Polemik BPJS mencapai titik kulminasi. Pemerintah kewalahan menanggung defisit BPJS yang cukup besar. Beberapa dokter telah menemui Prabowo Subianto, lawan politik Jokowi.
PinterPolitik.com
[dropcap]W[/dropcap]akil Menteri Keuangan Mardiasmo memprediksikan defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2018 mencapai Rp 10,98 triliun berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sebelumnya, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menjelaskan bahwa sejak 2014 hingga 31 Agustus 2017 total defisit yang dialami BPJS Kesehatan mencapai Rp17 triliun.
Defisit ini tentu menimbulkan persoalan sistemik baik pada level pelaku medis maupun bagi rakyat sendiri. Dalam konteks dunia medis, defisit BPJS berpotensi merugikan beberapa institusi terkait, seperti industri farmasi, para dokter, dan rumah sakit serta puskesmas.
Sementara dalam konteks masyarakat, jika program ini gagal karena tak mampu dikelola secara efektif, maka rakyat kemungkinan akan kehilangan pelayanan kesehatan secara gratis di masa mendatang.
Menjelang Pilpres 2019, tentu isu defisit BPJS menyebabkan dilema tersendiri bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara. Di satu sisi, pemerintahannya harus menjaga dukungan rakyat melalui penyediaan layanan kesehatan.
Terlebih capres sekaligus Ketum Partai Gerindra tersebut baru saja menerima kedatangan Komunitas Dokter dan Tenaga Perawat pada yang salah satunya membahas permasalahan defisit anggaran dalam BPJS Kesehatan. Share on XSementara di sisi lain, petahana harus berhadapan dengan kekecewaan para tenaga medis yang kewalahan menjalankan kebijakan populisnya. Lalu, bagaimana risiko yang harus dihadapi Jokowi di tahun politik ini?
Populisme yang Beratkan Tenaga Medis
Sudah menjadi rahasia umum bahwa BPJS adalah produk kebijakan populis yang kini berada di ujung jurang kegagalan, setidaknya dalam konteks anggaran. Jokowi memang butuh kebijakan yang pro-rakyat jelang Pemilu tahun depan dan BPJS Kesehatan adalah alat yang cukup seksi.
Namun ia mungkin lupa, bahwa riak-riak kekecewaan kini juga muncul di antara tenaga-tenaga medis sebagai eksekutor lapangan yang sering kali kewalahan dengan kebijakan tersebut.
Desifit yang terus-menerus dialami BPJS Kesehatan mengakibatkan pembayaran klaim sejumlah fasilitas kesehatan tertunggak. Penunggakan tersebut menyebabkan arus keuangan dan operasional terganggu di beberapa rumah sakit dan puskesmas, misalnya yang terjadi di Jakarta.
Perlu perhatian juga ke rumah sakit2 yang demi mempertahankan standard layanan harus (terpaksa) menghutang ke bank akibat tunggakan pembayaran BPJS
— Reza Ikhwan (@Reza_M67M) September 24, 2018
Dampaknya juga merembet ke fasilitas pelayanan kesehatan, gaji perawat, dan dokter, hingga pembayaran obat ke pemasok yang tertunggak. Padahal, para tenaga ahli tersebut juga memiliki kehidupan.
Selain tenaga medis, defisit BPJS juga berdampak negatif terhadap industri farmasi di Indonesia, terutama terkait persoalan keterlambatan pembayaran klaim obat.
Puncaknya adalah pengajuan surat kepada Menteri Kesehatan, bernomor: 098/Ext-/PP-GPFI/VIII/2018 pada tanggal 13 Agustus 2018 oleh Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI).
Surat tersebut terkait utang jatuh tempo obat dan alat kesehatan (alkes) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Nilai yang belum dibayar bahkan mencapai Rp 3,5 triliun per Juli 2018.
Sebelumnya, defisit BPJS juga direspon oleh seorang dokter bernama Reno Yonora Enozthezia yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.
Ahli bedah anastesi ini menuliskan surat terbuka untuk Presiden Jokowi dan mengatakan banyak pihak yang dirugikan selama pelaksanaan BPJS Kesehatan, di antaranya dokter dan dokter gigi, perawat, bidan, fasilitas kesehatan (faskes), karyawan faskes, farmasi, industri alat kesehatan, dan usaha lain yang berhubungan langsung dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.
“Masihkah Bapak tidak merasa harus peduli memperbaiki kekisruhan ini? Kalau saya penasihat Bapak, saya akan lapor: Pak, ini darurat BPJS!” tulis dokter cantik itu dalam akun Facebooknya. Tak lama berselang Dr. Arifianto, Sp.A, salah satu Dokter Spesialis anak juga mengekspresikan kekecewaan yang sama dalam laman jejaring sosialnya.
Sebenarnya, di awal pemberlakukan BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, banyak tenaga kesehatan yang khawatir mengenai metode pembayaran jasa mereka yang menggunakan sistem tarif Indonesia Case Base Groups (Ina-CBGs).
Pembayaran dalam sistem tarif Ina-CBGs ini sendiri dihitung berdasarkan jumlah peserta terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pemerintah menetapkan tarif untuk layanan di puskesmas sebesar Rp 3.000 hingga Rp 6.000 untuk layanan klinik pratama, praktek dokter sebesar Rp 8.000 hingga Rp 10.000, serta Rp 2.000 untuk praktik dokter gigi mandiri.
