Adalah sebuah ironi ketika sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia yang mencapai 99.093 kilometer, bahkan sebagai negara maritim terbesar dunia, Indonesia masih harus mengimpor garam dengan jumlah fantastis. Wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mulanya begitu bersemangat ingin mendorong swasembada garam nasional, kini seolah tinggal cerita. Maraknya kartel perdagangan garam di tanah air disebut-sebut menjadi pemicu utama macetnya agenda swasembada garam.
PinterPolitik.com
Perseteruan seputar impor garam hingga sekarang masih belum juga mereda. Setidaknya terdapat dua kubu yang sejauh ini terlibat dalam polemik berkepanjangan, yakni kubu yang membela mati-matian agar keran impor tetap dibuka, dan kubu yang tetap menolak keras impor.
Terlepas dari itu, jika menoleh ke data yang ada, rasio kebutuhan dan produksi garam di dalam negeri terlihat begitu jomplang. Ini bisa dilihat dari jumlah kebutuhan garam dalam kurun waktu 2015-2018 yang tumbuh hingga 24,3 persen.
Ambil contoh, pada 2015, kebutuhan garam nasional mencapai 3,2 juta ton, sementara di tahun yang sama produksi garam dalam negeri hanya mampu menyumbang 2,8 juta ton. Tren yang sama, bahkan yang terburuk sempat terjadi pada tahun 2016, di mana pasokan garam dalam negeri hanya mencapai 0,12 juta ton, berbanding terbalik dengan kebutuhan nasional yang mencapai 3,3 juta ton.
Situasi serupa kembali terulang di tahun 2017 dan 2018, yang mana produksi garam nasional masing-masing hanya sanggup memasok 1,1 juta ton dan 2,7 juta ton. Padahal, jumlah kebutuhan garam dalam negeri pada 2017 mencapai 3,55 juta ton dan 3,98 juta ton di 2018.
Mengacu pada angka-angka tersebut, pemerintah seakan memiliki alasan kuat untuk tetap melanjutkan kebijakan impor garam hingga sekarang.
Lantas, adakah yang keliru dari kebijakan tersebut?
Jika yang dilihat hanya satu sudut, maka keputusan pemerintah dipastikan tidak ada yang salah. Namun, seperti halnya kebijakan-kebijakan impor lainnya, permasalahan garam tidaklah berdiri tunggal. Ada banyak sisi yang harus dilihat dan dibedah, menimbang besarnya dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut bagi masyarakat.
Seperti disinggung di awal, bahwa Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia. Hal itu berarti negeri ini punya potensi cukup besar dalam mendorong terwujudnya visi swasembada garam nasional. Jika visi tersebut gagal terealisasi, maka jawabannya pasti ada yang salah dalam kebijakan pemerintah.
Teristimewa pada era pemerintahan Jokowi, kebijakan swasembada garam bahkan sempat dimasukkan dalam agenda prioritas sebagai motor penggerak ekonomi domestik, sebuah visi ekonomi yang diterjemahkan langsung dari program Nawa Cita Jokowi. Namun, bagaimana perkembangannya kini?
Faktanya, pemerintah sampai sekarang masih membuka impor garam dalam jumlah yang sangat besar, alih-alih memacu industri garam dalam negeri. Untuk 2020 saja, pemerintah berencana mengimpor garam sebanyak 2,92 juta ton atau naik 6 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 2,75 juta ton.
Lalu, dalam konteks seperti apa kritik terhadap kebijakan swasembada garam Jokowi harus didaratkan?
Menyoal Swasembada Garam Jokowi
Wacana tentang penguatan industri garam domestik telah lama dihembuskan. Tak tanggung-tanggung, Jokowi di periode pertamanya bahkan telah mempersiapkan sejumlah skema kebijakan mulai dari program intensfikasi hingga ekstensifikasi produksi garam dalam negeri.
Targetnya pun tak main-main. Melalui injeksi teknologi geomembrane, pemerintah optimis mampu mendongkrak produktivitas pengelolaan garam di masing-masing sentra produksi. Disebutkan, dengan adaptasi teknologi baru itu peningkatan produktivitas garam domestik bisa mencapai 50-100 persen. Selain itu, lahan produksi yang semula cuma menghasilkan 60-70 ton per hektare setiap musim dapat meningkat menjadi 90-100 ton per hektare.
Jika saja skema kebijakan tersebut dijalankan dengan konsekuen, volume kebijakan impor yang begitu besar dapat ditekan. Bagaimana tidak, Indonesia memiliki kurang lebih 9 sentra produksi garam yang tersebar di bagian barat, tengah dan timur di Indonesia.
Di bagian barat ada sentra produksi garam di Indramayu dan Cirebon, di tengah ada Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura. Sementara di bagian Timur ada di NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto).
Dengan melihat luas sebaran sentra produksi garam yang ada, mestinya pemerintah sudah harus mengkaji ulang kebijakan impor garam. Apalagi, per 3 November 2019, tercatat total produksi garam nasional mencapai 2.089.824,25 ton yang terdiri dari 1.743.580,25 ton produksi garam rakyat dan 346.244 ton produksi PT Garam (BUMN). Juga, terdapat stok garam rakyat sebesar 1.003.668,70 ton, termasuk 131.444,87 ton sisa produksi garam rakyat tahun 2018.
