Digelarnya pertemuan IMF-World Bank di Bali merupakan manuver politik terbaru World Bank dalam menciptakan skema jerat utang. Salah satunya adalah bantuan pinjaman sebesar 1 miliar dolar AS bagi Indonesia untuk pemulihan dan pembangunan Palu-Donggala pasca bencana gempa bumi dan tsunami
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]elum sembuh luka hati menghadapi bencana Palu-Donggala, kini Indonesia harus menghadapi ancaman jeratan utang World Bank. Pasalnya, lembaga bantuan asing ini menawarkan pinjaman sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) bagi Indonesia untuk pemulihan dan pembangunan Palu-Donggala pasca bencana gempa bumi dan tsunami yang merenggut lebih dari 1.700 nyawa tersebut.
Di tengah kondisi kas negara yang kian tercekik, ditambah tekanan ekonomi global yang menempatkan Indonesia rawan menghadapi krisis, serta jumlah utang luar negeri yang sudah menggunung, mungkinkah skema utang yang ditawarkan World Bank ini akan membantu atau justru makin menjerumuskan negara ini ke dalam krisis? Lalu, apakah model jeratan utang pinjaman bencana ini adalah bentuk “penjajahan” gaya baru ala World Bank?
Inkonsistensi Pemerintah Sikapi Bantuan Asing
Banyak pihak yang menyebut ada kejanggalan yang terjadi terkait respon pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap penerimaan skema bantuan luar negeri menyoal bencana Palu-Donggala.
Dengan memanfaatkan momentum Indonesia yang sedang menghadapi bencana, pertemuan IMF-World Bank tersebut adalah waktu yang tepat untuk membuat Indonesia semakin tergantung pada World Bank Share on XSecara umum, kebijakan pemerintah memang terkesan ambigu dan inkonsisten karena seolah ada tebang pilih terkait jenis bantuan yang masuk.
Dalam konteks perbandingannya dengan pinjaman World Bank, hal ini misalnya terlihat pada pengusiran beberapa anggota Non-Governmental Organization atau NGO Internasional beberapa waktu yang lalu.
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa bantuan dalam bentuk uang, katakanlah dari World Bank, tentu saja berbeda dengan bantuan relawan yang sifatnya multidimensional karena melibatkan orang asing. Namun, sebagai bagian dari pengentasan krisis akibat bencana, tentu saja bantuan-bantuan yang datang tidak bisa begitu saja dikesampingkan.
Pasalnya, seperti dilansir dari BBC, pemerintah telah mengusir lebih dari 20 orang relawan asing dengan alasan tak mengantongi ijin dari Kementerian Luar Negeri pada saat akan menyalurkan bantuan ke Sulawesi Tengah.
Namun, menurut Ahmed Bham dari NGO asal Afrika Selatan, Gift of the Givers, kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan yang tidak lazim di negara lain. Kepada stasiun televisi ABC dia menilai ada kejanggalan terkait sikap pemerintah tersebut.
Apakah karena kuatir sering "terekspos dunia luar" keadaan sebenarnya di Palu sehingga relawan asing diusir pihak berwenang?
yang mengaku diusir diantaranya Gifts of the Givers dari Afrika Selatan dan Relawan World Vision dari Australia pic.twitter.com/MQBCmdzwGj
— Rissa Helanda (@RissaHelanda) October 11, 2018
Di saat beberapa bantuan dari negara asing masuk dan wartawan internasional pun dipersilahkan meliput bencana, justru menjadi pertanyaan publik internasional mengapa pemerintah Indonesia justru menolak partisipasi relawan asing.
Pemerintah bahkan berdalih pengusiran tersebut dilakukan karena bantuan telah mencapai batas yang dibutuhkan, sehingga kehadiran relawan asing tidak lagi dibutuhkan. Namun, menurut penilaian beberapa lembaga internasional, kondisi yang terjadi di lapangan adalah ada kesan pemerintah terlambat menangani bencana tersebut.
Kontrasnya, secara mengejutkan, hari ini World Bank justru menawarkan bantuan berupa utang untuk membantu pembangunan kembali Sulawesi Tengah yang porak poranda akibat bencana gempa dan tsunami.
CEO World Bank, Kristalina Georgieva berdalih, dana yang disediakan oleh lembaga donor ini berbentuk pinjaman yang dapat digunakan untuk rekonstruksi dan juga untuk membangun “ketahanan” Indonesia, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi bencana di masa depan.
Bahkan, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dikabarkan menyambut baik niatan World Bank tersebut. Menkeu berdalih bahwa Indonesia memerlukan bantuan ini untuk melakukan pembangunan pasca gempa. Ia juga mengklaim pendanaan ini penting dalam iklim ekonomi saat ini karena dengan suku bunga yang jauh lebih tinggi yang ditetapkan benk sentral AS serta adanya pengetatan likuiditas, menyebabkan Indonesia kesulitan mendapatkan pembiayaan dari luar.
Dengan membandingkan keputusan pemerintah tersebut, seberapa penting sebenarnya peran bantuan asing untuk pemulihan bencana di suatu negara?
Menurut Dean Yang dalam tulisannya berjudul Coping With Disaster: The Impact of Hurricanes on International Financial Flows mengatakan bahwa peran bantuan luar negeri sangat penting pasca terjadinya bencana. Bahkan sekitar 73 persen kerusakan bencana pada akhirnya dapat terbantu oleh aliran bantuan asing.
