[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #27]
Sebelum Indonesia memutuskan untuk menggratiskan vaksin Covid-19, Singapura telah menjadi negara yang memberlakukan kebijakan itu. Tak heran banyak yang kemudian membanding-bandingkan kedua negara, mengapa Singapura bisa begitu maju dalam hampir segala aspek, sedangkan Indonesia masih berkutat dalam urusan sesama anak bangsa yang tidak pernah selesai.
“M for Meritocracy: one reason why Singapore is exceptionally successful is because its leaders tried to get the best possible people to join them in government, so the quality of minds of the leaders matter, but the quality of the minds of the people that are around them is equally important”.
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan untuk menggratiskan vaksin Covid-19. Keputusan tersebut mendapatkan sambutan yang besar karena sebelumnya sempat menjadi polemik di masyarakat pasca Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan bahwa tidak semua vaksin tersebut akan didapatkan secara gratis. Bahkan, beberapa rumah sakit sudah mulai mematok harga yang “gila-gilaan” hingga Rp 400 ribu per dosis.
Perubahan kebijakan ini penting dilihat sebab jika Indonesia tidak menggratiskan vaksin Covid-19, maka hal tersebut akan menjadi kebijakan yang kontras, salah satunya dengan negara seperti Singapura. Seperti diberitakan, Singapura menggratiskan vaksin bukan hanya untuk semua warganya saja, tetapi juga untuk warga asing yang berstatus long term residence atau yang sedang tinggal dalam waktu lama di negara tersebut.
Konteks posisi Singapura ini juga menarik untuk dilihat dalam scope yang lebih besar karena negara tersebut menjadi bagian dan bahkan inisiator dari gerakan negara-negara kecil yang memperjuangkan vaksin untuk semua – sebuah gerakan politik untuk mengatasi dominasi politik dari negara produsen vaksin seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, serta menjamin akses vaksin Covid-19 tersedia untuk negara-negara kecil.
Memang tak akan menjadi perbandingan yang apple to apple, namun posisi Singapura ini layak untuk dijadikan bahan refleksi, bagaimana negara kecil dan miskin yang berpisah dari Federasi Malaysia pada tahun 1965 itu berubah menjadi salah satu negara dengan standar hidup paling tinggi di dunia.
Baca juga: Vaksin Gratis Jokowi, Beban Sri Mulyani?
Mulai dari Human Development Index, Competitiveness Index, Innovation Index, dan lain sebagainya, rata-rata menempatkan Singapura di tempat teratas dari seluruh negara di dunia.
Lalu apa sebenarnya yang menjadi kunci kesuksesan negara ini? Kemudian seperti apa akademisi dan mantan diplomat asal negara tersebut, Kishore Mahbubani, berbagi tentang kesuksesan Singapura, serta mungkinkah rahasia kesuksesan tersebut ditiru oleh negara lain seperti Indonesia?
Magis Meritokrasi
Dalam konferensi pers yang disiarkan televisi pada tahun 1965, pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew terlihat sangat emosional. Ia bahkan tertangkap kamera menangis. Apa pasal?
Well, pasca kerusuhan rasial yang terjadi pada Juli dan September 1964, Singapura harus menerima kenyataan berpisah dari federasi Malaysia. Keputusan tersebut adalah hal yang berat untuk Lee Kuan Yew dan Singapura yang baru 23 bulan bergabung dengan federasi Malaysia.
Pasalnya, negara Singapura yang ada saat itu sangat jauh dalam segala aspek dibandingkan Singapura yang ada sekarang. Sebagai negara baru, Singapura miskin sumber daya alam. Kemudian, negara tersebut juga masih terjebak pada kemiskinan, di mana sekitar sepertiga penduduknya tinggal di daerah yang kumuh dengan kondisi yang menyedihkan karena keterbatasan sanitasi dan air bersih. Tingkat buta huruf juga masih sangat tinggi di negara tersebut.
Kondisi ini dibenarkan juga oleh Mahbubani. Dalam bukunya The New Asian Hemisphere, ia menuturkan bagaimana waktu ia kecil kondisi kehidupan di Singapura cukup memprihatinkan. Toilet flush disebutnya sebagai barang yang “mewah”. Kemudian ketika ia masuk sekolah, ia menjadi salah satu anak yang kurang gizi, sehingga harus diberikan konsumsi susu tambahan oleh gurunya.
Namun, kondisi-kondisi itu nyatanya bisa diubah sedemikian rupa oleh Singapura dalam kurun waktu 55 tahun terakhir. Lee Kuan Yew menggariskan kebijakan-kebijakan yang kemudian membuat negara tersebut bisa survive dan bahkan berjaya hingga saat ini. Lalu apa kiat suksesnya?
Beberapa penulis menyebutkan setidaknya ada 3 kunci utama kesuksesan Singapura, yakni pragmatisme, excellent leader atau pemimpin yang hebat, dan meritokrasi. Mahbubani sendiri menyebutnya lewat singaktan MPH, yakni meritokrasi, pragmatisme dan honesty atau kejujuran – yang mewakili kualitas personal serta penegakan hukum yang benar dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara.
Pragmatisme misalnya, terlihat dari bagaimana Singapura terbuka dengan segala gagasan, ideologi dan pemikiran, selama itu bisa membantu negara tersebut mencapai kepentingan nasionalnya. Mahbubani sendiri pernah menyebut Singapura sebagai negara yang “meng-copy” kebijakan dan keberhasilan negara lain dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya, baik dalam hal politik, ekonomi maupun sosial.
