Hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri dikabarkan tengah tegang. Bila kabar itu benar demikian, mengapa ketegangan itu bisa terjadi? Lantas, apa implikasinya?
Kematian dari Raja Robert Baratheon merupakan permulaan dari segala pertempuran yang terjadi di Westeros. Kepergian sang raja menyisakan perdebatan – dan peperangan – mengenai siapa penerus sah yang akan duduk di takhta Iron Throne.
Bagaimana tidak? Meskipun Raja Robert memiliki pewaris – yakni Pangeran Joffrey Baratheon yang masih berusia 13 tahun, sang raja lebih memilih kawannya yang berasal dari keluarga bangsawan lain yang bernama Eddard “Ned” Stark.
Setidaknya, itulah titik awal dari cerita yang dibangun dalam series populer yang berjudul Game of Thrones (2011-2019). Seri yang juga dijuluki dengan judul singkat GoT itu sebagian besar bercerita mengenai perebutan kekuasaan demi takhta tertinggi sebagai penguasa seluruh realm Westeros – baik itu antara keluarga Stark, Lannister, maupun Targaryen.
Perebutan-perebutan kekuasaan seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di dunia novel, series, atau film saja, melainkan juga kerap terjadi di dunia nyata – khususnya ketika dahulu masih banyak negara yang berdasarkan pada kekuasaan monarki menguasai banyak wilayah di berbagai belahan dunia.
Keruntuhan Republik Roma, misalnya, terjadi akibat perang saudara antara dua pihak, yakni Octavian dan Marc Antony. Setelah Julius Caesar terbunuh, friksi pun terjadi di Republik Roma sekitar tahun 32 SM – yakni ketika Octavian ingin Roma berperang dengan putri Mesir yang bernama Cleopatra yang ternyata memiliki hubungan romantis dengan Antony.
Friksi-friksi dalam satu entitas politik seperti ini nyatanya juga tidak hanya terjadi pada entitas besar seperti negara dan kerajaan. Dalam kelompok domestik seperti partai politik (parpol), friksi merupakan hal yang biasa terjadi.
Perpecahan seperti ini dirumorkan tengah terjadi di internal PDIP – parpol yang kini menjadi parpol penguasa di Indonesia. Ketegangan disebut tengah terjadi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) – yang juga merupakan kader dari PDIP – dan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Ketegangan hubungan ini disebut tengah terjadi akibat sejumlah manuver politik yang dinilai tengah dilakukan oleh pihak Istana. Dalam sebuah kegiatan Relawan Projo (Pro-Jokowi), misalnya, Jokowi sempat memberi sinyal soal siapa calon presiden (capres) potensial untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – yang disebut-sebut merujuk pada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.
Tidak hanya itu, terdapat juga manuver politik lainnya yang tersalurkan melalui pembentukan koalisi baru – Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) – yang disebut-sebut terdapat tangan-tangan Istana di baliknya. Bahkan, sejumlah pengamat menilai ini merupakan upaya Jokowi untuk menjadi king maker dalam Pilpres 2024.
Sontak saja, berbagai manuver ini bisa mengancam kepentingan Megawati sebagai Ketum PDIP – yang menentukan siapa-siapa saja yang akan diusung sebagai capres oleh parpolnya. Kala Jokowi menjadi capres pada tahun 2014 silam, misalnya, Megawati yang memberikan keputusan final.
Namun, bila Jokowi sendiri merupakan capres yang dulunya dipilih oleh Megawati – sekaligus kader dari partai berlambang kepala banteng tersebut, lantas, mengapa semua ketegangan ini bisa terjadi? Lalu, apakah mungkin Megawati bisa merasa terancam?
Kisah Keruntuhan Kerajaan Masa Lalu
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, perpecahan dalam entitas politik seperti ini tidak hanya terjadi di parpol seperti PDIP, melainkan juga di kerajaan dan empire besar seperti Romawi. Hal yang sama pun terjadi di kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara – sekarang Indonesia.
Salah satunya adalah Kerajaan Majapahit yang mulai mengalami kejatuhan dari masa jayanya. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah perpecahan di antara kutub-kutub kekuasaan di dalamnya.
Bila membuka buku sejarah kita kembali kala masih duduk di bangku sekolah dulu, terdapat salah satu kepingan sejarah yang menjadi salah satu penyebab kemunduran Majapahit, yakni perang sipil yang terjadi pada tahun 1404-1406 – disebut sebagai Perang Regreg.
Perang ini terjadi karena adanya perebutan takhta Majapahit yang ditinggalkan oleh raja sebelumnya, Hayam Wuruk, yang meninggal dunia pada tahun 1389. Mulanya, takhta Majapahit diteruskan oleh Wikramawardhana, kemenakan sekaligus anak menantu Hayam Wuruk.
Namun, Hayam Wuruk bersama seorang selir juga memiliki seorang putra yang menguasai bagian timur Majapahit, yakni Bhre Wirabhumi yang menguasai wilayah Blambangan (kini Banyuwangi, Lumajang, dan sekitarnya di Jawa Timur). Alhasil, Bhre Wirabhumi juga merasa berhak untuk mengklaim takhta – mengingat ia adalah putra langsung dari sang raja.
