Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Terjebak Wayang vs Islam Politik?

Jokowi dan Ma'ruf Amin (Foto: istimewa)

[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #12]

Kebebasan berpendapat kini menjadi salah satu sorotan terkait pelaksanaan demokrasi di Indonesia. YLBHI mencatat bahwa sejak Januari sampai Oktober 2019, ada 6.128 orang menjadi korban pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di seluruh Indonesia. Pendekatan penyelesaian persoalan berbasis kekerasan juga kian disorot – hal yang kemudian menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan adanya rezim militerisme. Tak sedikit pihak yang berpendapat bahwa konteks kekerasan tersebut lahir sebagai akibat benturan antara pendekatan politik “wayang” dalam budaya Jawa dengan kebangkitan kelompok Islam politik. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

“Indonesia, the world’s most populous Islamic country, has emerged as a beacon of freedom and democracy for the Muslim world”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia sepertinya masih menjadi kisah terbaru yang diperbincangkan masyarakat beberapa hari terakhir. Namun, semangat kemerdekaan ini tak sedikit pula yang membuat sebagian orang merefleksikan kembali makna kata “merdeka” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekalipun tonggak sejarah itu ada di tanggal 17 Agustus 1945, untuk banyak orang Indonesia, pasca Reformasi 1998-lah semuanya menjadi lebih bebas dan merdeka. Demokrasi pada akhirnya bisa berjalan, masyarakat bisa ikut Pemilu langsung dan kebebasan berekspresi serta berpendapat menjadi lebih terjamin.

Namun, beberapa waktu terakhir, perdebatan tentang konteks pelaksanaan demokrasi di Indonesia ini melahirkan banyak perdebatan baru. Pasalnya, tidak sedikit orang yang menyebutkan bahwa saat ini kebebasan berpendapat adalah salah satu hal yang paling “terancam” di Indonesia.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) misalnya mencatat bahwa sejak Januari sampai Oktober 2019, ada 6.128 orang menjadi korban pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di seluruh Indonesia dengan sekitar 324 orang di antaranya adalah korban dengan kategori anak. Sekitar 50 orang meninggal dalam setahun ketika berkapasitas menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk di dalamnya anak-anak dan mahasiswa.

Dalam catatan yang sama, YLBHI juga menyebutkan bahwa Kepolisian adalah aktor yang mendominasi pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat, kemudian disusul institusi pendidikan, baik tingkat universitas maupun sekolah menengah atas, kemudian disusul ormas, TNI, Satpol PP, pemerintah pusat hingga daerah.

Keberadaan institusi pendidikan dalam hal ini tentu saja memprihatinkan karena sekolah sudah seharusnya menjadi institusi yang meletakan dasar-dasar berpikir yang intrinsik dengan aktivitas mengungkapkan pendapat dan sejenisnya.

Konteks ini belum termasuk kasus orang-orang yang dengan mudahnya dijerat oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Produk hukum yang satu ini bahkan oleh banyak pihak dinilai menjadi semacam senjata bagi negara untuk membungkam kritik dan kebebasan berpendapat.

Tentu pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa pendekatan politik yang oleh beberapa pihak dianggap menjurus ke militerisme atau bahkan police state ini bisa terjadi?

Krisis Demokrasi, Tuah Politik Jokowi

Pada tahun 2008, Kishore Mahbubani pernah membuat sebuah tulisan yang memuji pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Ia bahkan menyebut demokrasi di Indonesia sebagai sebuah keajaiban, terutama terkait bagaimana militer aktif di negara ini bisa melepaskan diri dari politik kekuasaan.

Mahbubani kemudian mengutip pendapat Indonesianis, Benedict Anderson, yang melihat akar budaya dan tradisi Jawa dalam wayang sebagai salah satu penjelasan utama mengapa demokrasi pada titik tersebut bisa terjadi.

Ia menyebutkan bahwa nilai-nilai budaya Jawa cenderung terbuka terhadap perbedaan sebagai bagian dari perwujudan nilai penghindaran konflik. Hal inilah yang kemudian membuat perbedaan bisa diakomodasi katakanlah misalnya dalam budaya musyawarah mufakat.

Namun, pendapat Mahbubani ini sepertinya mulai kurang relevan. Pasalnya ada pergeseran yang cukup besar terjadi pasca kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2016 lalu.

Kala itu, akar nilai wayang tersebut mendapatkan tantangan dari kelompok-kelompok yang menyebut diri sebagai Islam politik. Ahok memang melakukan kesalahan besar ketika dianggap menista agama. Namun, dampak lanjutan dari peristiwa tersebut adalah tantangan yang besar terhadap demokrasi di Indonesia.

Tim Lindsey, akademisi dari University of Melbourne dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa kasus Ahok menjadi pembuka terhadap pertanyaan akan ke manakah arah Indonesia sebagai sebuah negara yang disebut “demokratis dan menjunjung nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap kebebasan” – setidaknya demikian klaim para pemimpinnya.

Ia juga menyebutkan bahwa makin kuatnya populisme juga akan mengarah pada titik yang berbeda dari cita-cita yang sebetulnya telah digariskan sejak reformasi 1998. Populisme, konservatisme dan kekuatan oligarki politik membuat peluang bangkitanya Neo New Order atau Neo Orde Baru semakin mengemuka.

Sekalipun menyinggung konteks gejolak yang terjadi, namun Lindsey tak menyinggung bagaimana hal tersebut mempengaruhi pengambilan kebijakan dan arah pemerintahan dari sudut pandang Jokowi sebagai presiden.

