Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?

Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?

Presiden Jokowi bersama dengan para pendukungnya di Pilpres 2019 (Foto: Gesuri)

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tampak gagap dalam menghadapi hantaman pandemi Covid-19 saat ini. Kebijakan yang seharusnya mengacu pada epidemiologi atau cara penanganan wabah justru tidak terlihat sejak awal. Melihat pada besarnya tekanan untuk memperhatikan aspek perekonomian, mungkinkah Presiden Jokowi tengah terjebak dalam vetokrasi?


PinterPolitik.com

I characterized the American system as a vetocracy, meaning, government by veto, where well-organized and richly endowed interest groups could block initiatives they didn’t like.” – Francis Fukuyama dalam Checks and Balances

September tahun lalu adalah momen bersejarah. Setelah 20 tahun lebih reformasi, publik kembali melihat demonstrasi besar lintas elemen – mulai dari mahasiswa, buruh, hingga public figure – untuk menolak revisi UU KPK, RKUHP, dan produk hukum bermasalah lainnya.

Namun, yang lebih menarik adalah respons dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas tuntutan tersebut. Kala itu, berbagai pihak menuntut sang presiden mengeluarkan Perppu  untuk membatalkan UU KPK yang baru. Akan tetapi, nyatanya janji untuk mengeluarkan Perppu sampai saat ini tidak dieksekusi oleh mantan Wali Kota Solo tersebut.

Peristiwa tersebut kemudian jamak dipahami sebagai ketidakmampuan Presiden Jokowi untuk membendung keinginan fraksi-fraksi partai politik (parpol) yang menginginkan revisi UU terhadap lembaga antirasuah tersebut.

Di tengah hantaman pandemi Covid-19, ketidakmampuan tersebut tampaknya semakin terasa. Bagaimana tidak, pemerintah dinilai belum mampu menelurkan kebijakan berbasis penanganan wabah sampai saat ini. Tarikan kepentingan ekonomi dan penyelenggaraan Pilkada dinilai kuat membuat pemerintah berberat hati untuk memperketat protokol kesehatan guna menekan angka penularan.

Dengan adanya tarikan-tarikan kepentingan tersebut, mungkinkah Presiden Jokowi tengah mengalami krisis vetokrasi?

Dampak Negatif Spoils System

Untuk memperbesar peluang kemenangan di Pilpres 2019, pasangan Jokowi-Ma’ruf terlihat membentuk koalisi gemuk dengan menggandeng begitu banyak parpol. Namun masalahnya bukan di sana, melainkan ketika pasangan tersebut telah dinobatkan sebagai pemenang di pesta demokrasi tersebut.

Tidak hanya mempertontonkan praktik bagi-bagi kursi kepada parpol pendukung, sang rival terberat, Prabowo Subianto bahkan digandeng masuk dalam pemerintahan. Lalu, dengan PAN dan Partai Demokrat yang menunjukkan sifat mendua, praktis hanya PKS yang menjadi parpol oposisi di Parlemen saat ini.

Langkah bagi-bagi kursi itu memang telah menjadi tradisi lama bagi pemimpin terpilih. Secara khusus, fenomena ini disebut dengan spoils system. Ini adalah praktik ketika pemenang pemilu memberikan posisi kepada pendukungnya sebagai hadiah karena telah berjasa dalam menghantarkan kemenangan. Selain sebagai insentif, pemberian posisi tersebut juga ditujukan sebagai garansi kesetiaan.

Istilah ini sendiri berasal dari frase “to the victor belong the spoils” yang pernah diungkapkan oleh Gubernur New York, William L. Marcy ketika Andrew Jackson terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Pilpres 1829.

Kendati terdengar positif, namun pada praktiknya, sebagaimana yang dicatat oleh Kathy Sawyer dalam tulisannya Spoils System Evils Echo In Debate on Civil Service, sistem tersebut telah berkonsekuensi pada rendahnya akuntabilitas dan kontrol politik, serta tingkat penyalahgunaan kekuasaan.

Getirnya, tidak seperti tujuannya, di mana pembagian kursi ditujukan sebagai garansi kesetiaan, pada praktiknya dewasa ini, sistem ini justru menjadi jebakan tersendiri terhadap pemimpin terpilih dalam pemilu. Pasalnya, dengan mahalnya biaya politik, kandidat yang berlaga kerap kali membutuhkan sokongan dana dari pihak ketiga, sehingga itu membuat pembagian kursi lebih cocok disebut sebagai praktik membayar utang.

Di Indonesia kasusnya lebih pelik. Dengan adanya presidential threshold (PT) 20 persen, ini membuat parpol yang memiliki persentase suara besar memiliki daya tawar yang tinggi terhadap presiden terpilih. Oleh karenanya, spoils system tidak lagi menjadi garansi kesetiaan, melainkan sebagai “harga” yang harus dibayar kepada parpol terkait.

Seperti yang disebutkan oleh Sawyer, spoils system telah berkonsekuensi pada penurunan pelayanan publik karena pemilihan pejabat tidak disandarkan pada kemampuan yang dibutuhkan presiden, melainkan pada rekomendasi dari para pendukung. Karena praktiknya adalah membayar utang, ini kemudian membuat presiden tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap pejabat-pejabat tersebut.