Namun sayangnya, keputusan pemerintah untuk menerima skema utang World Bank adalah sikap yang paradoksal mengingat pemerintah pernah melakukan pengusiran terhadap relawan-relawan dari NGO Internasional. Tentu sikap tersebut bertolak belakang dengan pendapat Yang tentang pentingnya skema bantuan asing.
Terlebih, pasca terjadinya bencana yang bertubi-tubi dan kondisi ekonomi yang masih tidak stabil akibat kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Indonesia sangat memerlukan bantuan dari berbagai negara dan lembaga internasional.
Kemudian, terkait pinjaman yang ditawarkan World Bank, tentu jumlah tersebut tidak sedikit. Di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit, mungkinkah pemerintah kini terjerat bantuan utang dari World Bank untuk pembangunan pasca gempa dan tsunami Palu-Donggala dan tak bisa menolaknya?
Bantuan Bencana World Bank, Bencana Untuk Indonesia?
World Bank adalah salah satu organisasi suprastruktur yang lahir dari sistem Bretton Woods pada tahun 1944 yang merupakan produk kerjasama antara AS dan Inggris. Sistem ini kemudian menghasilkan sistem ekonomi ketergantungan yang saat ini dirasakan dalam sistem dunia.
Walaupun alasannya untuk mengatasi bencana, mengajukan pinjaman ke IMF dan World Bank , maka akan membuat Indonesia terjebak pada hutang dan pusaran sistem ekonomi kapitalis yang berbasis ribawi…dan itu akan mengantarkan pada bencana keuangan bagi Indonesia
— Nurhidayat Rachman (@Nurhi2010) October 16, 2018
Sebagai organisasi suprastruktur, World Bank adalah salah satu lembaga keuangan yang merupakan representasi kekuatan negara-negara besar. Bahkan, AS saat ini masih menjadi donor terbesar bagi lembaga ini.
Sebagai sebuah lembaga keuangan dunia, peran World Bank bagi negara-negara berkembang cukup krusial. Salah satunya adalah memberikan skema bantuan pinjaman untuk pembangunan negara-negara berkembang.
Namun, bantuan Bank Dunia pada akhirnya berhasil menciptakan apa yang disebut sebagai relasi ketergantungan.
Hal ini diperkuat dengan pemikiran Fernando Henrique Cardoso dalam teori ketergantungan. Cardoso berpendapat bahwa sistem dunia telah terjebak dalam hubungan ketergantungan antara negara maju dan negara berkembang di mana telah terjadi dominasi ekonomi negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju.
Teori ini berusaha untuk mengatakan bahwa negara-negara berkembang secara terus-menerus akan mengalami kemiskinan karena pengaruh dari strategi ekonomi dan politik dari negara maju. Dengan kata lain, World Bank adalah representasi negara-negara maju tersebut.
Sebagai kepanjangan tangan negara-negara maju, bukan sebuah kebetulan World Bank menciptakan pola ketergantungan antarnegara. Beberapa ilmuwan studi pembangunan menyebut bahwa World Bank adalah salah satu bentuk neokolonialisme yang selalu berupaya menjerat negara-negara berkembang dengan utang.
Dan World Bank sebagai rezim internasional telah berhasil menciptakan hegemoni dan ketergantungan secara ekonomi tersebut terhadap Indonesia sebagai negara berkembang.
Peter Gibbon dalam Jurnalnya The World Bank and the new politics of aid menyebutkan kemampuan secara politik lembaga tersebut dalam memberikan bantuan pembangunan internasional tidak terlepas dari keterampilan manajerial dengan kepekaan yang kuat terhadap perubahan di negara-negara dunia ketiga dan kemampuan untuk menangkap peluang.
Misalnya melalui berbagai riset yang di lakukan di Indonesia tentang kondisi ekonomi, politik, dan sosial. Sehingga, lembaga ini memiliki data tentang kebutuhan pembangunan di Indonesia. Cara tersebutlah yang digunakan World Bank untuk menawarkan bantuan utang.
Realitas tersebut juga semakin menguatkan asumsi bahwa di gelarnya pertemuan IMF-World Bank di Bali merupakan manuver politik terbaru World Bank dalam menciptakan jerat utang.
Dengan memanfaatkan momentum Indonesia yang sedang menghadapi bencana, pertemuan IMF-World Bank tersebut adalah waktu yang tepat untuk membuat Indonesia semakin tergantung pada World Bank.
Selain itu, World Bank juga melakukan politik puja puji terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Padahal, dunia tidak menutup mata bahwa Indonesia adalah salah satu negara new emerging market yang rentan mengalami krisis akibat karut-marut perekonomian global .
Sikap Menkeu yang kemudian menyambut baik tawaran World Bank tersebut juga patut di pertanyakan. Mengingat total utang pemerintah per akhir Agustus 2018 tercatat sebesar Rp 4.363 triliun atau sekitar 30,31% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang artinya kemampuan pemerintah berhutang sudah memasuki fase ketidakwajaran.
Lalu dalam melihat sikap dan posisi Sri Mulyani sebagai salah satu bekas petinggi World Bank, mungkinkah agenda World Bank menjerat Indonesia ke dalam utang tidak telepas dari peran sosoknya? (M39)