Sistem tersebut tentu menjadi beban bagi dokter layanan primer yang menandatangi kontrak dengan BPJS Kesehatan dan akan membuat pendapatan para dokter tersebut bergantung pada sisa biaya kapitasi yang diberikan.
Bahkan mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin sudah memperingatkan sejak 2014 bahwa sistem kapitasi yang hendak diterapkan bisa membuat para dokter “tekor” atau berkurang pendapatannya akibat bertambahnya jumlah pasien di layanan kesehatan primer atau puskesmas.
Sekalipun program BPJS Kesehatan disahkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun kredibilitas Jokowi sebagai teknokrat tentu saja dipertaruhkan dalam penyelesaian defisit BPJS. Dalam menyongsong tahun politik pada 2019 nanti, isu ini tentu saja dapat menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri.
Kebijakan yang merugikan tenaga medis ini tentu saja bisa jadi memunculkan kekecewaan yang mendalam. Bisa saja muncul sikap politik dari asosiasi profesi kesehatan yang akan merugikan Jokowi di Pilpres mendatang, apalagi jumlah dokter di seluruh Indonesia saat ini telah lebih dari 100 ribu orang – massa politik profesi yang tentu saja tidak sedikit.
Peran Organisasi Profesi Kesehatan di Tahun Politik
Pada tanggal 24 September 2018 kemarin, IDI bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan. Salah satu organisasi kedokteran di Indonesia ini memperingatkan Jokowi terkait potensi gagalnya program JKN.
Namun peran IDI sebagai organisasi profesi yang seharusnya memiliki bargaining dalam pengambilan kebijakan juga terkesan powerless atau tidak kuat karena tidak mampu mempengaruhi presiden terkait apa yang harus dilakukan untuk menalangi defisit anggaran kesehatan.
Idealnya, pemerintah seharusnya berani menaikkan iuran peserta JKN demi menutupi kekurangan anggaran. Saat ini, iuran BPJS kelas I Rp80 ribu per orang per bulan, kelas II Rp51 ribu, dan kelas III Rp25.500.
Padahal, setidaknya kenaikan iuran sebesar 30 persen untuk masing-masing kelas sangat diperlukan, namun hal tersebut tidak dilakukan karena akan berdampak pada citra pemerintah yang mungkin saja dianggap merugikan rakyat kecil.
Menurut Timboel Siregar, pemerintah hanya berfokus pada strategi jangka pendek seperti pemberian dana talangan (bailout), memperketat penagihan dan menggunakan sebagian pajak rokok.
Sangat berhubungan Pak. Kami tenaga dokter adalah praktisi langsung di lapangan, dimana ketentuan pelayanan BPJS itu di bawah standar medis sehingga pasien yg dirugikan. Untuk memperbaiki kondisi saat ini maka yang harus dibenahi adalah kebijakannya.
— Dimitri (@DimitriYusuf) September 24, 2018
Dalam konteks pengambilan kebijakan kesehatan, fungsi check and balance seharusnya dilakukan oleh para kelompok kepentingan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gill Walt dalam bukunya yang berjudul Health Policy: an Introduction to Process and Power yang menjelaskan bahwa kelompok kepentingan dalam konteks kesehatan seharusnya punya suara untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Kelompok ini diidentifikasikan sebagai bagian dari masyarakat yang bekerjasama untuk tujuan yang sama tanpa memiliki minat untuk mendapatkan kekuasaan politik. Jadi kelompok kepentingan ini bisa terdiri dari berbagai elemen masyarakat, seperti LSM, serikat pekerja, asosiasi, akademisi, jurnalis dan sebagainya.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, ada The American Medical Association atau AMA sebagai kelompok kepentingan yang beranggotakan para dokter. Kelompok ini termasuk yang terbesar dan paling kuat di AS. AMA mendukung perombakan besar-besaran terhadap kebijakan Barack Obama terkait sistem perawatan kesehatan AS atau Obamacare – program yang mirip dengan BPJS Kesehatan.
AMA menentang intervensi pemerintah dalam sistem perawatan kesehatan karena khawatir akan mengancam keberlangsungan profesi mereka. Secara politik, mereka memiliki bargaining power yang cukup kuat sehingga dapat melakukan lobbying atau lobi terhadap House of Representatives atau parlemen[10].
Di Indonesia, selain IDI, juga terdapat beberapa organisasi profesi tenaga medis, seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Gigi Indonesia (PPGI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), serta 20 organisasi profesi kesehatan lainya.
Namun, organisasi-organisasi kelompok profesi ini masih termarginalkan dalam proses pengambilan kebijakan kesehatan nasional. Hal ini diduga karena tarik menarik kepentingan politik yang masih mendominasi dalam level pengambilan kebijakan.
Menjelang Pilpres 2019, isu BPJS bisa saja menjadi salah satu andalan Prabowo Subianto dalam menyerang Jokowi. Terlebih capres sekaligus Ketum Partai Gerindra tersebut baru saja menerima kedatangan Komunitas Dokter dan Tenaga Perawat pada yang salah satunya membahas permasalahan defisit anggaran dalam BPJS Kesehatan.
Pertemuan tersebut seolah menyiratkan bahwa ada kemungkinan dukungan politik asosiasi tenaga medis tersebut terhadap Prabowo. Sikap itu merupakan konsekuensi logis dalam politik, mengingat banyak tenaga medis yang merasa “tertekan” bahkan merasa “terancam” profesinya di bawah kebijakan populis ini. Oleh karena itu, menarik untuk ditunggu. (M39)