Menteri ESDM, Ignasius Jonan diterpa kasus hukum terkait pendayagunaan aset saat menjabat sebagai Direktur Utama PT KAI. Total kerugian yang dialami perusahaan mitra mencapai Rp 433 miliar. Ini menjadi noda merah dalam catatan mentereng tokoh yang mereformasi perkeretaapian Indonesia tersebut.
PinterPolitik.com
“He who is to be a good ruler must have first been ruled.”
:: Aristoteles (384-322 SM) ::
[dropcap]M[/dropcap]enteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tengah diterpa kasus hukum terkait kerja sama pendayagunaan aset PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) saat dirinya menjabat sebagai Direktur Utama perusahaan plat merah tersebut.
Persoalan ini melibatkan PT Mega Urip Pesona yang memenangkan Pemilihan Mitra Pendayagunaan Aset PT KAI terhadap tanah yang terletak di Jalan Laswi, Sukabumi, Bandung, Jawa Barat.
“Pada saat kepemimpinan Ignasius Jonan, manajemen PT KAI ditengarai tidak menjalankan kewajibannya terkait keputusan pendayagunaan aset perusahaan,” demikian keterangan Nicholas Dammen, SH, dari Kantor Hukum Lontoh & Partners yang menjadi tim kuasa hukum PT Mega Urip Pesona.
Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu, 25 April 2018, tim kuasa hukum menyebut kasus ini terjadi saat Jonan masih menjabat sebagai Direktur Utama PT KAI, yakni pada awal hingga pertengahan tahun 2014 lalu. Adapun Jonan melepaskan jabatan dari perusahaan plat merah ini pada Oktober 2014, setelah ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Menteri Perhubungan.
Disebutkan oleh tim kuasa hukum, saat itu PT Mega Urip Pesona memenangkan proses Pemilihan Mitra Pendayagunaan Aset PT KAI, yang dibuktikan melalui surat PT KAI Nomor PL.102/IV/37/KA-2014 tertanggal 8 April 2014 tentang Pengumuman Seleksi Aspek Administrasi, surat PT KAI Nomor PL.102/IV/55/KA-2014 tertanggal 11 April 2014 tentang Pengumuman Seleksi Aspek Konsep Pengembangan, serta surat PT KAI Nomor PL.102/VI/17/KA-2014 tertanggal 5 Juni 2014 tentang Pengumuman Seleksi Aspek Finansial.
Berdasarkan keputusan tersebut, status PT Mega Urip Pesona sebagai pemenang bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat, kecuali dapat menjadi batal hanya apabila tidak mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris dan Kementerian Negara BUMN selaku pemegang saham PT KAI.
Tim kuasa hukum juga menyebut, pasca putusan tersebut, kewajiban PT KAI yang dipimpin Jonan dan para Direksinya adalah mengajukan permohonan agar mendapat persetujuan Dewan Komisaris dan Kementerian BUMN.
Namun, PT KAI dan para Direksinya tidak pernah mengajukan permohonan tersebut. Hal ini terbukti dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung bahwa permohonan tersebut tidak pernah diajukan oleh PT KAI.
Akibatnya, Dewan Komisaris dan Kementerian BUMN tidak dapat memproses persetujuan status PT Mega Urip Pesona sebagai pemenang.
“Bahkan, dalam rentang waktu yang seharusnya digunakan untuk memproses persetujuan tersebut, PT KAI dan para Direksinya justru melakukan negosiasi ulang terkait tata cara pembayaran”, demikian lanjut Nicholas.
Tim kuasa hukum juga menyebut PT KAI dan para Direksinya tak henti-hentinya mencari alasan untuk menghindarkan diri dari kewajiban hukumnya, termasuk dengan alasan bahwa lahan tersebut akan menjadi bagian dari program Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
Atas perbuatan ini, PT Mega Urip Pesona mengalami kerugian material mencapai Rp 433 miliar dan kerugian immaterial sebesar Rp 600 miliar.