Seperti diketahui, alasan utama di balik kebijakan impor garam, disinyalir selain karena jumlah pasokan garam domestik yang terbatas, juga karena alasan kualitas. Namun, hal ini ditepis oleh Direktur Utama PT Garam (Persero) Budi Sasongko, yang menyebut kualitas garam lokal tidak kalah saing dengan impor, sebab terbukti garam lokal telah banyak digunakan oleh pelaku industri di tanah air.
Tepisan serupa juga dilayangkan Sekretaris Jenderal Perkumpulan Petani Garam Indonesia, Sarli. Menurutnya garam di Indonesia sebenarnya punya kualitas tak kalah kompetitif dengan garam impor. Dia juga membantah klaim yang menyebut produksi garam domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pasalnya, duduk perkara permasalahan garam domestik bukan pada faktor kualitas atau pun kuantitasnya, melainkan pada tumpang-tindih kebijakan di setiap sektor yang membuat nasib kebijakan garam domestik menjadi terbengkalai dan tak terurus.
Menimbang fakta-fakta yang ada, menjadi masuk akal jika sikap “keras kepala” pemerintah yang doyan melakukan impor garam patut dipersoalkan.
Tanpa bermaksud menuding apakah ada pihak terkait pemerintah yang terlibat dalam permainan kartel perdagangan garam, indikasi-indikasi yang ada memberikan cukup sinyal kalau dugaan itu punya alasan yang kuat. Hematnya, rumus sederhana untuk menyingkap anomali kebijakan, cukup dengan melakukan pemeriksaan terhadap alasan (rasionalisasi) dibuatnya kebijakan tersebut.
Kartelisasi Hambat Visi Swasembada Garam?
Jeffrey Fear dalam Cartels and Competition: Neither Markets nor Hierarchies mendefiniskan kartel sebagai bagian dari kerja sama antar perusahaan dalam menetapkan atau menyepakati harga komoditas tertentu yang sepenuhnya terintegrasi. Secara umum, kartel bersifat sukarela, di mana sistem pengaturan kontrak atau kesepakatan di antara perusahaan independen untuk mengatur harga pasar.
Merujuk pendapat Fear, dapat dikatakan kartel sendiri termasuk kelompok produsen yang bekerja bersama untuk melindungi kepentingan mereka. Dalam arti, kartel dibuat ketika beberapa produsen besar memutuskan untuk bekerja sama sehubungan dengan penetapan (fix) harga komoditas di pasaran. Kartel dapat menetapkan harga untuk anggota, sehingga persaingan harga dapat dihindari. Dalam hal ini kartel juga disebut lingkaran harga.
Senada, menurut Espen Storli dalam Cartel Theory and Cartel Practice, kemunculan kartel dalam bisnis modern tidak terlepas dari kecondongan pelaku bisnis dalam berkolusi demi memaksimalkan keuntungan bersama.
Lantas, bagaimana dengan praktik kartel dalam bisnis garam di tanah air?
Bisnis kartel garam di indonesia sempat terkuak setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengumumkan adanya dugaan praktik kartel garam industri aneka pangan sejak tahun 2016 yang melibatkan 7 perusahaan.
Tujuh perusahaan importir itu di antaranya, PT Garindo Sejahtera Abadi (GSA), PT Susanti Megah, Niaga Garam Cemerlang, Unichem Candi Indonesia, PT Cheetam Garam Indonesia, PT Budiono Madura Bangun Persada, dan PT Sumatraco Langgeng Makmur.
Ketujuh perusahaan diduga kuat melakukan kontrol terhadap pasokan dan harga yang membuat harga garam kala itu melambung tinggi. Selain itu, terdapat perbedaan antara jatah kuota importasi garam industri aneka pangan dengan realisasi impor yang dipegang ketujuh perusahaan importir.
Eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli bahkan menyebut tujuh perusahaan tersebut menjadi bagian dari pelaku kartel yang selama ini memainkan harga dan pasokan garam dalam negeri.
Pernyataan senada juga diungkapkan Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik bahwa kehadiran kartel dalam bisnis garam merupakan faktor utama yang menghambat upaya untuk mencapai swasembada garam.
Menariknya, meskipun gejala kartel garam telah nampak di depan mata, presiden tetap saja bergeming. Tanpa upaya memutus rantai kartelisasi di sektor garam, jangan pernah bermimpi republik ini mampu mewujudkan swasembada garam.
Dengan demikian, masalah terbesar dalam merealisasikan kedaulatan di sektor produksi garam bukan pada minusnya pasokan garam domestik ataupun rendahnya kualitas garam hasil produksi dalam negeri, melainkan semuanya bersumbu pada maraknya praktik kartel yang menyejarah.
Untuk itu, Presiden Jokowi semestinya membereskan akar persoalan ini terlebih dahulu sebelum terlalu jauh berbicara tentang intensifikasi dan ekstensifikasi lahan produksi garam yang selama ini dianggap sebagai biang masalah. (H57)