Pemerintahan Jokowi di periode ini disebut sebagai pemerintahan terkuat sejak reformasi. Mulusnya UU Ciptaker di parlemen seolah memperlihatkan eksekutif memiliki kewenangan legislasi. Alhasil, trias politika disebut tidak bekerja semestinya. Lantas, benarkah Presiden Jokowi memang tidak menginginkan oposisi?
Tingginya tensi di Pilpres 2019 tentu membuat berbagai pihak heran mengapa Prabowo Subianto memilih masuk ke lingkar pemerintahan. Ini adalah sejarah, karena untuk pertama kalinya rival di gelaran Pilpres justru dirangkul dan diberikan jabatan menteri di Indonesia.
Namun, apabila kita melihat pada pernyataan-pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tampaknya merangkul Prabowo merupakan bagian dari rencana. Pada 22 Februari 2017 lalu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia sudah kebablasan karena isu SARA dan fitnah justru masif diproduksi dan dipolitisasi.
Kemudian, pernyataan pada 24 Oktober 2019 lalu tampaknya adalah klimaks atas “kejengkelan” tersebut. Tegas sang presiden, di Indonesia tidak ada yang disebut sebagai oposisi karena demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi gotong royong.
Saat ini, kita melihat aktualisasi dari pernyataan Oktober tahun lalu. Sakin besarnya koalisi pemerintah, oposisi tampaknya tidak dapat memenuhi tugasnya sebagai checks and balances. Mulusnya pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) yang merupakan inisiasi pemerintah jelas menunjukkan bagaimana besarnya pengaruh eksekutif.
Namun, dalam kacamata peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, koalisi raksasa tersebut justru berdampak negatif. Tuturnya, itu telah membuat pemerintah terlalu percaya diri untuk mengaktualisasi langkah politiknya. Aspek persetujuan publik kemudian seolah diabaikan. Imbasnya, demonstrasi besar selama setahun terakhir kemudian terjadi.
Senada dengan Arya, pengamat politik Rocky Gerung juga memberi penekanan yang sama. Menurutnya, berbagai gejolak yang terjadi belakangan ini, disebabkan karena Presiden Jokowi menyebut tidak menginginkan oposisi.
Lantas, benarkah gejolak politik akhir-akhir ini terjadi karena lemahnya kekuasaan oposisi? Lalu, benarkah Presiden Jokowi tidak menginginkan oposisi?
Demokrasi dan Ekonomi
Pernyataan politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko sewaktu diwawancara oleh PinterPolitik tampaknya memberi kita gambaran mengapa Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan demokrasi kebablasan dan oposisi tidak ada di Indonesia.
Tutur Budiman, di negara demokrasi, segala hal menjadi politis. Maksudnya, pengambilan kebijakan menjadi begitu sulit dan tidak efektif karena panjangnya perdebatan politik yang terjadi. Alhasil, butuh waktu yang lama untuk sampai ke level pembahasan teknis.
Boleh jadi, konteks yang disebutkan Budiman telah menginspirasi Presiden Jokowi. Aktualisasinya tentu tidak ekstrem dengan menjadi otoriter seperti pemerintahan XI Jinping di Tiongkok, melainkan dengan memperluas kekuasaan, khususnya di parlemen agar produk hukum yang diinisiasi dapat diproses dengan cepat.
Sheri Berman dalam tulisannya Why are We so Dissatisfied with Democracy? The Reasons are Many juga menyebutkan bahwa memang terdapat tren penurunan kepercayaan terhadap demokrasi, khususnya terkait kemampuannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Guillermo Vuletin, dan kawan-kawan dalam tulisannya Democracy does not Cause Growth juga menyebutkan bahwa demokrasi memang bukanlah kunci dalam membuka pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, dengan majunya ekonomi Tiongkok, ini jelas menjadi godaan tersendiri bagi negara yang menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sejak tahun 1991, Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, bahkan telah memberi peringatan bahwa perkembangan ekonomi Tiongkok dapat membuat negara lain untuk tergiur menerapkan sistem yang sama.
Selain itu, sudah lama sekiranya beredar pernyataan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang ditujukan untuk negara maju. Artinya, demokrasi bukanlah syarat yang mendorong majunya ekonomi, seperti yang banyak pihak coba buktikan, melainkan majunya ekonomi justru yang membuat demokrasi menjadi mungkin dilakukan.
