Jozeph Paul Zhang tengah menjadi pusat perhatian karena diduga melakukan penistaan agama. Tidak hanya masyarakat, berbagai elite politisi juga turut bersuara. Melihat kekompakan dan besarnya atensi, mungkinkah tengah terjadi kapitalisasi isu pada persoalan Paul Zhang ini?
“Living as we do at a time when identity-based politics has become the norm the world over, it is hardly a surprise that religious identity has likewise been commodified.” – Farish A. Noor, dalam When religion becomes a commodity
Ada variabel-variabel menarik yang dapat ditarik dari dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Jozeph Paul Zhang melalui kanal YouTube pribadinya. Variabel tersebut bukan soal apakah benar itu penistaan atau bukan, melainkan pada bagaimana isu ini mencuat ke publik.
Kendati kasus serupa kerap terjadi, cukup menarik memperhatikan masifnya para politisi elite merespons pernyataan Paul Zhang. Tidak tanggung-tanggung, Paul Zhang saat ini tengah masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri. Kerja sama dengan polisi internasional (Interpol) juga telah dilakukan karena Paul Zhang disinyalir berada di luar negeri, kemungkinan di Jerman.
Selain persoalan momentum, ada pula keganjilan karena kasus serupa tidak direspons semasif ini. Sebut saja ceramah kontroversial dengan nada serupa yang mudah kita temukan di berbagai lini media sosial. Selain itu, apabila kita tarik secara filosofis, persoalan seperti ini sebenarnya tidak mungkin dihindari.
Lawrence M. Hinman dalam bukunya Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory, misalnya, membahas pertentangan etis tak terhindarkan atas penentuan nilai yang disandarkan pada agama. Mengacu pada diversitas teologi, tentu setiap agama dan kepercayaan memiliki klaim tersendiri atas apa itu yang baik, yang benar, dan yang salah. Tidak jarang, antar nilai juga berbenturan.
Baca Juga: Abu Janda akan Segera Tamat?
Well, tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai tarikan filosofis semacam itu, melainkan membahas aspek politik terkait keganjilan variabel yang telah disebutkan. Pertanyaannya sederhana, mengapa respons atas kasus Paul Zhang begitu masif?
Isu Mendasar
Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia menulis pengantar yang begitu menggugah, atau mungkin membuat para teis merasa panas dalam bab “Kematian Tuhan?”.
“Pada awal abad kesembilan belas, ateisme benar-benar telah menjadi agenda. Kemajuan sains dan teknologi melahirkan semangat untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.” Lanjutnya, “Bahkan pada akhir abad itu, sejumlah besar orang mulai merasakan bahwa sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk membunuhnya.”
Pengantar itu persis seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sosiologi, Auguste Comte dalam penjelasannya mengenai perkembangan kesadaran manusia. T.M. Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran dalam buku Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya menjelaskan ada tiga tahap perkembangan kesadaran manusia menurut Comte.
Secara linier kesadaran manusia bergerak dari pemikiran teologis, metafisik, dan puncaknya mencapai positif. Positif, atau akrabnya disebut positivisme adalah era saat ini, di mana metodologi ilmu pengetahuan tengah begitu maju dan mampu memberi jawaban atas persoalan-persoalan kehidupan manusia.
Namun, di tengah terpaan hegemoni sains saat ini, apakah bayangan Comte terbukti, di mana pemikiran teologis dinilai usang dan ditinggalkan? Sekiranya tidak, dan mungkin akan selalu seperti itu.
Di sini penjelasan Armstrong menjadi penting. Di tengah “kematian Tuhan” yang berdengung keras, khususnya dari Friedrich Nietzsche, Armstrong melihat arus besar ateisme bukannya membawa pada perasaan lega dan pembebasan, melainkan diwarnai rasa keraguan, ketakutan, dan kegundahan.
Baca Juga: Mudah Membaca Logika Kekuasaan Jokowi
Menariknya, tidak sekadar merasa ragu, muncul pula reaksi menentang kultus terhadap akal. Ini ditandai dengan interpretasi-interpretasi baru terhadap ayat-ayat agama agar tetap hidup dalam arus modernitas.
