapan dengan berbagai tugas dan risiko public relation

Kendati sejumlah pejabat publik memilih berbicara langsung, tak sedikit pula yang memiliki staf khusus demi tugas tersebut. 

image 1

Terkait konteks kepresidenan, misalnya, Woody Klein dalam All the Presidents’ Spokesmen, mengatakan jubir dapat didefinisikan sebagai individu yang bertugas untuk membantu dalam mempresentasikan pejabat publik dan kebijakan-kebijakannya. 

Tak hanya itu, Klein mengatakan peran esensial seorang jubir ialah merepresentasikan citra terbaik melalui cara dan medium apapun yang diperlukan. 

Tony Snow, jubir Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush, menjelaskan kualifikasi yang diperlukan untuk menjalankan tugas tersebut, yakni pemahaman akan politik dan pemerintahan nasional yang luas, loyalitas, serta memahami kebutuhan media. 

Berkembangnya cakupan media ke ranah media sosial membuat kebutuhan itu turut mencakup serta menjangkau ranah lini masa kekinian, seperti Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya 

Menariknya, Elena Johansson dan Karl Magnus Johansson dalam sebuah jurnal berjudul Along the government–media frontier: Press secretaries offline/online menyiratkan bahwa di tengah atmosfer media sosial yang mustahil untuk dikontrol, peran jubir biasanya untuk menarik sekaligus mengalihkan perhatian. 

Perhatian dalam konteks ini adalah publik domestik tentang berbagai hal, mulai dari sosialisasi dan persuasi kebijakan hingga sebagai tameng plus pengalih jika sentimen minor menaungi sang pejabat publik maupun institusinya. 

Jika ditelisik lebih dalam, apa yang disiratkan duo Johansson itu serupa dengan tujuan menciptakan halo effect, khususnya dalam psikologi marketing untuk merespons persaingan pasar. 

Dalam konteks secara umum, halo effect sendiri merupakan kecenderungan kesan positif terhadap seseorang, perusahaan, hingga merk tertentu di satu konteks tertentu untuk memengaruhi impresi positif subjek serupa di konteks lain.  

Ketika direfleksikan pada peran Yustinus sebagai jubir Menkeu Sri Mulyani, salah satu tujuan yang dilakukan bisa jadi bermuara pada penciptaan halo effect mengenai berbagai hal terkait kebijakan Menkeu Sri Mulyani. 

Meski demikian, salah satu tujuan spesifik tersebut juga merujuk pada upaya proteksi serta perbaikan reputasi di saat krisis. 

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Lantas, apakah respons yang begitu reaktif Yustinus di linimasa mengindikasikan sedang terjadi krisis reputasi Menkeu Sri Mulyani dan jajarannya? 

image

Lumrah Dilakukan? 

Mengenai diskursus sebelumnya terkait reputasi, W. Timothy Coombs dan Sherry J. Holladay dalam sebuah publikasi berjudul Unpacking the halo effect: reputation and crisis management memaparkan penelitian cukup menarik. 

Coombs dan Holladay menyebut halo effect memang dapat berperan sebagai perisai guna menghindari kerugian reputasi di kala krisis. 

Lalu, dalam konteks Yustinus, dan jika memang benar sedang dihadapi Menkeu Sri Mulyani, apakah “krisis” yang sedang dihadapi? 

Berdasarkan sejumlah isu terkait keuangan negara, Kemenkeu pimpinan Sri Mulyani memang kerap diserang kabar tak menyenangkan. 

Sebagaimana menjadi objek kritik sejumlah politikus seperti Fadli Zon hingga AHY, sejumlah isu seperti pajak, rasio utang, hingga alokasi anggaran seolah konsisten tertuju langsung ke sang “bendahara negara” dan institusinya. 

Bahkan, satu kritik cukup menohok sempat datang dari Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil yang pada Desember 2022 lalu mengatakan Kemenkeu berisi iblis dan setan semua. 

Tak dapat terbantahkan, narasi itu tentu sangat merugikan, bahkan dapat dikatakan menjadi semacam krisis reputasi bagi Menkeu Sri Mulyani. 

Di titik inilah, Coombs dan Holladay menekankan pentingnya penciptaan hallo effect untuk menangkal berbagai potensi kerugian sekaligus melindungi reputasi subjek tertentu. 

Yustinus kiranya juga menjadi sosok tepat untuk menciptakannya. Pengalaman di bidang keuangan negara, khususnya perpajakan, membuatnya cukup mumpuni untuk menangkal narasi yang berpotensi memantik krisis reputasi. 

Keberanian dan kepiawaian merangkai kata melalui keyboard Yustinus pun agaknya tak lepas dari kombinasi riwayat pendidikannya di luar studi keuangan, yakni bidang filsafat. 

Oleh karena itu, Yustinus yang tampak “galak” merespons kabar-kabar miring terkait Menkeu Sri Mulyani kiranya bisa dipahami dan lumrah saja untuk dilakukan. 

Di atas semua itu, alangkah baiknya memang jika apa yang dilakukannya saat ini dapat membuka ruang diskursus yang konstruktif bagi kemaslahatan bersama. 

Namun, sebagaimana yang dikatakan Johansson, media sosial sebagai “medan perang” prominen Yustinus mustahil untuk dikendalikan. 

Dapat dikatakan, upaya proteksinya sebagai jubir Menkeu Sri Mulyani agaknya memang sebatas menjadi alternatif opini di tengah alam rimba media sosial serta literasi politik dan kebijakan publik masyarakat/warganet. (J61) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?