Pasalnya, kalau diperhatikan, Jokowi dan lingkungan kekuasaannya akhirnya “beradaptasi” dengan konteks gejolak politik yang ada, bahkan cenderung mengarah pada penggunaan instrumen hukum dengan lebih keras. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – sekalipun punya dasar pembenaran ideologis – menjadi preseden terhadap konteks pelaksanaan demokrasi.

Hal lain yang juga muncul adalah makin seringnya penggunaan aksi represi untuk meredam gejolak politik. Akibatnya kemudian terasa dalam konteks kebebasan berpendapat, di mana orang bisa ditindak tegas aparat jika dianggap berpotensi melahirkan gejolak politik.

Sementara, dalam bahasa yang berbeda, Vedi Hadiz dari University of Melbourne menyebutkan bahwa pada tahun 2015, beberapa survei memang membuktikan ada penurunan kualitas demokrasi di Indonesia menuju ke arah yang cenderung illiberal. Istilah tersebut mengacu pada kondisi demokrasi ketika Pemilu masih dijalankan, tetapi kebebasan sipil untuk berpendapat dan berkespresi dikungkung oleh pemerintah.

Pernyataan Vedi Hadiz itu juga masuk akal jika merujuk pada indeks demokrasi yang dibuat oleh The Economist’s Intelligence Unit (EIU) bahwasannya Indonesia mengalami penurunan skor dari 6,97 pada 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017.

Demikianpun dengan laporan EIU tahun 2018, di mana angka tersebut masih sama. Hal yang menarik justru ditunjukkan dalam indikator kebebasan sipil, di mana skor yang diperoleh Indonesia hanya 5,59 dan menjadi variabel paling rendah dari semua yang diukur – sekalipun dalam hal pelaksanaan Pemilu, skor yang diraih mencapai 6,92.

Angka 5,59 terkait kebebasan berpendapat itu masuk dalam kategori hybrid regime atau illiberal democracy karena ada di bawah nilai 6. Rezim kekuasaan ini dicirikan dengan masih adanya Pemilu, namun kebebasan sipil masyarakat yang dibatasi.

Artinya, secara skor keseluruhan, Indonesia memang masih ada di kategori flawed democracy – kategori yang masih cukup bagus dalam hal pelaksanaan demokrasi – di mana masih ada Pemilu yang berjalan secara adil, kebebasan masyarakat sipil yang mendasar tetap dijamin, sekalipun ada batasan-batasan terkait media massa dan lainnya.

Namun, posisi Indonesia dalam daftar tersebut sudah ada di ambang menuju di bawah nilai 6, di mana peran pemerintah menjadi semakin besar dalam ranah privasi dan makin membatasi kebebasan masyarakat sipil.

Hal inilah yang makin terlihat beberapa waktu terakhir, ketika tangan penegak hukum – dalam hal ini polisi – cukup sering menangkap tokoh-tokoh yang tidak jarang berasal dari kubu lawan politik Jokowi atas perkara yang cenderung politis.

Tak heran beberapa pihak memunculkan istilah police state dan mulai melekatkannya pada pemerintahan Jokowi. Istilah ini mengacu pada pemerintahan yang mengarah pada totalitarianisme dengan kekuatan police force atau polisi memainkan sentral penting dalam stabilitas politik.

Joseph Dillon Davey dalam bukunya yang berjudul The New Social Contract: America’s Journey from Welfare State to Police State menyebut police state sebagai model pemerintahan ketika negara berperan terlalu besar dalam ranah privasi masyarakat. Tiongkok adalah salah satu negara yang disebut sebagai police state, di mana kebebasan berekspresi menjadi sangat dibatasi oleh negara.

Rezim Militer atau Police State?

Memang masuk akal jika banyak pihak kemudian mengaitkan konteks penurunan kualitas demokrasi dan makin seringnya penggunaan tindakan represif terhadap kebebasan berpendapat punya kaitan dengan keberadaan banyak sosok eks TNI-Polri di kabinet Presiden Jokowi.

Mulai dari Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Intelijen Negara, Menko Kemaritiman dan Investasi, hingga Menteri Pertahanan dan bahkan Menteri Agama, semuanya adalah eks TNI-Polri. Tak heran konteks budaya represi yang identik dengan dunia militer itu kemudian teraplikasikan secara tidak langsung ketika berhadapan dengan masyarakat sipil.

Walaupun demikian, penurunan kualitas demokrasi ini juga berkaitan dengan hal lain. Jeffrey Winters, akademisi dari Northwestern University misalnya, pernah menyebutkan bahwa Indonesia adalah sample negara demokratis tanpa hukum. Konteks tersebut bukan berarti tidak ada norma hukum yang berlaku, tetapi hukum sebagai aturan yang mengikat dan berlaku secara setara bagi semua masyarakat memang tidak terlihat.

Hukum cenderung menjadi alat bagi kekuasaan atau alat untuk melindungi kekuasaan. Winters misalnya mencontohkan bagaimana Soeharto sampai akhir hayatnya sulit untuk diadili terkait kasus-kasus yang terjadi di era kekuasaannya.

Hal ini nyatanya juga dituduhkan masih terjadi hingga saat ini. Di periode pertama kekuasaannya Jokowi bahkan menunjuk politisi Partai Nasdem menjadi Jaksa Agung. Pertautan kepentingan politik dengan jabatan tersebut jelas membuat tumpang tindih hukum dan politik.

Artinya, baik itu rezim militer maupun police state sebetulnya punya akar persoalan penegakan hukum yang belum baik. Pada akhirnya, publik memang bisa menilai sendiri, apakah benturan antara tradisi wayang dan Islam politik ini masih akan terus melanggengkan rezim kekerasan dan antikritik ini untuk beberapa waktu ke depan. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version