Jokowi telah mengundang 40 tokoh nasional di Istana untuk mendengar komitmenya menjaga demokrasi. Alih-alih memberi makna bahwa Jokowi adalah Presiden yang demokratis, pernyataan tersebut justru bermakna sebaliknya dalam analisis psikolinguistik.
PinterPolitik.com
Akhir-akhir ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) banyak dikritik atas sikap represif pemerintahannya terhadap demonstrasi dan kebebasan berpendapat. Banyak pihak menilai bahwa Jokowi telah menjadi seorang pemimpin yang tidak menjunjung tinggi demokrasi lagi. Merespons hal tersebut, Jokowi mengundang 40 tokoh nasional ke Istana.
Di depan para tokoh tersebut, Jokowi menegaskan dua hal. Pertama, terkait komitmennya untuk menjaga kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Kedua, agar para tokoh tersebut tidak meragukan komitmennya untuk menjaga demokrasi.
Secara tidak langsung, Jokowi hendak membantah tudingan banyak pihak yang menyebutnya bukan Presiden yang demokratis. Akan tetapi, pernyataan Jokowi tersebut justru memiliki makna yang berbeda dalam kacamata psikolinguistik. Makna yang berbeda itu tampak jelas ketika Jokowi memilih pergi ketika ditanya awak media selepas shalat Jumat perihal penangkapan Dandhy Laksono dan Ananda Badudu.
Lantas seperti apa makna yang sebenarnya tertangkap dalam pernyataan Jokowi tersebut katakanlah dari sudut pandang psikolinguistik?
Psikolinguistik, dari Trump hingga Jokowi
Secara etimologis, istilah psikolinguistik berasal dari dua kata, yakni “psikologi” dan “linguistik”. Seperti kita ketahui, kedua kata tersebut masing-masing merujuk pada nama sebuah disiplin ilmu.
Secara umum, psikologi sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus, hakikat respon, dan hakikat proses‑proses pikiran sebelum stimulus atau respon itu terjadi.
Sementara, linguistik dapat dipahami sebagai satu ilmu yang mengkaji bahasa. Bahasa dalam konteks linguistik dipandang sebagai sebuah sistem bunyi yang dipergunakan oleh manusia sebagai sarana komunikasi.
Berdasarkan kedua disiplin ilmu tersebut, psikolinguistik dapat dipahami sebagai ilmu yang menguraikan proses‑proses psikologis yang terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia. Dengan demikian, psikolinguistik dibatasi sebagai studi tentang bahasa dan pikiran.
Psikolinguistik umumnya mengkaji kalimat spontan dari individu karena kalimat spontan dinilai sebagai kondisi yang jujur dari pikiran individu.
Yuliya Krylova-Grek dalam tulisannya Psycholinguistic Peculiarities For Application Of The Symbolwords In The Political Communication (2017) menjelaskan bagaimana psikolinguistik digunakan membaca makna dari wawancara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di salah satu acara Talk Show terkenal di AS.
Pada saat itu, Trump diwawancarai oleh Jimmy Kimmel dan diberikan pertanyaan: “Apakah tidak salah untuk mendiskriminasi (seseorang) berdasarkan agamanya?”
Konteks pertanyaan itu diberikan ketika Trump membuat kebijakan untuk melarang warga negara muslim untuk mengunjungi AS. Dalam jawaban Trump, terdapat 5 poin penting yang dapat disimpulkan setelah dianalisis menggunakan psikolinguistik.
Pertama, Trump mencontohkan kasus teror yang terjadi di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa secara psikologis, Trump memaknai warga muslim sebagai pelaku teror atau teroris.
Kedua, Trump kerap kali menyebut kata ”problem” (masalah) dan harus mencari akar dari masalah tersebut untuk mengatasinya. Hal ini menunjukkan bahwa Trump bermaksud mengatakan kasus di Paris dapat pula terjadi di AS. Oleh karenanya, itu harus dicegah sedini mungkin.
Ketiga, Trump menggunakan istilah “tremendous harm” (sangat merusak), “badly injured.” (buruk), dan “dead” (kematian) untuk menggambarkan akibat yang ditimbulkan dari aksi teror. Hal ini bermakna bahwa Trump tengah berusaha menyelamatkan warga AS dari ancaman yang luar biasa.
Cara ini sama dengan penyampaian ceramah agama yang kerap menggambarkan akan adanya ancaman yang luar biasa, seperti neraka, kiamat, dan sebagainya. Di sini Trump berusaha untuk menunjukkan dirinya sebagai sosok penyelamat.
Keempat, Trump menggunakan kalimat “in case… then…” (untuk berjaga-jaga… lalu…). Hal ini bermakna bahwa Trump hendak menawarkan sebuah jaminan kepada pendengarnya. Ini adalah kalimat yang ditujukan untuk kepentingan persuasif.
