HomeNalar PolitikJokowi, World Bank dan Dokumen “Siluman”

Jokowi, World Bank dan Dokumen “Siluman”

Sebuah dokumen di website World Bank menjadi topik hangat perbincangan di media sosial beberapa waktu terakhir. Pasalnya, dokumen berupa laporan internal tentang proyek infrastruktur di Indonesia itu berisi kritik terhadap pemerintah. Belakangan diketahui bahwa dokumen tersebut adalah laporan yang dibuat pada tahun 2014, tepatnya sebelum Presiden Jokowi berkuasa. Kadung jadi topik pergunjingan, banyak yang mempertanyakan keanehan dokumen tanpa sampul tersebut dengan keterangan waktu yang “samar” di dalamnya, apakah terunggah hanya karena “kesalahan administrasi” semata?


PinterPolitik.com

“The truth is rarely pure and never simple.”

:: Oscar Wilde (1854-1900), penyair ::

[dropcap]H[/dropcap]ubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan World Bank boleh dibilang sedang ada pada titik terbaik. Jika dianalogikan sebagai sepasang kekasih, mungkin bisa dibilang hubungannya sedang sayang-sayangnya.

Publik tentu masih ingat pujian yang dilayangkan oleh Presiden World Bank, Jim Yong Kim atas pidato Jokowi pada pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali beberapa waktu lalu. Kedekatan Jokowi dan World Bank juga terasa dalam kebijakan-kebijakan finansial, di mana Indonesia mulai sering melakukan pinjaman pendanaan dari lembaga keuangan tersebut.

Dokumen infrastruktur dari World Bank tersebut sangat mungkin menjadi serangan politik, terutama terkait isu ekonomi. Share on X

Kini, sepertinya ada sedikit riak dalam hubungan tersebut, terutama pasca beredarnya dokumen berjudul Indonesia’s Infrastructure Planning & Budgeting Processes yang mendatangkan perdebatan di tengah masyarakat. Diketahui bahwa dokumen tersebut merupakan sebuah laporan internal World Bank yang diunggah secara resmi di websitenya pada Juni 2018 lalu.

Laporan itu menjadi perdebatan karena berisi “kritik” terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kritik tersebut tentu kontras jika melihat upaya pembangunan infrastruktur yang kini dilakukan oleh pemerintahan Jokowi.

Dokumen tersebut disebut-sebut telah marak digunakan sebagai bahan diskusi dan debat, terutama berkaitan dengan kebijakan infrastruktur Presiden Jokowi, dan menjadi bahan pergunjingan yang panas jelang Pilpres 2019.

Belakangan diketahui bahwa dokumen tersebut diterbitkan World Bank pada tahun 2014 lalu. Lembaga yang menjadi bagian dari The Bretton Woods Institutions itu pun telah mengeluarkan pernyataan klarifikasinya pada 1 Januari 2019 terkait persoalan ini dan menyebut terunggahnya dokumen tersebut adalah karena “kesalahan administrasi”.

Lembaga tersebut juga menyebutkan bahwa pihaknya telah membuat laporan terbaru yang berhubungan dengan progres pembangunan infrastruktur di Indonesia, sehingga bisa dijadikan rujukan yang lebih baru. Konteks tersebut tentu saja memuat kemajuan yang dicapai dalam 4 tahun terakhir, di mana pemerintahan Presiden Jokowi sangat mengedepankan pembangunan infrastruktur.

Namun, keberadaan dokumen tersebut, yang jika diperhatikan secara lebih dalam, terkesan cukup aneh untuk sebuah public disclosure atau dokumen yang dipublikasikan untuk kepentingan akses publik. Pasalnya dokumen itu diunggah tanpa sampul yang umumnya berisi keterangan waktu laporan tersebut dibuat.

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Judul laporan tersebut pun tidak memuat keterangan waktu, begitu pun header dan footer laporan tersebut – hal yang kontras dengan laporan-laporan yang umumnya dibuat oleh World Bank.

Selain itu, dalam keseluruhan laporan tersebut, keterangan waktu “terkesan” disamarkan. Bahkan angka “2014” sebagai penunjuk waktu tidak ada satu pun dalam laporan tersebut. Sementara angka “2013” hanya disebutkan 3 kali dalam dokumen setebal 42 halaman itu, itupun merujuk pada produk hukum yang mengacu pada tahun tersebut.

Dengan konteks legalitas World Bank sebagai lembaga keuangan global, tentu hal ini membuat dokumen tersebut berpotensi “disalahgunakan” sebagai alat kampanye politik, termasuk dalam hal mendelegitimasi pemerintahan Presiden Jokowi.

Beragam wacana serangan kampanye sangat mungkin dimunculkan dengan menggunakan laporan World Bank tersebut. Pertanyaannya adalah apakah konteks keberadaan dokumen tersebut benar-benar “kesalahan administrasi” atau mungkin menjadi hal yang “disengaja”?

Dokumen “Siluman” Tanpa Sampul?

Pada halaman pembuka penggalan laporan tersebut memang menyebutkan bahwa tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia terjadi secara sistematik, dan bisa dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan individual yang tidak efektif dan efisien. Penyebabnya bisa karena penghamburan dana dari anggaran negara yang tidak sesuai sasaran, atau karena eksekusi program yang tidak dijalankan dengan benar.

