Optimisme untuk mengatasi pandemi Covid-19 mulai bersemi saat Presiden joko Widodo (Jokowi) memastikan bahwa progres uji coba vaksin Sinovac serta riset vaksin buatan dalam negeri bernama Vaksin Merah Putih mengarah pada jalan yang tepat. Akan tetapi, Presiden Jokowi juga harus ekstra waspada karena secara historis, utilisasi vaksin dalam penanganan epidemi maupun pandemi di berbagai negara memiliki konsekuensi politik yang signifikan. Lantas, bagaimana dengan kemungkinannya di Indonesia?
Ekspektasi publik tanah air dinilai telah bergerak satu langkah ke depan menghadapi pandemi Covid-19 saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara simbolis menyiratkan bahwa Indonesia tengah bersiap menyambut vaksin penangkal pagebluk yang “merepotkan” itu.
Kemarin, kepala negara berkunjung ke kota kembang, Bandung untuk memastikan bahwa uji klinis fase ketiga vaksin asal produsen Tiongkok, Sinovac yang bekerja sama dengan Bio Farma, berjalan dengan lancar.
Pada kesempatan yang sama, Presiden Jokowi juga melaporkan bahwa riset vaksin buatan dalam negeri bernama vaksin Merah Putih yang dikembangkan sejumlah lembaga riset kelas wahid republik, seperti LBM Eijkman, LIPI, BPPOM, dan sejumlah universitas terus mengalami kemajuan dan akan siap pada pertengahan tahun depan.
Hembusan hawa positif ini dinilai memberikan secercah semangat bagi bangkitnya seluruh elemen di dalam negeri yang semakin terseok setelah hampir setengah tahun diterjang dampak multi aspek pandemi.
Namun pada sisi berbeda, Presiden Jokowi dinilai harus sangat mewaspadai potensi dampak minor yang belum terlihat dari utilisasi vaksin secara masif, yang berdasarkan sejarahnya selalu dipengaruhi atau justru menimbulkan implikasi politik tersendiri. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Korelasi mengenai aspek dinamika kesehatan masyarakat, epidemi dan pandemi, vaksinasi, beserta pengaruh dan dampak politiknya di berbagai negara dari waktu ke waktu, dikaji dalam sebuah publikasi Christine Holmberg dan J. Hillis Miller yang berjudul The Politics of Vaccination: A Global History.
Studi kasus di beberapa negara seperti India, Hungaria, Cekoslowakia, hingga Meksiko sejak awal abad ke-20 menunjukkan bahwa upaya negara untuk melakukan vaksinasi massal dalam mengatasi epidemi maupun pandemi yang sedang terjadi acapkali bersinggungan dengan kontruksi paradigma yang ada pada publik maupun atmosfer politik yang sedang terjadi.
Di India misalnya, faktor konstruksi kultural atas sikap anti-vaksin berlandaskan nilai filosofis dan spiritual seorang Mahatma Gandhi yang berpengaruh kuat bagi publik India, menjadi salah satu elemen resisten yang berimplikasi cukup besar dalam terhambatnya upaya vaksinasi modern di negara itu terhadap wabah cacar, kolera, malaria, hingga tuberculosis (TBC).
Sementara itu, hal berbeda justru terjadi di Eropa Timur pada tahun 1950-an. Hungaria, Polandia, Cekoslowakia, bahkan Uni Soviet di era Perang Dingin mengesampingkan tensi geopolitik yang ada demi kolaborasi riset dan utilisasi vaksin dengan negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada dalam mengentaskan epidemi polio kala itu.
Gejala lainnya terjadi di Meksiko, negara yang secara historis lekat dengan kekerasan politik. Sejak awal abad ke -19, Negeri Sombrero justru menjadikan aspek kesehatan publik yang terkait dengan utilisasi vaksin dalam menangani wabah seperti difteri, sebagai elemen, agenda, dan kepentingan strategi politik negara.
Dengan kata lain, divergensi beberapa sampel seperti yang Holmberg dan Miller jabarkan di atas dapat pula dikatakan sebagai variabel eksternal dan internal yang menggambarkan adanya pengaruh signifikan dari interaksi dua arah antara utilisasi vaksin demi menangani wabah dengan kepentingan politik yang ada.
Berdasarkan tendensi tersebut, ihwal kondisi seperti apakah yang kiranya justru dapat menghambat upaya utilisasi vaksin Covid-19 di Indonesia jika telah siap nantinya?
Vaksin Sinovac Jadi Ancaman?
Salah satu pintu masuk untuk menganalisa potensi minor atas utilisasi vaksin Covid-19 di Indonesia ialah keputusan Presiden Jokowi untuk membuka dua opsi anti-virus, yakni vaksin Sinovac dan vaksin Merah Putih.
Sheldon Jacobson dalam Who Should Get the COVID Vaccine First? menjelaskan bahwa di tengah mulai maraknya temuan kandidat vaksin Covid-19, setiap negara berusaha membuat critical policy dalam pengembangan dan distribusi vaksin yang salah satunya mengedepankan pertimbangan efficacy risk atau sejauh keampuhan kandidat vaksin itu di negaranya.
Mengacu pada esensi tulisan Jacobson tersebut, kebijakan membuka dua opsi kandidat vaksin di Indonesia sejauh ini ialah bagian dari critical policy Presiden Jokowi demi sesegera mungkin mendapatkan vaksin terampuh, dengan tetap mendorong riset vaksin dalam negeri pada saat yang bersamaan.