Dalam berbagai kajian mengenai masyarakat urban, lumrah pula ditemukan kehausan religiusitas. Kehidupan yang serba dikejar waktu, melelahkan, dan minimnya interaksi sosial, telah membawa masyarakat perkotaan pada kerinduan atas sesuatu yang rohani. Agama dan Tuhan adalah pangkalnya.
Singkatnya, dengan nilai-nilai religiusitas yang tidak dapat padam di tengah masyarakat, dalam kacamata politik, itu adalah ladang penggarapan. Maksudnya, untuk mendapatkan perhatian dan simpati masyarakat, tentu lebih mudah dengan cara merespons isu-isu mendasar seperti agama.
Alhasil, respons masif atas kasus Paul Zhang, pada dasarnya dapat dibaca sebagai indikasi betapa besarnya isu agama menjadi concern dalam politik nasional kita.
Kelsey Dallas dalam tulisannya Why the relationship between religion and politics is more complicated than you think memberikan bantahan atas asumsi tua (old assumptions) yang menyebutkan agama memengaruhi politik. Saat ini, hubungan keduanya begitu kompleks karena saling terkait satu sama lain.
Nah, setelah memahami hubungan erat keduanya, tentu kita memahami mengapa kasus Paul Zhang mendapatkan atensi luas.
Akan tetapi, apabila mengacu pada mantan konsultan politik Gedung Putih, Ed Rogers dalam tulisannya The politics of noise, isu-isu politik memang lumrah “dimainkan” untuk kepentingan tertentu, sekiranya layak dipertanyakan apakah terdapat usaha kapitalisasi isu atas kasus Paul Zhang?
Kapitalisasi Isu?
Tentu penekanannya bukan pada simpulan tidak ada keikhlasan dari respons yang ada, melainkan kemungkinan terdapat pihak yang berusaha melakukan kapitalisasi karena melihat isu ini mendapat perhatian luas.
Farish A. Noor dalam tulisannya When religion becomes a commodity memberikan prediksi yang penting direfleksikan. Menurutnya, hanya masalah waktu logika dari politik identitas yang dikomodifikasi akan pindah ke domain agama dan praktik keagamaan.
Tingkah laku dan norma agama, yang mencakup pakaian, simbol, dan ritual yang bukan menjadi inti esensial dari praktik keagamaan itu sendiri, yaitu iman, telah dijadikan komoditas penanda identitas di berbagai belahan dunia.
Mengacu pada lumrahnya politisi melakukan manajemen isu dan bertolak dari postulat logika kekuasaan dalam pandangan politik realis Niccolo Machiavelli, sekiranya layak dipertimbangkan bahwa terdapat pihak-pihak tertentu yang tengah melakukan kapitalisasi isu terhadap kasus Paul Zhang.
Kasus itu adalah komoditas politis yang berguna untuk menciptakan kebisingan politik. Seperti pernyataan Ed Rogers, kebisingan politik dapat ditujukan untuk menyukseskan agenda politik tertentu, namun bisa juga ditujukan untuk menciptakan kebisingan semata.
Akan tetapi, di tengah era digital saat ini, para politisi tidak dapat disalahkan begitu saja jika benar tengah terjadi kapitalisasi isu. Dalam tulisan Democracy Dies in Disinformation, Steven Feldstein dan Peter Pomerantsev menegaskan, saat ini media harus mengikuti pasar iklan yang lebih menghargai berita clickbait dan isu polarisasi.
Baca Juga: Kebisingan Politik, Salah Jokowi atau Media?
Dengan demikian, kendatipun politisi tidak melakukan manajemen isu, kebisingan politik akan tetap terjadi karena media juga memiliki kepentingan untuk memproduksi isu. Selain itu, ada pula gelagat masyarakat yang tampaknya memang menyukai isu-isu semacam itu.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa masifnya respons atas kasus Paul Zhang disebabkan karena isu agama memang menjadi isu alamiah yang selalu menarik. Ada pula kemungkinan kapitalisasi isu guna menciptakan kebisingan politik. Di tengah kebutuhan menciptakan kebisingan politik, Paul Zhang adalah objek yang ditemukan.
Well, apa pun yang benar, yang jelas isu ini tidak boleh menutup isu krusial lainnya, seperti penanganan pandemi Covid-19 ataupun berbagai kasus korupsi yang ada. (R53)