Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegur menteri-menterinya – seperti Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno – dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu. Mungkinkah dua menteri ini akan dicopot?
PinterPolitik.com
“I just wanna feel liberated. If I ever instigated, I am sorry” – Kanye West, penyanyi rap asal AS
Percampuran antara dua emosi yang berbeda tampaknya hadir dalam diri Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sang presiden yang biasa dikenal santun dan kalem ternyata juga bisa tampil tegas dan keras dalam beberapa kesempatan.
Dalam rangkaian kegiatan kampanyenya di Yogyakarta misalnya, Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 lalu mengungkapkan kemarahannya dan sontak membuat publik kaget. Menyusul hal tersebut, kritik dari lawan-lawan politiknya pun berdatangan.
Selain itu, layaknya seorang bos pada umumnya, Jokowi mungkin kerap menegur dan memarahi bawahan-bawahannya. Pada Maret lalu misalnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong pernah disentil akibat neraca perdagangan yang defisit. Kata olokan “bodoh” pun disebut-sebut keluar dari mulut sang presiden.
Dengan persoalan yang hampir sama dengan Thomas, giliran kena tegur kali ini datang pada beberapa menteri dalam rapat paripurna kemarin. Beberapa di antaranya adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Teguran datang dari Jokowi akibat angka impor minyak dan gas (migas) yang masih tinggi.
Menuju sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, siang ini. Yang dibahas soal ekspor impor, investasi dan perizinan, juga tantangan dan hambatan menuju Indonesia maju. pic.twitter.com/OCdjNNmxz7
— Joko Widodo (@jokowi) July 8, 2019
Selain kedua menteri tersebut, terdapat juga dua menteri lainnya yang dikabarkan kena tegur presiden, yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil. Kritik Jokowi pada keduanya didasarkan pada sulitnya proses perizinan lahan yang menghambat investasi.
Teguran dan ungkapan kemarahan yang sempat diungkapkan Jokowi beberapa waktu lalu pun menimbulkan beberapa pertanyaan. Persoalan-persoalan apa yang mendorong sang presiden hingga marah? Adakah alasan politis di balik itu? Apakah mungkin teguran tersebut berhubungan dengan periode kedua Jokowi?
Menuju Dicopot?
Berbagai persoalan ekonomi dikabarkan tengah menghantui Indonesia – dari Perang Dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok hingga lesunya kondisi perekonomian kawasan dan dunia yang melambat. Pemerintah Indonesia pun disebut-sebut perlu bertindak dalam menanggapi tantangan-tantangan ini.
Berdasarkan tulisan Muhammad Zulfikar Rachmat di South China Morning Post, Perang Dagang AS-Tiongkok dapat memperlambat tingkat pertumbuhan negara-negara lain, terutama yang memiliki hubungan dagang dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perang dagang tersebut. Akibatnya, tingkat pertumbuhan ekonomi global diprediksi akan melambat sebesar 0,5 hingga 2,6 persen pada tahun 2020.
Indonesia pun bukan tidak mungkin akan terdampak oleh Perang Dagang tersebut. Guna menghalau dampak-dampak tersebut dan meningkatkan kesempatan dagang, pemerintah Indonesia, menurut Rachmat, perlu melakukan beberapa langkah tertentu.
Guna meningkatkan tingkat pertumbuhan Indonesia, pemerintah Indonesia dikabarkan ingin menarik minat investasi lebih banyak. Namun, persoalan izin investasi di Indonesia yang membutuhkan proses yang rumit dan kerap menjadi masalah.
Birokrasi perizinan investasi yang panjang – dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat – memang disebut-sebut menjadi penghambat bagi pertumbuhan investasi di Indonesia. Oleh sebab itu, menjadi beralasan apabila Jokowi mengkritik kinerja Siti dan Sofyan terkait perizinan lahan.
Langkah lain yang diperlukan adalah meningkatkan ekspor Indonesia di luar tujuan Tiongkok dan AS – mengingat perlambatan ekonomi kedua negara tersebut turut menghambat pertumbuhan ekspor. Beberapa cara yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan membuat perjanjian-perjanjian dagang dengan negara-negara lain, seperti dengan Australia.
Oleh sebab itu, teguran Jokowi terhadap Jonan dan Rini bisa saja beralasan. Pasalnya, masih berkaitan dengan Perang Dagang AS-Tiongkok, Mantan Wali Kota Solo tersebut menilai bahwa kesempatan ekspor Indonesia seharusnya menjadi lebih besar.
Bila kita tilik kembali, Rini juga merupakan salah satu menteri yang kerap dikritik oleh berbagai pihak. Ekonom Faisal Basri pun menilai Rini sebagai salah satu menteri yang perlu dicopot dari jabatan kabinet.