Dokumen itu kemudian mengritik kurangnya koordinasi antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan kementerian serta lembaga lain dalam proyek infrastruktur.

World Bank memberikan catatan mengenai kurangnya komunikasi antara Bappenas dengan kementerian dan lembaga lainnya sebab lembaga tersebut dianggap “tidak relevan” oleh kementerian lain dalam hal pembangunan infrastruktur.

Konteks kritik tersebut tidak disertai keterangan dan penjelasan terkait tahun atau konteks waktu koordinasi yang dimaksudkan. Keterangan waktu di bagian lampiran dokumen tersebut juga hanya menyebutkan bulan saja.

Hal tersebut membuat banyak pihak menilai dokumen yang diberi label public disclosure authorized atau disahkan untuk dipublikasikan ke publik itu terlihat tidak memperhitungkan konteks multi interpretasi yang mungkin timbul karena keterangan waktu yang tidak jelas.

Katakanlah suatu saat, dokumen tersebut sangat mungkin digunakan untuk menjustifikasi program pemerintah pada tahun tertentu yang tidak sesuai dengan waktu yang sebenarnya digambarkan – hal yang sangat mungkin sedang terjadi saat ini.

Dengan konteks Pilpres yang sudah di depan mata, bisa dibayangkan bagaimana narasi “laporan dari World Bank” dengan kritiknya terhadap program-program infrastruktur tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi banyak orang, termasuk mengubah persepsi pilihan politik publik.

Wacana seperti: “Laporan World Bank menyebutkan program infrastruktur Jokowi tidak efektif”, sangat mungkin menjadi tajuk kampanye dengan menggunakan rujukan dokumen “siluman” tersebut. Kekuatannya menjadi maha dahsyat sebab jika ditanya sumbernya, jawabannya: “Laporan World Bank”. Rujukannya pun tersedia, dari website resminya pula.

Tentu pertanyaannya adalah apakah ada unsur kesengajaan dalam kasus ini?

Tentu saja tidak ada yang tahu pasti. Namun, dimensi perdebatannya menjadi sangat rumit – oleh beberapa pihak juga disebut cenderung naif – karena bermuara pada kontestasi politik di bulan April nanti. Topik ini menjadi sajian bincang menarik di samping kopi panas bagi para penggemar teori konspirasi.

Yeng jelas, keberadaan laporan tersebut makin memperjelas sensitivitas konteks isu ekonomi sebagai salah satu penentu hasil Pilpres nanti.

Terkait hal tersebut, dosen di Denison University dan University of North Carolina, Robert Brent Toplin menyebutkan bahwa konteks isu ekonomi memang berperan besar menentukan kemenangan seorang kandidat, terutama dalam hal kondisi yang terjadi saat Pemilu berlangsung.

Pola yang menurut Toplin sudah terjadi pasca Perang Dunia II ini menempatkan kondisi ekonomi masyarakat – sulit atau tidaknya memenuhi kebutuhan hidup – sebagai variabel utama yang menentukan preferensi dukungan politiknya terhadap kandidat yang bertarung.

Dalam hal ini, dokumen infrastruktur dari World Bank tersebut sangat mungkin menjadi serangan politik, terutama terkait isu ekonomi. Psikologi masyarakat sebagai pemilih tentu saja akan sangat terpengaruh ketika dihadapakan pada narasi “tidak efektifnya pembangunan infrastruktur Jokowi” dengan menggunakan rujukan World Bank.

Pilpres 2019, Pertarungan Tentang Kebenaran

“Ideas pull the trigger, but instinct loads the gun”. Demikianlah penggalan kata-kata jurnalis, humoris sekaligus penulis asal Amerika Serikat (AS), Don Marquis. Dalam konteks Pilpres 2019, mungkin ungkapan tersebut bisa diganti menjadi: “Economy loads the gun, but politics pull the trigger”.

Hal itulah yang setidaknya bisa dibahasakan dalam kaitannya dengan dokumen World Bank tersebut. Jika ada konteks politik di balik dokumen tersebut, maka hal itu bisa menjadi penarik pelatuk di Pilpres kali ini.

Selain itu, hal ini juga menggambarkan bahwa pertarungan politik tersebut juga akan menjadi benturan data-data ekonomi, dan pada titik tertentu menjadi benturan tentang kebenaran. Sebagai catatan, kebenaran (truth) dan fakta (fact) adalah dua hal yang berbeda. (Baca: Delusi Alternative Facts, Prabowo Menang)

Oleh karena itu, setiap kubu tentu saja akan berlomba-lomba mempresentasikan kebenaran tersebut, dan semuanya akan dinilai oleh masyarakat.

Yang jelas, dokumen World Bank terkait infrastruktur itu memang membuat banyak pihak – terutama kubu pemerintah – menanggapinya dengan cukup serius. Persoalannya, sengaja atau tidak, kesalahan administrasi atau bukan, pada akhirnya kebenaran itu tidak pernah murni dan tidak pernah sederhana – demikian kata Oscar Wilde di awal tulisan. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.