“Semua survei bilang Donald Trump kalah, tapi kejadiannya Hillary kalah dan Donald Trump menang. Inilah lanskap politik global yang berubah. Ini yang harus diwaspadai,” Jokowi
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]agi sebagian orang, kekalahan Hillary Clinton dari Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 masih belum bisa diterima. Di benak mereka hingga kini masih terputar pertanyaan, bagaimana mungkin Hillary yang unggul di survei dikalahkan Trump di hari pemilihan?
Memori buruk di tahun 2016 tersebut nampaknya cukup membekas di ingatan petahana presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara terang-terangan, mantan Wali Kota Solo tersebut meminta para relawannya agar jangan sampai kasus Hillary terjadi pada dirinya di Pilpres 2019 nanti.
Sang presiden tampaknya cukup bisa melihat lanskap politik global yang terjadi belakangan ini. Ia menggambarkan perubahan-perubahan bisa terjadi dan mempengaruhi lanskap politik nasional. Oleh karena itu, ia meminta relawannya untuk waspada terhadap perubahan tersebut.
Terlihat bahwa kandidat petahana ini mengambil pelajaran cukup banyak dari kekalahan Hillary dari Trump tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Hillary yang di atas angin itu bisa tersalip oleh Trump? Lalu, bagaimana Jokowi bisa belajar dari kekalahan Hillary tersebut?
Hillary Merana
Tanggal 8 November 2016 mungkin akan menjadi tanggal yang paling tidak bisa dilupakan oleh para pendukung Hillary. Bagaimana tidak, kepercayaan diri tengah meraja di dalam diri mereka, mengingat kandidat pujaan mereka unggul di sisi survei.
Nyaris seluruh survei di Negeri Paman Sam mengunggulkan mantan senator asal New York tersebut. Di beberapa survei, keunggulan Hillary atas Trump tergolong jauh hingga di atas 5 persen. Beberapa lembaga bahkan memprediksi kemenangan Hillary dengan persentase cukup besar. The New York Times memprediksi Hillary memiliki 91 persen kesempatan untuk menang. Salah satu yang fenomenal adalah prediksi Princeton Election Consortium yang menyebut kemungkinan Hillary menang 99 persen.
Ternyata, nasib berkata lain. Trump berhasil memenangkan pertarungan di hari pemilihan. Kekecewaan Hillary dan pendukungnya seketika muncul dan bahkan membekas hingga saat ini. Beragam cara dijalankan untuk mengetahui di mana celah yang bisa membuat mereka kalah.
Saat memberi pengarahan pada Tim Kampanye Daerah Koalisi Indonesia Kerja Sumsel di The Sultan Conventional Center, Palembang, Jokowi mengatakan kekalahan Cameron dan Hillary cukup mengejutkan krn dlm survei2 sebelumnya mereka selalu unggul. Namun ternyata hasil akhirnya berbeda.
— RumahAksara™ (@didienAZHAR) November 26, 2018
Menurut Elaine Kamarck dari Brooking Institute, salah satu penyebab utama kekalahan Hillary adalah bahwa ia terlalu mengambil fokus pada perkara kebijakan dan lupa akan hal-hal yang bersifat emosi. Hal ini diambil Kamarck dengan mengutip kata-kata dari Hillary sendiri.
Kamarck menyebut bahwa Hillary adalah sosok yang sangat tertarik untuk menyelesaikan suatu masalah sehingga melewatkan urusan emosi. Padahal, emosi tersebut merupakan unsur yang mampu menarik begitu banyak pemilih.
Hillary digambarkan sebagai sosok yang ketika berkuasa, banyak orang menyukainya. Akan tetapi, ketidakmampuannya menyentuh unsur emosi, membuatnya dianggap sebagai “great president, but lousy candidate” atau presiden yang baik, tetapi kandidat yang buruk. Di sisi lain, Trump dianggap sebagai great candidate – sekalipun secara personal kontroversial – sehingga ia bisa keluar sebagai pemenang.
Kandidat seperti Hillary mungkin akan dianggap sebagai pejabat yang baik saat berkuasa. Ia akan mendapatkan banyak acungan jempol dari sesama politisi. Akan tetapi, di era pemilu presiden seperti ini, pengakuan kualitas dari politisi itu tidak berpengaruh bagi pemilih. Alih-alih menilai kualitas kepemimpinan, pemilih cenderung lebih memperhatikan kemampuan berbicara di depan publik, beraksi di depan kamera, mendominasi debat, atau membangkitkan gerakan massal.
Menarik Emosi
Kamarck menyebutkan bahwa dalam pemilihan presiden, urusan kemampuan untuk memerintah seolah dikesampingkan oleh pemilih. Ia menggambarkan bahwa di era sekarang ini, kemampuan untuk mendapatkan perhatian lebih penting ketimbang hal tersebut.
Pernyataan Kamarck tersebut sejalan dengan pendapat beberapa pengamat yang menyebut bahwa unsur emosional memang memiliiki peran yang besar bagi pemilih. Eyal Winter, profesor dari University of Leicester mengatakan misalnya memilih adalah hal yang irasional dan emosi selalu menang.