Kritik-kritik tersebut tentu bukan tanpa alasan. Kemelut yang menyertai beberapa BUMN disebut-sebut menjadi indikator bagi buruknya kinerja Rini. Maskapai milik negara Garuda Indonesia misalnya, dihantui oleh berbagai persoalan, seperti kerugian yang membengkak dan polemik laporan keuangan.
Berkaitan dengan Garuda Indonesia, harga tiket pesawat yang menjulang tinggi juga bisa menjadi catatan buruk bagi kinerja Rini di kabinet. Pasalnya, Kementerian BUMN sendiri merupakan pemegang saham terbesar dalam perusahaan maskapai penerbangan tersebut.
Selain itu, harga tiket pesawat yang mahal disebut-sebut juga berkaitan dengan harga avtur yang meninggi. Mengacu pada pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, kewenangan dalam mengatur harga avtur terdapat pada Kementerian ESDM yang dipimpin oleh Jonan.
Boleh jadi, berbagai persoalan yang menghantui kedua menteri tersebut membuat Jokowi mempertimbangkan untuk mencopot Rini dan Jonan. Pertanyaan berikutnya, tantangan apa yang akan dihadapi Jokowi terkait kemungkinan tersebut?
Lepas Beban?
Meski menjadi hal yang lumrah apabila presiden menegur menterinya, teguran yang ditunjukkan ke publik tersebut bisa jadi memiliki alasan politis. Pasalnya, Jokowi sendiri telah beberapa kali menyatakan bahwa dirinya telah terlepas dari berbagai beban yang sebelumnya menghantuinya.
Boleh jadi, dengan menunjukkan tegurannya terhadap menteri-menterinya di publik, Jokowi mengharapkan keuntungan politis lain, yaitu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat sebagai sosok pemimpin yang bercitra populer.
Jennifer Jerit dalam tulisannya yang berjudul Survival of the Fittest menjelaskan bahwa retorika yang menunjukkan kemarahan dapat berujung pada keuntungan-keuntungan strategis. Salah satunya adalah keuntungan yang diperoleh dari emosi yang dirasakan masyarakat.
Pasalnya, masyarakat sering kali mengevaluasi dorongan-dorongan politiknya berdasarkan perasaan. Selain itu, retorika yang melibatkan emosi juga dapat menarik perhatian kalangan umum sehingga pengguna retorika tersebut bisa memperoleh fokus masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Jokowi bisa jadi tengah mencari perhatian masyarakat atas kinerjanya sebagai presiden. Apalagi, sang presiden telah beberapa kali menjanjikan kebijakan-kebijakan yang lebih sesuai dengan keinginan rakyat usai Pilpres 2019.
Jokowi bahkan dinilai sebagai presiden terlemah sepanjang sejarah Indonesia. Isu serupa juga pernah mencuat di tengah-tengah diskursus dan kontestasi Pilpres 2019. Mantan Wali Kota Solo tersebut juga sempat dianggap memiliki bawahan-bawahan yang memberikan bisikan-bisikan dalam pengambilan kebijakan, yaitu menteri-menterinya.
Menteri-menteri pembisik inilah yang mungkin menjadi beban bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya, berdasarkan tulisan Yuki Fukuoka dan Luky Djani yang berjudul Revisiting the Rise of Jokowi, menteri-menteri Kabinet Kerja banyak ditentukan oleh kesepakatan politik di antara parpol-parpol pendukungnya, seperti Rini yang disebut-sebut didukung oleh Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono.
Sokongan Hendropriyono terhadap Rini tersebut bisa jadi membuat sang menteri BUMN semakin sakti. Bagaimana tidak? Rini merupakan menteri Jokowi yang berhasil mempertahankan jabatannya dalam berbagai upaya reshuffle kabinet yang dilakukan presiden.
Di sisi lain, Jonan boleh jadi juga didukung oleh elite politik – entah siapa elite tersebut. Pasalnya, usai dicopot dari jabatan Menteri Perhubungan, Jonan dapat kembali duduk di kabinet dalam beberapa bulan berikutnya sebagai Menteri ESDM, bahkan, meskipun dirinya kerap memiliki pendapat yang berseberangan dengan Jokowi – seperti kritiknya terhadap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang sejalan dengan pemikiran Presiden kelima Megawati Soekarnoputri serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium.
Bila sang presiden berani menghalau pengaruh para elite tersebut, tidak menutup kemungkinan teguran kemarin dapat menjadi akhir bagi jabatan menteri-menteri tersebut. Apalagi, kabar dan ungkapan bahwa Jokowi telah terbebas dari beban-beban politiknya juga santer dibicarakan publik.
Pada akhirnya, mungkin lirik rapper Kanye West dapat menggambarkan perasaan presiden yang ingin membebaskan diri. Keinginan tersebut boleh jadi yang membuat sang presiden melakukan tindakan-tindakan tertentu, termasuk menegur atau, mungkin, mencopot menteri-menteri tersebut. Menarik untuk dinanti kelanjutannya. (A43)