Kerugian ini timbul karena perusahaan tersebut telah mengeluarkan dana yang cukup besar dalam melakukan pekerjaan pendahuluan, seperti plan review dan riset, termasuk penggunaan jasa Pusat Studi Urban Desain, Penilai Publik, Akuntan dan Konsultan Hukum.
Kasus ini sedang ditangani oleh Mahkamah Agung dan tim kuasa hukum berharap Mahkamah Agung memberlakukan hukum yang seadil-adilnya, mengingat persoalan ini juga berkaitan dengan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang dimiliki PT Mega Urip Pesona sebagai bagian dari entitas pengusaha nasional.
Pihak PT KAI sudah berusaha untuk dimintai keterangan atas kasus ini melalui sambungan telepon dan email, namun belum memberikan tanggapan.
Adapun Vice President Public Relation PT KAI, Agus Komarudin, dalam sebuah kesempatan menyebut pihaknya tidak mengetahui persoalan ini.
“Saya tidak tahu persoalannya. Nanti khawatir salah ngomong”, kata Agus kepada salah satu koran nasional.
Noda Jonan, Pengingkaran Keadilan Aristoteles
Nicholas menilai kasus ini menjadi preseden buruk bagi pengusaha nasional, mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu menginstruksikan agar pengusaha nasional wajib dibina dan dilindungi oleh negara, termasuk oleh BUMN.
Sementara itu, kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakannya kewajiban oleh Jonan jelas mengindikasikan tidak adanya perlindungan dari PT KAI terhadap PT Mega Urip Pesona, sehingga tentu bertentangan dengan keinginan Presiden Jokowi.
Kasus ini tentu saja menjadi noda dalam catatan mentereng Ignasius Jonan. Saat memimpin PT KAI antara 2009-2014, ia dianggap sebagai salah satu pejabat publik berprestasi dan tokoh utama yang mereformasi sistem perkeretaapian Indonesia.
Jika berkaca dari pernyataan kuasa hukum PT Mega Urip Pesona yang menganggap bahwa PT KAI di bawah kepemimpinan Jonan menghindari diri dari kewajiban hukumnya, maka sangat mungkin terjadi pengingkaran terhadap prinsip-prinsip keadilan.
Sebagai filsuf dan pemikir ulung, Aristoteles pernah mengklasifikasi “justice” atau keadilan dalam 5 golongan. Namun, dalam konteks kasus ini, Jonan dan PT KAI setidaknya mengingkari keadilan komutatif atau keadilan tanpa membeda-bedakan orang, serta keadilan konvensional yang berhubungan dengan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan menjunjung prinsip “persamaan di depan hukum”, maka sudah selayaknya Jonan dan PT KAI melaksanakan kewajiban hukumnya.
Ini juga sesuai dengan pemikiran Thomas Hobbes, bahwasanya sebuah perbuatan dikatakan adil jika telah didasarkan pada perjanjian-perjanjian tertentu.
Artinya, dengan tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, maka jelas ada pelanggaran yang dilakukan Jonan dan PT KAI terhadap ketentuan dalam perjanjian – dengan sendirinya hal tersebut menjadi tidak adil bagi pihak lain.
Oleh karena itu, di negara yang menjunjung demokrasi dan supremasi hukum seperti Indonesia, adalah penting bagi pemimpin pemerintahan untuk memastikan bahwa keadilan dapat dirasakan oleh semua warga negaranya.
Prinsip-prinsip keadilan oleh kepala pemerintahan – dalam hal ini Jokowi sebagai presiden – harus berkaca pada filosofi keadilan itu sendiri yang telah ditegakkan sejak zaman King Salomon berkuasa.
Pada akhirnya, memang ada diskursus bahwa ketika berhadapan dengan institusi negara, seringkali keadilan kehilangan definisinya karena sifat negara yang bisa “memaksakan” hal tertentu kepada masyarakatnya.
Namun, ketika negara atau pemerintah tidak mampu bersikap adil, maka ada trust atau kepercayaan yang dikorbankan. Pada titik ini, benarlah kata-kata Aristoteles di awal tulisan, bahwa pemerintah yang baik, pertama-tama harus juga mau diperintah. (S13)