Dalam temuan Jack Corbett dan Wouter Veenendaal, hanya negara berkembang dengan wilayah yang kecil yang dapat menjalankan demokrasi dengan baik. Jika kita mengacu pada pelaksanaan demokrasi di Athena dulu, wilayah dan jumlah penduduk yang masih kecil jelas menjadi kunci mengapa sistem politik tersebut benar-benar dapat dilaksanakan.
Demokrasi Terlalu Berisik?
Pada kasus pelaksanaan demokrasi di Indonesia, tampaknya telah terjadi semacam “kejengkelan” terhadap oposisi. Pasalnya, tidak sedikit oposisi yang melempar kritik dengan tidak mengutamakan substansi, melainkan sekadar tampil berbeda dengan pemerintahan. Alhasil, pada praktiknya, checks and balances menjadi semacam ajang debat kusir untuk menarik atensi publik.
Di sini, memang harus diakui, belum terdapat perbedaan jelas antara sound dan noise. Sound adalah istilah untuk merujuk pada pernyataan yang bermakna, sedangkan noise adalah pernyataan yang tidak bermakna. Dengan kata lain, banyak oposisi kita yang terlihat asal melempar kritik agar terlihat berposisi diametral dari pemerintah. Alhasil, bukan sound yang terdengar, melainkan noise. Ini kemudian melahirkan istilah bahwa demokrasi telah menjadi terlalu berisik.
Di Amerika Serikat (AS) kasusnya lebih parah. Francis Fukuyama dalam tulisannya America in Decay: The Sources of Political Dysfunction menyebutkan bahwa sistem checks and balances AS telah menjadi terlalu dalam dan kaku, sehingga terjadi polarisasi politik yang begitu tajam.
Setiap keputusan yang diambil Partai Demokrat mestilah dikontra Partai Republik, begitu pula sebaliknya. Alhasil, pengambilan kebijakan secara efektif dan melalui dialog menjadi sulit terjadi karena perdebatan tidak berkesudahan selalu terjadi.
Sedikit berspekulasi, boleh jadi Presiden Jokowi bertolak dari kasus yang terjadi di AS sehingga membuat koalisi besar agar perdebatan serupa tidak terjadi. Apalagi, ambisi untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi melalui UU Ciptaker tampaknya akan sulit terjadi apabila politik terlalu bising karena besarnya kekuasaan oposisi.
Akan tetapi, kendati terdapat niat yang baik di balik membentuk koalisi besar seperti saat ini, strategi politik tersebut juga memiliki dampak negatif yang patut diwaspadai.
Berpotensi Otoriter?
Yang pertama terjadi apabila koalisi di pemerintahan terlalu besar, khususnya di parlemen adalah tidak bekerjanya trias politika sebagaimana mestinya. Pasalnya, dengan 70 persen koalisi pemerintah di DPR, produk hukum yang diinisiasi pemerintah jelas akan berjalan mulus. Dengan kata lain, eksekutif seolah memiliki kewenangan legislasi.
Bhabani Shankar Nayak dalam tulisannya Dangers for Democracy without Opposition menyebutkan bahwa di tengah situasi pandemi Covid-19, banyak negara berjalan menuju otoriter dengan alasan untuk menjaga ekonomi tetap berjalan. Menurutnya, itu terjadi karena pemerintahan berjalan tanpa oposisi yang efektif.
Di Indonesia, kekhawatiran Nayak tampaknya terlihat jelas. Mulusnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU jelas memperlihatkan diabaikannya kritik sejumlah pihak terkait Perppu tersebut berpotensi mengulang kasus Bank Century.
Pada 8 Oktober lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahkan meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak gugatan uji materi atau judicial review UU No. 2 tahun 2020 yang merupakan pengesahan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2020.
Lalu yang terbaru, terdapat pengesahan RUU Ciptaker yang terlihat begitu cepat dan tidak transparan. Uniknya, meskipun disahkan pada 5 Oktober, draf final baru diserahkan pada 12 Oktober. Seperti yang diketahui, meskipun mendapat berbagai kritik dan penolakan, RUU tersebut nyatanya tetap mulus menjadi UU. Saat ini, tampaknya hanya menunggu waktu sampai produk hukum tersebut benar-benar diterapkan.
Bagaimana pun, tentu kita berharap bahwa dengan minimnya kekuasaan oposisi saat ini, itu tidak membuat pemerintahan Jokowi bergerak menuju otoriter. Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan pemerintahan ini berjalan empat tahun ke depan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)