Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Tidak Abadi 

jokowi senang blackpink datang

Joko Widodo (Jokowi) dalam sebuah kegiatan kampanyenya menyapa para pendukungnya. (Foto: Antara)

Dengarkan artikel berikut

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/10/terjadi-sebuah-momen.mp3

Perbedaan sorakan yang diberikan para politisi ketika pelantikan anggota DPR/DPD/MPR 2024-2029, kepada Jokowi dan Prabowo tuai respons beragam dari warganet. Apa yang sebenarnya terjadi? 


PinterPolitik.com 

Tak ada yang abadi, tak ada yang abadi” 

Begitulah potongan lirik dari lagu grup musik NOAH, berjudul Tak Ada yang Abadi. Lirik ini menyampaikan pesan tentang ketidakabadian kehidupan dan keadaan di dunia, kecuali cinta, yang sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih mendalam dan bertahan lama. 

Lirik lagu ini mungkin jadi potongan kalimat yang cocok untuk merepresentasikan kondisi politik yang tampaknya sedang dialami Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini. 

Sebagai konteks, terjadi sebuah momen menarik dalam Pelantikan Anggota DPR/DPD/MPR 2024-2029 pada Selasa (1/10/2024) kemarin. Saat acara sambutan, semua mantan Presiden dan Wakil Presiden mendapat tepuk tangan meriah ketika nama mereka disebut. Namun, ketika nama Jokowi dipanggil, hampir tidak ada tepuk tangan yang terdengar. Situasi ini sangat berbeda saat nama Prabowo Subianto disebut, yang langsung disambut dengan tepuk tangan meriah. 

Fenomena tersebut sontak menuai beragam komentar dari warganet, beberapa yang komentar menarik mengaitkan kejadian tersebut dengan dugaan hal ini bukan terjadi semata hanya karena masa Jokowi sudah mendekati akhir, namun bisa jadi sebagai bukti melemahnya apresiasi ataupun dukungan politik terhadap Jokowi dari sesama politisi. 

Meskipun ini hanya opini, menarik untuk menelaah kembali fenomena ini. Apa yang kira-kira membuat para politisi di Gedung DPR kemarin tidak menunjukkan rasa hormat yang sama kepada Jokowi seperti yang mereka tunjukkan kepada Prabowo? 

Bukan Soal Masa Jabatan? 

Peristiwa pelantikan DPR, di mana nama Jokowi tidak mendapat tepuk tangan, sementara presiden terpilih Prabowo mendapat sambutan hangat, dapat dilihat sebagai indikasi pergeseran loyalitas politik dan melemahnya dukungan politik terhadap Jokowi.  

Momen ini menunjukkan adanya penyelarasan kembali kekuasaan politik, seiring dengan berkurangnya pengaruh Jokowi di masa senja kepresidenannya. Untuk mendukung penafsiran ini, kita dapat memanfaatkan teori legitimasi politik yang dikemukakan oleh Max Weber.  

Dalam teori ini, ada tiga sumber utama yang membentuk dasar otoritas seorang pemimpin: traditional (tradisional), charismatic (karismatik), dan legal-rational (legal-rasional). Masing-masing sumber legitimasi ini mengacu pada cara seorang pemimpin mendapatkan dan mempertahankan otoritasnya di mata publik atau elit politik. Mari kita bahas lebih rinci, khususnya fokus pada transisi legitimasi politik dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya. 

Pertama, otoritas tradisional. Otoritas berlandaskan hal ini berasal dari kebiasaan dan adat yang telah lama terbentuk dalam masyarakat. Pemimpin mendapatkan kekuasaan karena mereka dianggap sebagai bagian dari suatu sistem tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Contoh nyata dari otoritas tradisional bisa dilihat pada monarki, di mana raja atau ratu berkuasa karena statusnya sebagai penerus keluarga kerajaan yang telah lama memerintah. 

Meskipun Indonesia adalah negara demokrasi, unsur otoritas tradisional bisa ditemukan dalam cara masyarakat memandang tokoh-tokoh politik tertentu yang berasal dari keluarga elite atau aristokrat (misalnya, keluarga besar Soekarno atau Suharto). Hal ini yang membuat sejumlah elite masih dihormati kendati tidak punya jabatan tertinggi, seperti Megawati Soekarnoputri, dan keturunan Suharto. 

Kedua, otoritas karismatik, yang didasari pada kualitas pribadi yang luar biasa dari seorang pemimpin, yang membuat mereka disukai dan dihormati oleh publik. Pemimpin dengan otoritas karismatik biasanya muncul pada saat-saat krisis atau perubahan besar, ketika masyarakat mencari figur yang bisa membawa harapan baru. 