Kelima, jawaban Trump menunjukkan adanya kekhawatiran yang tinggi, adanya ancaman yang kuat, dan adanya aktivitas yang tinggi dari Trump untuk mengatasi masalah yang ia maksudkan.
Lalu, bagaimana jika psikolinguistik ini digunakan untuk menganalisis pernyatan Jokowi?
Jokowi Tidak Peka?
Menggunakan psikolinguistik, makna tersembunyi dari bahasa penutur yang berasal dari psikologisnya dapat diungkap. Ini menunjukkan bahwa psikoanalisis dapat memberikan kita pemahaman yang lebih dalam terkait makna dari suatu bahasa tutur.
Berikut adalah pernyataan Jokowi di hadapan 40 tokoh nasional beberapa waktu lalu:
“Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia. Bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan … Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini.”
Terdapat tiga kesimpulan yang didapatkan dari pernyataan tersebut setelah dianalisis menggunakan psikolinguistik.
Pertama, Jokowi telah melakukan retorika, yaitu argumentum ad nauseam. Ini adalah keadaan yang terjadi karena adanya asumsi bahwa pengulang-ulangan pernyataan akan memberikan efek bahwa pernyataan tersebut tengah sungguh-sungguh dilakukan dan/atau memang benar telah dilakukan. Hal ini misalnya terlihat dari Jokowi yang mengulang penggunaan kata “komitmen saya”.
Pada kaidahnya, pengulangan suatu kata, istilah, ataupun kalimat tidak menambah kebenaran dari suatu pernyataan. Metode ini kerap dilakukan oleh para retoris ulung ataupun para motivator untuk memberikan kesan kesungguhan dan kebenaran.
Kedua, secara psikologis, pengeluaran pernyataan menjaga dan mempertahankan kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat menunjukkan bahwa Jokowi mungkin hanya memahami pernyataan tersebut sebagai suatu hal yang normatif.
Hal ini terlihat dari pilihan Jokowi untuk mengundang 40 tokoh nasional untuk menegaskan komitmen demokrasinya. Ini menunjukkan bahwa Jokowi melihat sangat penting bahwa 40 tokoh nasional itu untuk mengetahuinya komitmennya.
Putusan ini menunjukkan bahwa brand sebagai Presiden yang menjaga demokrasi itu penting. Di sisi lain, 40 tokoh itu adalah tokoh-tokoh yang memang mendukung Jokowi. Dengan kata lain, Jokowi hendak mencari dukungan moril dan psikologis.
Ini juga terlihat dari sikap Jokowi yang memilih untuk pergi ketika ditanya tentang penangkapan aktivis Dandhy Laksono dan Ananda Badudu. Itu adalah tindakan spontan, yang menunjukkan bahwa Jokowi enggan untuk membahas upaya pembatasan kebebasan berpendapat. Hal ini tentu bertolak belakang dari pernyataannya ketika bertemu 40 tokoh nasional.
Ketiga, penggunaan kalimat “jangan ragukan komitmen saya” justru bermakna bahwa Jokowi boleh jadi tidak peka dengan kekecewaan masyarakat.
Melihat secara linguistik, kata “ragu” berarti belum ditentukannya putusan, ataupun belum adanya bukti yang kuat untuk terbentuknya putusan. Padahal, berkaca dari demo besar-besaran mahasiswa, itu bukanlah aksi yang masih dalam taraf “ragu”.
Aksi besar itu menunjukkan bahwa mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat telah bulat untuk mengkritik pemerintah. Dengan kata lain, yang terjadi adalah bukan masyarakat meragukan komitmen Jokowi, melainkan tidak percaya pada komitmennya. Keduanya adalah hal yang berbeda.
Di sini terlihat bahwa Jokowi melihat masyarakat masih percaya pada komitmen demokrasinya. Ini adalah penangkapan yang salah atas situasi yang telah ditangkap oleh Jokowi, sekaligus menunjukkan dirinya tidak peka, atau mungkin sebenarnya ia tahu, tapi sudah bulat untuk memutuskan menghiraukan aksi masa tersebut.
Berdasarkan psikolinguistik, pernyataan Jokowi yang hendak menegaskan komitmen menjaga demokrasi justru bermakna bahwa dirinya mungkin saja hanya memahami demokrasi secara normatif dan menunjukkan ketidakpekaannya terhadap aksi protes besar-besaran yang terjadi.
Ini juga boleh jadi berarti bahwa Jokowi menunjukkan dirinya memiliki sifat yang tidak begitu menyukai atmosfer kritik dalam politik demokrasi. Pada akhirnya, ini adalah persoalan Jokowi untuk mengambil sikap terkait apa yang seharusnya dilakukan untuk memperlihatkan komitmen demokrasinya, alih-alih hanya berbicara di depan 40 tokoh nasional. (R53)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.