Perang Regreg ini akhirnya menimbulkan krisis. Meski perang berakhir dengan tewasnya Bhre Wirabhumi di tangan Raden Gajah (Bhre Narapati), krisis membayangi realms Majapahit. Banyak wilayah-wilayah mancanegara Majapahit – seperti Palembang, Malayu, Melaka, dan Brunei – melepaskan diri dari kontrol Majapahit.
Kejatuhan Majapahit ini setidaknya bisa dijelaskan melalui tulisan Sir John Glubb yang berjudul The Fate of Empires & Search for Survival. Glubb menjelaskan bahwa salah satu penyebab kejatuhan sebuah imperium adalah civil dissensions (perselisihan) – bisa berujung pada disintegrasi.
Lantas, apa kaitannya cerita kejatuhan Majapahit dengan perselisihan internal yang bisa jadi tengah terjadi dalam PDIP? Mengapa perselisihan di internal PDIP ini dari awal bisa terjadi?
Terjadinya perselisihan internal di Kerajaan Majapahit bisa jadi disebabkan oleh kuatnya klaim legitimasi atas takhta kerajaan dari masing-masing pihak. Bukan tidak mungkin, Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi masing-masing menjadi pusat kekuatan – menimbulkan ketidakharmonisan realm Majapahit.
Seperti yang dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power, pola kekuatan dalam budaya politik Jawa selalu berpusat pada sang raja. Artinya, raja nantinya memegang peran untuk menjaga harmoni – tujuan utama dalam perpolitikan Jawa.
Untuk menjaga harmoni, sang raja akhirnya memusatkan kekuatannya di kratonnya. Berbagai pusaka akhirnya dikumpulkan agar kraton bisa menjadi kekuatan yang menjaga harmoni bagi para mancanegara – entitas-entitas yang ada memberikan tributa pada kraton dengan perlindungan dari kraton sebagai gantinya.
Entah disadari atau tidak, budaya politik ala Jawa ini terbawa hingga masa kontemporer. Soekarno, misalnya, disebut Anderson melakukan pemusatan kekuatan pada dirinya – khususnya saat berusaha menyatukan tiga kelompok sekaligus dalam jargon NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Presiden Jokowi sendiri juga disebut menerapkan pola politik ala Jawa di pemerintahannya. Salah satunya adalah dengan mengumpulkan “pusaka” oposisi, yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, yang kini masuk ke dalam kabinet pemerintahannya.
Lantas, bagaimana dengan dinamika kekuatan ala Jawa di PDIP? Mungkinkah Jokowi semacam menjadi “raja baru” dalam realm PDIP?
Jokowi, “Raja Baru” PDIP?
Bisa jadi, Jokowi membangun pemusatan kekuatan juga di dalam PDIP – dengan mengumpulkan pusaka-pusaka yang ada di parpol tersebut. Pasalnya, PDIP disebut terbagi-bagi ke dalam banyak faksi – utamanya adalah faksi trah Soekarno (Puan Maharani dan Prananda Prabowo) dan faksi non-trah Soekarno (turunan Parkindo yang difusikan ke PDI di era Orde Baru).
Faksi non-trah Soekarno lebih menyukai mereka-mereka yang berasal dari luar lingkaran elite politik – seperti Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo. Dengan mendukung Ganjar, bukan tidak mungkin Jokowi akhirnya mengumpulkan satu “pusaka” dalam realm PDIP.
Di sisi lain, Jokowi juga sudah memiliki banyak “pusaka kekuatan” sebagai presiden. Sebagai kepala pemerintahan, misalnya, Jokowi memiliki kewenangan penuh untuk menentukan nasib para menterinya – sesuatu yang bisa saja mengusik para elite PDIP dan Megawati.
Tidak hanya itu, Jokowi memiliki kedekatan dengan para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Para pengusaha ini tentunya memiliki modal finansial dan modal sosial yang bisa saja ditransformasikan ke dalam modal politik.
Belum lagi, Jokowi juga dikenal dekat dengan para pengusaha non-konvensional – atau yang sering disebut sebagai start-up. Para pengusaha muda ini bakal menentukan ruang dan roda ekonomi digital ke depannya. Bahkan, sang presiden sempat bertemu dengan pemimpin perusahaan teknologi ternama di Amerika Serikat (AS), yakni CEO Tesla & SpaceX Elon Musk.
Bila tadi membahas soal kekuatan di bidang ekonomi, Jokowi juga memiliki jaringan yang besar di dunia militer. Sebagai Panglima Tertinggi TNI, sang presiden memiliki pengaruh yang besar – belum lagi bila Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa benar-benar setia kepada sang presiden.
Dengan berbagai “pusaka” ini, bukan tidak mungkin Jokowi bisa menjadi “raja baru” yang menantang takhta Ratu Megawati yang sebelumnya menjadi satu-satunya pusat kekuatan di realm PDIP. Di sisi lain, seperti yang disebutkan oleh Kishore Mahbubani dalam tulisannya yang berjudul The Genius of Jokowi, Jokowi memiliki kelihaian dalam membangun koalisi – memudahkan sang presiden dalam upayanya untuk memusatkan kekuatan pada dirinya.
Dengan kemunculan dua pusat kekuatan ini, boleh jadi ancaman keruntuhan realm PDIP bisa terjadi – apabila perpecahan ini membawa “bencana” pada seluruh faksi di PDIP. Pada akhirnya, ada satu pihak yang harus “menang” dengan perselisihan yang terjadi – layaknya akhir kisah Westeros dalam GoT. Who knows? (A43)