Dalam konteks ideologi pun demikian, di mana Singapura tidak larut dalam pertentangan ideologi, entah itu yang terjadi di era Perang Dingin, maupun dalam beberapa waktu terakhir.
Faktor berikutnya adalah meritokrasi atau adanya kondisi kesetaraan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin atau orang-orang yang dominan di masyarakat, selama yang bersangkutan punya kesempatan. Merit sistem ini memungkinkan orang-orang dengan kualifikasi terbaik yang menduduki posisi-posisi penting, misalnya yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan tertentu.
Dengan demikian, setiap produk kebijakan yang dihasilkan adalah yang terbaik. Merit sistem membuat negara bisa mendapatkan orang-orang terbaik untuk jabatan-jabatan publik. Progress pembangunan bisa berlangsung dengan lebih cepat dan terarah karena dijalankan orang-orang terbaik. Faktor ini bisa dibilang sebagai resep utama kejayaan Singapura.
Sedangkan faktor terakhir adalah honesty atau kejujuran. Ini berkaitan dengan banyak hal, mulai dari supremasi hukum agar menghindarkan pembangunan dari penyimpangan seperti korupsi, hingga soal karakter kepemimpinan yang “punya hati untuk membangun negara”. Faktor terakhir itu mungkin bisa dibahasakan sebagai excellent leader atau pemimpin yang hebat.
Singapura punya sosok seperti Lee Kuan Yew yang membangun negara tersebut dengan sepenuh hati. Usahanya kemudian dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin Singapura selanjutnya.
Baca juga: Dibanding Erdoğan, Jokowi Lebih Baik?
Tiga faktor tersebut lebih dari cukup untuk membuat Singapura menjadi sebuah negara yang terdepan di banyak bidang. Jika berkaca secara global, magic MPH – demikian Mahbubani mengistilahkanya – menjadi kunci kemajuan bukan hanya di Singapura saja, tetapi juga di negara lain seperti Tiongkok. Sejak era Deng Xiaoping, Tiongkok memang menerapakan MPH dengan versi mereka dan sejauh ini berhasil membawa negara itu melakukan lompatan-lompatan besar.
Selain faktor-faktor tersebut, ada juga memori kolektif tentang susahnya kehidupan banyak orang di Singapura di masa lampau menjadi faktor pendorong lain. Ini sama dengan yang terjadi pada Korea Selatan yang pasca Perang Korea berstatus sebagai salah satu negara paling miskin di dunia. Memori kolektif tentang susahnya hidup di masa lampau membuat Korsel kini menjdi salah satu yang paling maju di dunia.
Sedangkan secara eksternal, Singapura juga beruntung secara geopolitik karena lokasinya yang strategis, sehingga mampu memanfaatkannya menjadi hub utama perdagangan di kawasan. Kemudian kondisi regional ASEAN dalam 50 tahun terakhir juga relatif aman dan jauh dari konflik terbuka yang masif. Ini juga menjadi faktor pendukung lainnya.
Lalu, jika Singapura bisa melakukannya, megapa Indonesia tidak?
Tantangan Besar Jokowi
Jelas bahwa MPH masih sulit tercipta di Indonesia. Meritokrasi tak jalan karena akar sosial-budaya Indonesia cukup jarang memberikan keterbukaan kesempatan kepada semua orang secara sama. Orang dengan status sosial yang lebih tinggi sering kali mendapatkan privilege lebih. Kalau punya orang dalam maka akan lebih mudah – demikian bahasa sederhananya.
Pilkada 2020 misalnya, adalah salah satu gambaran wajah kematian meritokrasi. Di Kota Solo kita menyaksikan putra Presiden Jokowi “menyingkirkan” kader PDIP yang sudah berjuang dalam partai untuk waktu yang lama. Selain di Pilkada, hal ini juga terjadi di bidang-bidang yang lain.
Kemudian soal pragmatisme adalah hal yang sangat sulit dicapai. Hingga detik ini semuanya masih berdebat tentang Pancasila vs khilafah, atau agama vs sekuler. Akibatnya, energi publik habis untuk gontok-gontokkan hal yang tidak produktif – sekalipun dari sisi karakter kepemimpinan, Presiden Jokowi sebetulnya adalah sosok yang cenderung pragmatis.
Sementara untuk soal honesty, sepertinya masih sangat amat jauh dari pencapaiannya. Pemerintahan yang bersih masih sulit terwujud, penegakan hukum yang berkeadilan juga masih sulit dicapai. Belum lagi kalau bicara soal excellent leaders, katakanlah yang justru terjadi sebaliknya di era kekuasaan Soeharto dengan warisan yang mengakar hingga saat ini.
Selain itu, sekalipun Indonesia sempat mengalami penjajahan, namun memori kolektif yang ada belum cukup kuat untuk menggerakkan negara ini.
Negara ini masih terlalu subur dengan sumber daya alam yang berlimpah, sehingga membuat kondisi yang paling sulit sekalipun masih belum cukup untuk membuat masyarakatnya bersikap seperti orang-orang Singapura. “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, demikianlah salah satu penggalan lirik lagu Koes Plus.
Jika demikian, apakah mustahil bagi Indonesia untuk sampai ke titik kemajuan seperti yang dicapai oleh Singapura?
Well, sebetulnya jika punya pemimpin yang benar-benar berjuang untuk rakyat seperti Lee Kuan Yew di Singapura, negara ini bisa saja sudah melangkah jauh di depan. Dengan demikian, hal ini akan jadi tantangan untuk Presiden Jokowi, akankah bisa mewujudkan Indonesia yang MPH. Menarik untuk ditunggu. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.