Namun demikian, dari sinilah awal potensi persoalan mengemuka. Sesaat setelah vaksin Sinovac tiba di Indonesia pada akhir Juli lalu untuk diuji coba, tendensi bernada kritik justru datang dari salah satu elemen pembuat vaksin Merah Putih yang juga Kepala LBM Eijkman, Profesor Amin Soebandrio.
Dalam sebuah pernyataan, beliau menyoroti dan menyebutkan bahwa vaksin Sinovac kemungkinan tidak akan efektif karena dibuat dengan tidak berbasis karakteristik virus Covid-19 yang ada di Indonesia, mengingat di tiap negara memiliki karakteristik virus yang berbeda-beda.
Selain itu, Soebandrio juga menyoroti angka kebutuhan vaksin di Indonesia jika ingin menciptakan kekebalan kelompok efektif, yakni minimal 175 juta dari 260 juta penduduk dan membutuhkan sekitar 350 juta dosis vaksin untuk dua kali vaksinasi.
Persoalan lain kemudian muncul mengenai pihak mana yang nantinya akan memiliki kemampuan produksi sedemikian masif, dan bagaimana distribusinya, ketika kalkulasi sederhana dari Soebandrio menunjukkan bahwa butuh waktu tujuh tahun bagi terlaksananya vaksinasi efektif, jika berjalan dengan lancar.
Pada titik inilah presumsi ego sektoral terlihat berpotensi menyeruak. Tentu yang pertama berasal dari pernyataan Soebandrio sendiri, yang merupakan bagian dari tim vaksin Merah Putih, dan seolah merepresentasikan sikap kontranya akan eksistensi vaksin Sinovac di tanah air.
Kemudian, ceruk menggiurkan bagi produsen vaksin serta persoalan distribusi yang menjadi domain tulisan Jacobson sebelumnya juga berpeluang menimbulkan ego sektoral maupun intrik negatif lainnya.
Indikasi adanya perbedaan signifikansi antara vaksin Sinovac dan vaksin Merah Putih pun tampak mengemuka dan dinilai meninggalkan preseden minor tersendiri bagi persepsi publik.
Sayangnya, tak hanya sampai disitu saja problematika terkait vaksin Covid-19 di Indonesia berpotensi mengemuka. Apa sajakah itu? Dan bagaimana semestinya Presiden Jokowi mengatasi hal tersebut?
Jokowi Wajib Hindari Politisasi Vaksin
Jika mengacu pada tulisan Holmberg dan Miller sebelumnya, terdapat satu diskursus yang relevan dengan persoalan implementasi utilisasi vaksin di berbagai negara saat ini, yaitu persepsi publik terhadap vaksin itu sendiri.
Erika Fowler dan Sarah Gollust dalam The Content and Effect of Politicized Health Controversies menyoroti terjadinya politisasi vaksin HPV yang terjadi di AS. Menariknya Fowler dan Gollust menemukan problematika politisasi tidak hanya datang dari pemerintah tetapi juga dari bagaimana publik AS mempersepsikan kebijakan terkait vaksin dan upaya vaksinasi secara luas yang dilakukan.
Apa yang menjadi pembahasan Fowler dan Gollust juga nyatanya terjadi saat ini, ketika upaya pengembangan vaksin Covid-19 di negeri Paman Sam kurang mendapat respon positif.
Bagaimana tidak, survei yang dilakukan Gallup Poll belum lama ini menunjukkan bahwa satu per tiga rakyat AS menolak pemberian vaksin oleh pemerintah meskipun telah teruji oleh Food and Drug Administration (FDA) dan diberikan secara gratis.
Menurut Jan Hoffman dalam Mistrust of a Coronavirus Vaccine Could Imperil Widespread Immunity, misinformasi serta presumsi minor publik atas pemerintahan Presiden Donald Trump dinilai menjadi faktor utama keberadaan resistensi atas vaksin Covid-19 di AS.
Problematika serupa agaknya eksis di Indonesia dan patut menjadi perhatian Presiden Jokowi saat ini. Seperti yang telah jamak diketahui, publik tanah air juga tak luput dari berbagai paparan pengaruh misinformasi terkait Covid-19, termasuk mengenai vaksin yang dapat menjadi diskursus politisasi tertentu.
Terlebih publik Indonesia sempat dikeruhkan oleh narasi vaksin campak dan rubella yang tak sesuai bagi kalangan agama tertentu, yang dampaknya cukup nyata di lapangan ketika itu.
Fowler dan Gollust menawarkan langkah terbaik bagi potensi destruktif tersebut. Mengutip Arthur Lupia, dikatakan bahwa pemerintah harus tegas dalam membuat agenda setting kebijakan serta mengerahkan sosok terpercaya dalam komunikasi politik terkait vaksin dan upaya vaksinasi yang dapat menekankan dan menyelaraskan kepentingan maupun nilai yang sama dengan masyarakat.
Diharapkan Presiden Jokowi beserta elemen lainnya dapat bersinergi dan bisa mengartikulasikan rekomendasi dari Fowler dan Gollust di atas sedemikian rupa dalam progres pengembangan dan utilisasi vaksin di Indonesia.
Ini semata-mata agar tidak terperangkap dalam diskursus politisasi vaksin yang justru kontraproduktif dalam pengentasan Covid-19 di Indonesia. Tentu itulah harapan kita bersama. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.