Berbagai analisis menyebutkan Presiden Jokowi telah menelurkan berbagai kebijakan bertendensi otoriter. Terbaru, Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI bahkan konvoi melewati Petamburan. Namun, sampai saat ini pihak Istana selalu membantah tudingan tersebut. Lantas, mungkinkah berbagai kebijakan tersebut tidak disadari bertendensi otoriter?
Ada cerita menarik dari Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya di dies natalis Partai Demokrat pada 7 Februari 2017 lalu. Ia mengaku pernah mendapat saran agar berlaku lebih tegas dan keras karena dirinya dinilai terlalu demokratis.
Menurut mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat tersebut, tawaran itu adalah godaan politik yang sangat menggiurkan. Namun, setelah memikirkan dengan baik-baik, SBY memutuskan saran tersebut tidak diambil. Saat ini, mantan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) itu dikenal sebagai presiden yang memiliki legacy penegakan demokrasi.
Sekarang pertanyaannya, mungkinkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mendapatkan saran seperti yang dialami oleh SBY?
Dalam wawancaranya bersama PinterPolitik, politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko mengemukakan hal menarik dalam menjelaskan situasi politik Indonesia selepas kejatuhan Soeharto. Tuturnya, saat ini segalanya menjadi politis, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke level pembahasan teknis.
Kontras, di negara otoriter semuanya justru adalah masalah teknis, sehingga terjadi efektivitas pengambilan kebijakan. Namun, komparasi tersebut tidak membuat Budiman sampai mengatakan telah menyesal membawa Indonesia menuju negara demokratis. Itu hanya sekadar komparasi situasi.
Selaku sosok yang dapat dikatakan berada di Ring 1 pemerintahan Jokowi, mungkin dapat disimpulkan, suara-suara seperti itu telah sampai ke telinga mantan Wali Kota Solo tersebut.
Jika benar demikian, dengan melihat pada berbagai kebijakan Presiden Jokowi yang dinilai otoriter, seperti pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa proses pengadilan, membatasi komunikasi dan internet ketika terjadi demonstrasi 21-22 Mei 2019 dan kerusuhan Papua pada Agustus 2019, respons represif aparat terhadap demonstran, hingga yang terbaru konvoi Koopssus TNI di Petamburan – mungkinkah saran yang pernah diterima SBY telah di-iya-kan?
Atau mungkin Presiden Jokowi dalam kondisi tidak menyadari berbagai kebijakan tersebut bertendensi otoriter?
Beberapa Tanda
Tentu sulit untuk mengetahui apakah Presiden Jokowi menerima saran yang sama seperti SBY atau tidak. Sekalipun ini ditanyakan kepada Istana, tidak mungkin itu diakui. Artinya, ada atau tidaknya saran tersebut jawaban Istana adalah tidak. Oleh karenanya, metode yang dapat kita gunakan adalah melihat kebijakan-kebijakan dan pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi.
Pada konteks kebijakan, seperti yang disebutkan sebelumnya, itu mungkin dengan mudah dibantah, misalnya menyebut itu bukan perintah Presiden Jokowi. Ini sangat masuk akal. Namun, bagaimana dengan pernyataan langsung? Sekalipun setiap pidato presiden ditulis oleh pihak lain, bukankah pidato harus mendapatkan persetujuan? Artinya, pidato harus sejalan dengan pemikiran presiden.
Nah, sekarang kita akan merangkum berbagai pernyataan Presiden Jokowi yang sepertinya sangat layak untuk direnungkan.
Pertama, pada 22 Februari 2017 lalu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia sudah kebablasan karena isu SARA dan fitnah justru masif diproduksi dan dipolitisasi.
Kedua, pada 24 Oktober 2019 lalu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa di Indonesia tidak ada yang disebut sebagai oposisi karena demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi gotong royong.
Ketiga, ini berulang kali diungkapkan, namun ketika diungkapkan dalam pidato pertamanya pada 20 Oktober 2019 lalu, pernyataan Presiden Jokowi yang menegaskan bahwa hasil lebih penting dari proses jelas menunjukkan paradigma yang dianut oleh mantan Wali Kota Solo tersebut.
Pada dua pernyataan awal, itu jelas menunjukkan kritik Presiden Jokowi terhadap laju demokrasi di Indonesia. Bisa jadi pula, itu menunjukkan sang presiden mungkin tidak begitu menyukai politik demokrasi.
Simpulan tersebut juga diperkuat dengan berbagai analisis yang menyebutkan Presiden Jokowi adalah seorang pragmatis. Sejak 2014 lalu, media asing seperti ABC News bahkan telah memberitakan hal ini. Sikap pragmatis ini yang melahirkan pernyataan ketiga, yakni paradigma yang lebih menitikberatkan hasil.
