Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pada pentingnya multilateralisme dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, apakah pidato tersebut tidak menandakan bahwa Jokowi terjebak dalam multilateralisme PBB yang kini sedang dalam situasi limbo?
“What is the most resilient parasite? Bacteria? A virus? An intestinal worm? An idea. Resilient, highly contagious. Once an idea has taken hold of the brain it’s almost impossible to eradicate. An idea that is fully formed – fully understood – that sticks, right in there somewhere” – Dominick “Dom” Cobb, Inception (2010)
Para penggemar film Hollywood pasti sudah tidak asing dengan sutradara yang bernama Christopher Nolan. Pasalnya, sutradara yang satu ini telah terbukti menghasilkan sejumlah film yang mendapatkan banyak pujian – baik dari kritikus maupun dari penggemar film.
Salah satu film terbaiknya yang berjudul Inception (2010), misalnya, berhasil menjadi perbincangan hingga kini. Film tersebut disebut-sebut menjadi film yang paling kompleks dan paling intelektual yang pernah disutradarai oleh Nolan.
Mahakarya Nolan ini bahkan bisa membuat kita berpikir ulang tentang apa yang kita ketahui selama ini. Setidaknya, asumsi ini juga disampaikan oleh seorang dosen senior dari University of Southern Queensland yang bernama Daryl Sparkes.
Sparkes yang merupakan dosen di bidang studi dan produksi media tersebut menjelaskan bahwa Inception (2010) membuat kita mempertanyakan bahwa kita hidup di dunia nyata atau tidak. Bahkan, terkadang memunculkan pertanyaan apa kita hidup dalam pikiran seseorang.
Kerumitan yang digambarkan dalam film tersebut memunculkan sebuah istilah yang disebut “limbo”. Limbo merupakan suatu dimensi yang membuat seseorang pemimpi untuk melakukan keinginan terdalamnya.
Meski begitu, limbo dapat membuat pemimpi tersebut terjebak karena tidak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Situasi ini dapat membuat si pemimpi kehilangan kesadaran.
Lantas, apa kaitan antara limbo dengan politik? Bagaimana bisa konsep ini memiliki hubungan dengan dinamika politik yang ada?
Mungkin, situasi yang mirip dengan limbo ini bisa dilihat dari bagaimana posisi Indonesia dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu. Pada ulang tahun ke-75 PBB tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menekankan pada peran lembaga tersebut.
Baik Jokowi maupun Retno berharap bahwa PBB dapat mengambil peran yang solid dalam menghadapi pandemi Covid-19 – termasuk dalam ketahanan ekonomi yang diakibatkannya. Selain itu, Indonesia juga meminta agar vaksin dapat segara tersedia dan dapat diakses secara terjangkau oleh negara mana pun.
Apa yang ditekankan oleh Jokowi dan Retno ini merupakan multilateralisme yang menjadikan komunitas global dan organisasi internasional memegang peran penting. Kepentingan bersama menjadi faktor utama.
Namun, siapa yang tahu bahwa apa yang diinginkan oleh Jokowi dan Retno ini menjadi sebuah realitas yang sulit terwujud – berujung pada situasi terjebak layaknya dalam limbo? Bila benar begitu, mengapa pemerintahan Jokowi bisa terjebak di limbo ala PBB ini?
Menyoal Multilateralisme
Multilateralisme secara mudah dapat dipahami sebagai jalinan hubugan antarnegara yang terdiri dari tiga atau lebih entitas negara. Dengan multilateralisme, hubungan antara tiga negara atau lebih tersebut dapat terkoordinasi mengacu pada prinsip umum yang diakui secara internasional.
Asumsi inilah yang dikemukakan oleh John Gerard Ruggie dalam tulisannya yang berjudul Multilateralism. Setidaknya, Ruggie juga menyebutkan bagaimana multilateralisme berkaitan erat dengan institusi internasional.
Dengan mengutip Robert O. Keohane, Ruggie menyebutkan bahwa institusi merupakan serangkaian aturan yang formal dan informal yang menjelaskan peran perilaku, memberi batasan pada aktivitas, dan membentuk ekspektasi. Di sinilah multilateralisme masuk, yakni sebagai bentuk institusi internasional yang melibatkan tiga atau lebih negara.
Apa yang diyakini oleh Ruggie ini dikenal sebagai pemikiran institusionalisme liberal. Mengacu pada John Joseph Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul The False Promise of International Institutions, institusionalisme liberal memang yakin pada pentingnya kolaborasi mutual antarnegara.
Hal yang mendasari kerja sama multilateral ala institusionalisme liberal adalah kepentingan bersama (mutual interest). Negara-negara dianggap harus mengedepankan kepentingan kolektif guna menciptakan stabilitas.
Bukan tidak mungkin, Jokowi dan Retno ingin agar komunitas global mengedepankan kepentingan kolektif di tengah pandemi Covid-19, yakni vaksin dan penanganan pandemi. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan kolaborasi mutual guna mencapai manfaat jangka panjang dibandingkan keuntungan jangka pendek.
Politik vaksin, misalnya, dianggap dapat memunculkan keuntungan jangka pendek bagi negara-negara yang mampu memproduksinya – seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan negara-negara Eropa. Namun, guna mencapai manfaat jangka panjang – yakni “mengalahkan” Covid-19, Indonesia menekankan pada ketersediaan vaksin yang bisa diakses oleh semua negara.
Pandemi ini juga dapat menjadi guncangan eksogen (exogenous shock). Pasalnya, Ruggie – dengan mencontohkan multilateralisme ala Concert of Europe (1815-1848; 1871-1914) – turut menyebutkan bahwa guncangan eksogen dapat mendorong negara-negara untuk menentukan bahwa mereka memiliki kepentingan bersama yang perlu diakomodasi melalui multilateralisme.