Jokowi sendiri, ketika pertama kali muncul di panggung politik nasional, sangat bergantung pada otoritas karismatik. Gaya kepemimpinannya yang sederhana, inklusif, dan dianggap dekat dengan rakyat membantunya mendapatkan dukungan luas. Dalam konteks Weber, legitimasi Jokowi saat awal kepemimpinannya sebagian besar datang dari persepsi bahwa dia adalah “pemimpin rakyat” yang bisa membawa perubahan nyata, berlawanan dengan elite politik lama yang dianggap jauh dari rakyat. 

Namun, otoritas karismatik cenderung bersifat tidak stabil dan bisa pudar seiring berjalannya waktu, terutama ketika ekspektasi publik tidak lagi terpenuhi atau krisis legitimasi muncul karena kegagalan dalam kebijakan atau kelemahan dalam mempertahankan citra karismatik tersebut. 

Ketiga, otoritas legal-rasional. Rasa hormat sejumlah elite kepada seseorang dalam otoritas ini didasarkan pada aturan hukum dan prosedur formal. Dalam sistem ini, pemimpin memperoleh otoritasnya karena mereka terpilih atau diangkat melalui mekanisme konstitusional yang sah. Dalam demokrasi modern, ini adalah bentuk otoritas yang paling umum. 

Jokowi, setelah beberapa tahun menjabat, juga mulai memanfaatkan otoritas legal-rasional ini. Sebagai presiden yang dipilih melalui proses pemilu yang sah, kekuasaannya diatur oleh konstitusi dan hukum. Namun, meskipun otoritas ini memberikan dasar yang kuat untuk memerintah, legitimasi dari otoritas legal-rasional bisa rapuh ketika seorang pemimpin berada di akhir masa jabatannya atau ketika sudah jelas bahwa mereka tidak bisa mencalonkan diri lagi. 

Nah, dari tiga jenis otoritas di atas, Jokowi memang tampaknya tidak lagi kuat di kategori manapun, ia bukanlah sosok yang berasal dari keluarga aristokrat, sedang berada di ujung jabatannya, dan juga tidak lagi memiliki karisma yang mungkin dulu ia miliki.  

Namun, poin tentang karisma ini mungkin memiliki makna lebih dalam yang bisa kita gali kembali. Jika selama ini para elite politik kerap digambarkan selalu “menempel” kepada Jokowi, apa yang membuat Jokowi kini tidak lagi punya karisma politik yang kuat? 

Terlalu “Cawe-cawe”? 

Salah satu faktor yang diduga memperlemah karisma ini adalah akibat dugaan cawe-cawe politik Jokowi dalam dinamika politik partai-partai. 

Beberapa pengamat menilai bahwa Jokowi, terutama di akhir masa jabatannya, cukup terlibat manuver-manuver politik praktis yang terjadi di antara partai, contohnya seperti pergantian Ketua Umum Partai Golkar yang belum lama ini terjadi. 

Dugaan langkah-langkah Jokowi untuk mengamankan kekuasaan politik dengan terlibat dalam pengaturan internal partai-partai politik atau mendukung figur tertentu bisa dianggap sebagai tindakan yang cukup membuat politisi, terutama yang merasa dirugikan atau tidak diuntungkan oleh tindakan tersebut, kehilangan rasa hormatnya terhadap Jokowi. 

Dan hal tersebut besar kemungkinan tidak hanya dirasakan oleh aktor-aktor yang terlibat langsung, tetapi juga para bawahan –yang selama ini menyimak dinamika para elite di partainya-, serta para elite politik lain yang bahkan tidak disentuh sekalipun, karena mereka merasa kapan saja dirinya sebetulnya bisa menjadi korban dari manuver-manuver politik tersebut.  

Namun, pada akhirnya perlu diingat bahwa ini semua tentu hanyalah asumsi belaka. Bagaimanapun juga, transisi legitimasi politik adalah proses yang normal dan diharapkan dalam demokrasi ketika kekuasaan berpindah tangan. 

Momen di DPR tersebut mungkin hanya menjadi tanda simbolik bahwa elite politik Indonesia sudah mulai mengalihkan dukungan mereka, mencerminkan bahwa masa kekuasaan Jokowi telah mencapai akhirnya, dan kini saatnya untuk meneguhkan otoritas Prabowo sebagai pemimpin yang akan datang. (D74) 

Exit mobile version