Artinya, seperti yang diungkap oleh Budiman, yakni negara otoriter lebih cepat sampai ke level pembahasan teknis daripada negara demokratis, besar kemungkinan Presiden Jokowi setuju dengan pernyataan tersebut.
Lalu, apakah mungkin Presiden Jokowi telah memerintah secara otoriter?
Ketidaksadaran Otoriter
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sangat bijak sekiranya untuk membaca buku politisi PDIP, Rieke Diah Pitaloka yang berjudul Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Buku itu sendiri adalah adaptasi dari tesisnya yang berjudul Banalitas Kejahatan: Aku yang Tak Mengenal Diriku, Telaah Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara.
Seperti judulnya, kita sudah dapat menebak, isinya mengulas pemikiran filsuf Jerman, Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan (banality of evil). Di sana, banalitas kejahatan digunakan Rieke untuk menganalisis dan memahami pemerintahan otoriter Orde Baru.
Di dalamnya, Rieke memberikan poin yang sangat menarik tentang bagaimana pemimpin otoriter dapat terlahir. Menurutnya, alih-alih menyebut kebijakan otoriter diambil atas dasar kehendak bebas alias kesadaran penuh, kebijakan otoriter justru diambil karena ketidaksadaran bahwa itu bertendensi otoriter.
Pada praktiknya, mengapa kebijakan otoriter, seperti kekerasan negara selalu terulang terjadi karena adanya kelumrahan di tengah masyarakat dan pengambil kebijakan itu sendiri. Ini kemudian membuat kebijakan tersebut sering kali tidak ditanggapi secara kritis karena menilainya sebagai fenomena yang biasa.
Rieke misalnya mencontohkan kasus Adolf Eichmann. Petinggi militer Nazi yang bertanggung jawab atas peristiwa Holocaust ini justru tidak sadar dirinya bersalah dan telah melakukan kejahatan. Menurutnya, apa yang dilakukannya tidak lebih dari sekadar tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya.
Selain itu, Rieke juga menjelaskan sifat intrinsik hukum yang membuat penguasa mudah berlaku otoriter. Seperti yang diketahui, hukum memiliki sifat koersif dan memaksa. Ini membuat penguasa kerap memanfaatkan hukum semata-mata sebagai perangkat untuk mengatur masyarakat.
Norbertus Jegalus dalam bukunya Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif, dengan mengutip Gustav Radbruch dalam Der Mensch im Recht, menyebutkan hukum memiliki tiga nilai fundamental, yakni kebaikan umum (Gemeinwohl), keadilan (Gerechtigkeit), dan kepastian hukum (Rechtssicherheit).
Menurut Jegalus, kepastian hukum ditempatkan di tempat ketiga, namun kepastian hukum justru menjadi nilai pertama dalam diskursus hukum di Indonesia.
Sama dengan Rieke, Jegalus juga menegaskan bahwa hukum harus memiliki pertanggung jawaban terhadap masyarakat. Secara khusus, Jegalus menyebut hukum harus mengejar terciptanya keadilan secara terus-menerus.
Artinya, paradigma hukum di Indonesia yang menitikberatkan pada kepastian hukum telah membuatnya dipandang lumrah memiliki sifat koersif dan memaksa. Ini seperti yang disebutkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia bahwa konstruksi hukum di Indonesia sering kali adalah buah dari konfigurasi politik. Singkatnya, hukum adalah alat untuk menegakkan kekuasaan.
Di titik ini, mengacu pada sikap pragmatis Presiden Jokowi, dan kondisi konstruksi hukum di Indonesia, besar kemungkinan mantan Wali Kota Solo tersebut berada pada titik tidak menyadari dirinya telah berlaku otoriter karena menganggap kebijakannya berkonsekuensi baik bagi masyarakat.
Selain itu, di sekitar Presiden Jokowi juga bercokol politisi yang eksis di Orde Baru. Dengan kata lain, mereka yang telah terbiasa dengan pengambilan kebijakan otoriter, mungkin juga telah memperkuat faktor kelumrahan tersebut.
Namun, tentunya kita paham, simpulan tersebut hanyalah deduksi atau asumsi semata. Benar tidaknya Presiden Jokowi telah berlaku otoriter juga kembali pada cara kita melihatnya. Kita nantikan saja legacy apa yang akan ditelurkan oleh sosok yang pernah digadang-gadang sebagai Barack Obama-nya Indonesia ini. (R53)