Ruggie juga menekankan bahwa, selain kepentingan bersama dapat memunculkan kerja sama multilateral, multilateralisme juga dapat memberikan aturan main bagi negara-negara dalam menjalankan politik luar negeri. Dengan begitu, kemungkinan bahwa negara-negara akan bertindak curang dengan mementingkan kepentingan sendiri dapat diminimalisir.
Namun, pertanyaan lanjutan pun timbul. Apakah mungkin multilateralisme melalui PBB yang didorong oleh Jokowi dan Retno dapat terjadi? Kira-kira, apa faktor yang bisa saja menghambat bertahannya multilateralisme dalam politik antarnegara di masa kini?
Terjebak Limbo PBB?
Apa yang didorong oleh Jokowi dan Retno sebenarnya merupakan hal yang baik dan masuk akal bila diterapkan di situasi pandemi kali ini. Pasalnya, pandemi Covid-19 merupakan wabah yang telah merugikan semua negara.
Namun, situasi geopolitik bisa jadi tengah menjadi tidak kompatibel dengan multilateralisme yang digaungkan tersebut. Pasalnya, terdapat dua negara besar yang disebut-sebut tengah bertindak laku layaknya dalam situasi Perang Dingin, yakni AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Persaingan yang terjadi antara keduanya telah memunculkan tindakan yang jauh dari prinsip multilateralisme. AS, misalnya, memberlakukan perang dagang terhadap Tiongkok dengan menerapkan hambatan perdagangan secara unilateral.
Di sisi lain, Tiongkok yang meskipun bangkit (emerge) melalui multilateralisme kini malah menerapkan bilateralisme – di mana negara tersebut membangun hubungan antara dua negara dengan negara-negara lain. Asumsi ini dijelaskan oleh Deep Pal dan Suchet Vir Singh dalam tulisan mereka yang berjudul Multilateralism with Chinese Characteristics.
Pal dan Singh menjelaskan bahwa Tiongkok kini tengah membangun diplomasi dengan pola hub-and-spokes – di mana Tiongkok menjadi pusat (hub) terhadap negara-negara lain (spokes). Pola seperti ini mulai terlihat dari bagaimana negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut menjalin kerja sama bilateral yang menyalurkan vaksin ke negara tertentu, seperti Indonesia, Brasil, dan Turki.
Tidak hanya Tiongkok, bilateralisme juga disebut tengah dilakukan oleh AS di bawah Presiden Donald Trump. Hal ini terlihat dari bagaimana Trump membawa negaranya mundur dari multilateralisme dengan menekankan pada kesepakatan dan negosiasi bilateral yang lebih menguntungkan.
Bangkitnya bilateralisme ini mirip dengan situasi hubungan antarnegara yang mendasari Perang Dunia I. Perang besar kala itu disebut-sebut disebabkan oleh kerja sama dan aliansi antara dua negara yang akhirnya menyeret masing-masing negara ke peperangan tersebut.
Alhasil, bukan tidak mungkin menurunnya multilateralisme ini timbul akibat kekhawatiran antarnegara yang terlibat dalam kompetisi. Seperti yang dijelaskan oleh Mearsheimer, negara akan tetap memperhatikan relative gains (keuntungan relatif) antarnegara.
Bahkan, Mearsheimer menyebutkan bahwa sudah menjadi naluri manusia untuk membanding-bandingkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki – apalagi dalam suatu kompetisi. Dalam hal ini, multilateralisme akan mendapatkan tantangan terbesarnya dengan adanya persaingan mencari keuntungan lebih yang tengah terjadi antara AS dan Tiongkok.
Kegagalan multilateralisme ini juga digambarkan oleh Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail. Dalam tulisan itu, profesor Hubungan Internasional dari University of Chicago, AS, tersebut menyebutkan bahwa tatanan (order) sebenarnya diperlukan dalam menangani persoalan-persoalan internasional.
Mirip dengan multilateralisme ala Ruggie, Mearsheimer menekankan bahwa tatanan dunia diperlukan untuk mengatur hubungan antarnegara. Menariknya, tulisan tersebut juga menyebutkan bahwa persoalan-persoalan seperti perubahan iklim dan wabah merupakan persoalan yang perlu dihadapi dengan multilateralisme.
Namun, tatanan yang telah dibangun oleh AS pasca-Perang Dingin dapat berakhir menjadi agnostik – di mana nilai-nilai liberal yang selama ini didorong oleh PBB dan organisasi-organisasi internasional akan diabaikan. Tatanan bisa saja menjadi realis berdasarkan keuntungan strategis tertentu.
Dari kompetisi yang terbangun melalui bipolaritas kekuatan – dengan munculnya Tiongkok sebagai kekuatan terbesar kedua, bukan tidak mungkin multilateralisme akan semakin diabaikan. Alhasil, negara-negara semakin kesulitan bila terus berharap pada multilateralisme seperti yang digaungkan oleh Jokowi dan Retno.
Dari sini, konsep limbo yang dijelaskan di awal tulisan bisa saja dibilang mirip dengan keinginan Jokowi dan Retno – menjadi tidak sejalan dengan realitas kompetitif yang tengah terjadi dalam politik dunia. Indonesia pun akhirnya bukan tidak mungkin akan terjebak dalam persinggungan kompetisi AS-Tiongkok atau menerapkan mekanisme self-help (menolong diri sendiri) ke depannya.
Meski begitu, gambaran kemungkinan di atas belum tentu bakal benar-benar terjadi. Perubahan politik domestik – seperti pergantian pemimpin di AS – bisa saja mengembalikan perubahan tatanan tersebut. Mari kita tunggu saja bagaimana aksi pemerintahan Jokowi untuk bangun dari limbo tersebut. (A43)