Jika merujuk pada beberapa pemikir, perilaku memilih dianggap sebagai sesuatu yang rasional. Memang, ada beberapa kasus kampanye yang berhasil memenangkan pemilih melalui perkara rasional. Bill Clinton misalnya berhasil menang karena isu ekonomi dan terkenal dengan kata-katanya: “It’s the economy, stupid!”
Seorang pemimpin bangsa tidak cukup marah pada gejala sesaat, atau kasus individu, tanpa membongkar sumber masalah yang telah menyengsarakan jutaan warga.
Tidak cukup bersikap reaktif hanya ketika yang jadi korban diri sendiri atau kepentingannya.https://t.co/9aGLH7TpCs
— Ariel Heryanto (@ariel_heryanto) November 23, 2018
Meski demikian, Winter menyebut bahwa beberapa kasus dalam waktu-waktu belakangan justru memunculkan bukti bahwa perilaku politik lebih banyak didorong oleh emosi dan lebih sedikit oleh rasionalitas. Sebagai awal, keputusan untuk pergi memilih sudah dikategorikan sebagai sesuatu yang irasional. Hal ini terjadi karena memilih lebih merupakan ekspresi, ketimbang hal-hal yang bersifat konsekuensional.
Hal serupa berlaku pada ideologi. Menurut Winter, ideologi lebih dekat dengan urusan emosional ketimbang rasionalitas. Ia menyebut bahwa sulit untuk membayangkan dunia yang dikuasai oleh satu ideologi tanpa terjadi bias. Kondisi-kondisi tersebut menjadi gambaran bahwa politik mau tidak mau memang terkait dengan emosi.
Secara khusus, pertanyaan mengenai emosi apa yang paling berpengaruh pada partisipasi masyarakat mulai menyeruak. Menurut Nicholas A. Valentino dan kawan-kawan, amarah menjadi emosi yang berpotensi memobilisasi lebih besar ketimbang rasa cemas dan antusiasme.
Valentino dan kawan-kawan menyebut bahwa amarah dapat memotivasi partisipasi politik secara kuat. Rasa marah dapat menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi bahkan untuk sesuatu yang biasanya tidak mereka lakukan. Oleh karena itu unsur emosi, dan dalam kadar tertentu berbentuk negativitas, dapat memiliki peran yang sangat besar dalam politik.
Jokowi Trauma
Tampaknya Jokowi benar-benar trauma dengan kejadian yang dialami oleh Hillary. Oleh karena itu, sejak jauh-jauh hari, ia meminta relawannya untuk mewaspadai kondisi yang dialami mantan Menteri Luar Negeri AS tersebut.
Jokowi memang saat ini masih unggul di berbagai survei. Survei LSI Denny JA bahkan menyebutkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu berpotensi menang telak. Akan tetapi, keunggulan survei ini sepertinya tidak membuat Jokowi benar-benar santai. Ia tampak tidak ingin keunggulan survei ini tidak berlanjut ke surat suara seperti kasus Hillary.
Secara khusus, Jokowi seperti sudah menyadari strategi khusus agar ia tidak terjerat jebakan serupa yang dialami Hillary. Jika Hillary harus menanggung kekalahan karena tidak memberi perhatian khusus kepada emosi, Jokowi tampaknya sudah memiliki langkah yang berbeda.
Dalam beberapa kesempatan terakhir, Jokowi tampak mulai memainkan emosinya di depan masyarakat. Berbagai pidatonya tampak memiliki kaitan erat dengan perkara tersebut. Ada amarah atau rasa kesal yang dilontarkan sang petahana di hadapan publik.
Meski dikenal sebagai tokoh yang santun dalam politik Indonesia, nyatanya belakangan Jokowi tidak ragu untuk menunjukkan emosinya. Dalam beberapa kasus, ia tergolong terlihat ofensif karena menyerang langsung obyek yang menjadi sumber kekesalannya. Kata-kata seperti sontoloyo, genderuwo hingga aksi tabok terhadap penyebar hoaks PKI belakangan menjadi gaya komunikasinya di depan publik.
Kekalahan Hillary Clinton yang diunggulkan memang menyesakkan. Jokowi tampaknya tak ingin bernasib serupa. Share on XTerlihat bahwa Jokowi tengah mempraktikkan perkara emosi yang disebutkan oleh Valentino dan kawan-kawan. Rasa marah dianggap dapat memotivasi partisipasi politik lebih besar, sehingga Jokowi bisa saja melakukan itu demi partisipasi.
Hal ini cenderung berbeda dengan gaya kampanyenya di Pilpres 2014 lalu. Jokowi saat itu dikenal dengan berbagai kebijakannya melalui program Nawa Cita. Hal-hal seperti poros maritim, tol laut, hingga pemberantasan kasus HAM menjadi tema utama kampanyenya. Sementara itu, sejauh ini, kampanye Jokowi berisi tentang sontoloyo, genderuwo hingga aksi tabok.
Jika kasus Hillary yang menjadi acuannya, Jokowi boleh jadi tengah berada di jalur yang tepat. Jokowi bisa saja terlepas dari jebakan yang menjerat Hillary dengan banyak memainkan unsur emosi alih-alih fokus pada kebijakan. Meski demikian, pada akhirnya, masyarakat tetap perlu great president saat terpilih nanti. Idealnya, Jokowi tetapi membangun program, alih-alih fokus menjadi great candidate saat berkampanye. (H33)