Menariknya, penegasan tersebut juga datang dari Barisan Relawan Nusantara (Baranusa) yang menjadi bagian kelompok relawan pendukung Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019. Menurut Ketua Umum Baranusa, Adi Kurniawan, pembentukan kabinet yang terkesan tidak bebas karena terbelenggu kepentingan parpol merupakan salah satu alasan mengapa pihaknya ragu visi “Indonesia Maju” dapat terwujud.

Francis Fukuyama dalam tulisannya Democracy and the Quality of the State bahkan menyinggung Indonesia dengan menyebutnya sebagai contoh negara demokrasi baru yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu tetapi gagal membentuk pemerintahan yang berkualitas. Menurutnya, lemahnya legitimasi pemerintahan di Indonesia terjadi karena tingginya tingkat klientelisme dan korupsi, serta tidak efektifnya pemberian layanan terhadap sebagian besar penduduk.

Vetokrasi

Dalam tulisannya America in Decay: The Sources of Political Dysfunction, Fukuyama menyebutkan bahwa sistem politik AS telah mengalami pembusukan atau disfungsi karena seiring waktu, sistem checks and balances-nya menjadi semakin dalam dan kaku, sehingga terjadi polarisasi politik yang begitu tajam. Ini membuat tiap kelompok hanya menyuarakan kepentingannya, sehingga sulit menelurkan kebijakan yang merepresentasikan kebaikan bersama.

Tidak hanya karena polarisasi politik, disfungsi tersebut juga terjadi karena pada realitanya, mereka yang terlibat aktif dalam pemilu (menggunakan hak suaranya) hanyalah kelompok-kelompok tertentu. Ini membuat keikutsertaan dalam pemilu jarang sekali menyentuh angka 70 persen.

Masalah disfungsi tersebut kemudian disebut Fukuyama sebagai vetocracy atau vetokrasi. Ini adalah sistem tata kelola pemerintahan yang tidak berfungsi karena tidak ada satu entitas politik yang dapat memperoleh kekuasaan yang cukup untuk membuat keputusan dan mengambil alih tanggung jawab yang efektif.

Dalam tulisannya Checks and Balances, Fukuyama menyebutkan bahwa vetokrasi di AS telah membuat kelompok kepentingan yang terorganisir dengan baik dan kaya dapat memblokir inisiatif yang tidak mereka sukai. Ini kemudian melahirkan harapan di tengah warga AS agar pemimpin yang begitu kuat dapat lahir untuk mengatasi masalah tersebut.

Selain AS, masalah vetokrasi juga terjadi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan adanya hak veto yang dimiliki oleh Tiongkok, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS, ini membuat PBB sukar mengeluarkan kebijakan yang merepresentasikan kebaikan semua anggota karena putusan sangat bergantung terhadap kelima negara tersebut. Ini kemudian menjawab pertanyaan berbagai pihak tentang mengapa PBB belum bekerja secara maksimal, misalnya dalam menyelesaikan sengketa antara Palestina dan Israel.

Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB pada 23 September, Presiden Jokowi juga menyinggung masalah tersebut. Menurutnya, PBB harus berbenah untuk melakukan reformasi, revitalisasi dan efisiensi agar lebih responsif dan efektif dalam menyelesaikan berbagai tantangan global. 

Merujuk pada berjalannya pemerintah saat ini, Presiden Jokowi tampaknya juga perlu melayangkan kritik tersebut terhadap pemerintahannya sendiri. Pasalnya, dengan adanya belenggu dari parpol, sang presiden sepertinya kesulitan dalam menelurkan kebijakan-kebijakan terbaiknya karena harus menyesuaikan diri dengan kepentingan parpol pendukung.

Itu misalnya terlihat dengan tidak dikeluarkannya Perppu saat terjadi polemik besar karena penolakan revisi UU KPK tahun lalu. Getirnya, belenggu juga tampaknya tidak hanya datang dari parpol, melainkan juga dari pihak-pihak berpengaruh seperti pebisnis.

Pasalnya, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa keraguan pemerintah dalam memberlakukan lockdown karena terlalu banyak kepentingan bisnis yang dipertaruhkan. Pada 11 September lalu misalnya, orang terkaya di Indonesia, yakni Robert Budi Hartono disebut-sebut mengirim surat ke Presiden Jokowi karena menilai penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bukanlah kebijakan yang tepat.

Jika benar vetokrasi telah menimpa Presiden Jokowi seperti halnya di AS dan PBB, maka ini menjawab mengapa pemerintahan berjalan begitu tidak efektif karena tidak terdapat kerja sama yang memadai antar pihak untuk menelurkan kebijakan terbaik. Pasalnya, kebijakan yang ada hanyalah hasil dari perseteruan kepentingan-kepentingan pihak yang berpengaruh.

Kemudian, seperti yang disebut Fukuyama terjadi di AS, fenomena di mana terdapat kelompok masyarakat yang mengharapkan Indonesia memiliki pemimpin kuat untuk mengatasi masalah belenggu tersebut tampaknya telah menjadi aspirasi umum.

Akan tetapi, tentu kita berharap agar vetokrasi tidak terjadi di Indonesia. Terlebih lagi,  jangan sampai apa yang ditakutkan oleh Keith K C Hui dalam tulisannya From Democracy to Veto-cracy: Destabilizing World Politics terjadi, yakni vetokrasi akan menjadi fenomena umum di berbagai belahan dunia.

Mari kita berharap agar pemerintahan Presiden Jokowi dapat menelurkan kebijakan terbaik, khususnya dalam menangani pandemi Covid-19. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version