Hasil survei elektabilitas Jokowi akhir-akhir ini bisa dibilang kurang menggembirakan. Perolehan suara di basis kuatnya pun disebut tidak mencapai angka 50 persen – demikian berdasarkan sigi terbaru yang dikeluarkan oleh Indikator Politik Indonesia. Beberapa pihak menyebut hal ini terjadi akibat adanya efek underdog yang menguntungkan Prabowo, seiring dengan semakin dekatnya hari pencoblosan
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]erhitung 13 hari lagi menuju pencoblosan dalam gelaran Pilpres 2019 kali ini. Seiring dengan semakin dekatnya hari tersebut, dinamika politik tanah air juga diwarnai dengan kejutan-kejutan tak terduga. Salah satunya datang dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia.
Jika dalam film The Matrix yang diperankan oleh Keanu Reeves terdapat sosok Oracle – wanita tua yang ahli meramalkan masa depan – yang tak meleset menempatkan Neo sebagai “Yang Terpilih”, maka ramalan Indikator Politik menyangkut Pilpres kali ini bisa dibilang cukup mengejutkan publik.
Dalam rilisnya, lembaga survei pimpinan Burhanuddin Muhtadi ini mengungkap temuan terkait basis kuat pendukung kedua pasangan calon yang akan bertarung pada Pilpres kali ini.
Ada hal yang menarik dari temuan ini, di mana meski paslon nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin masih unggul secara elektabilitas, namun fakta lapangan menunjukkan bahwa basis pemilih loyalnya tak sampai angka 50 persen.
Jika merujuk pada survei tersebut, basis pendukung paslon 01 yang merupakan pemilih stabil hanya menyentuh angka 46,6 persen. Sedangkan, basis kuat paslon 02 mencapai 29,2 persen.
Menurut Burhanuddin, meski Jokowi-Ma’ruf memiliki basis pendukung kuat lebih tinggi, lulusan Australia National University (ANU) tersebut menilai masih terbuka kemungkinan keadaannya bisa berbalik, bahkan setelah hari pemungutan suara.
Tentu temuan Burhan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan.
Bagaimana sesungguhnya publik bisa memaknai temuan Indikator Politik ini? Mungkinkah hasil survei ini akan membawa konsekuensi politik tersendiri?
Mengharap Tuah Survei
Underdog effect dan bandwagon effect, mungkin dua istilah itu cukup awam bagi orang kebanyakan, namun cukup dikenal di kalangan para pemerhati survei politik.
Secara umum, baik lembaga survei maupun politisi yang berkepentingan dengan hasil survei memang mengejar dua efek tersebut.
Bandwagon effect diartikan sebagai efek ikut-ikutan yang menunjukkan kecenderungan pemilih untuk ikut memilih tokoh yang mendapatkan elektabilitas tertinggi dalam hasil survei.
Dengan demikian, untuk mengejar bandwagon effect ini, menampilkan bahwa kandidat capres mengalami peningkatan elektabilitas menjadi penting bagi kubu yang tengah bersaing dalam sebuah kontestasi politik.
Sementara sebaliknya, underdog effect menurut Rüdiger Schmitt‑Beck adalah efek kecenderungan pemilih untuk mendukung calon alternatif yang diperkirakan akan kalah.
Lebih lanjut menurut Schmitt‑Beck, efek bandwagon dan underdog ini terjadi dalam sebuah Pemilu atau referendum atau yang berkaitan dengan pendapat tentang isu-isu partai tertentu, kandidat, atau posisi politik.
Dalam Pilpres kali ini, kedua calon memang tengah dihadapkan pada potensi penurunan angka keterlibatan pemilih. Argumentasi tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Burhanuddin Muhtadi tentang tingginya jumlah swings voters dan undecided voters yang masing-masing mencapai 16,9 persen dan 7,2 persen.
Sekitar 7.7% kelompok swing voters diprediksi merupakan pemilih 01 (45.5%), dan sekitar 9.2% diprediksi merupakan pemilih 02 (54.5%). Sementara kelompok undecided voters diprediksi secara merata kepada kedua paslon. pic.twitter.com/tXul29vAft
— INDIKATOR (@indikatorcoid) April 3, 2019
Secara teoritis, keadaan ini dapat melahirkan apa yang disebut sebagai wilder effect, yakni ketidaksesuaian hasil antara jajak pendapat dengan hasil akhir Pemilu.
Wilder effect tersebut misalnya terjadi di Pemilu Amerika Serikat (AS) 2016 ketika Donald Trump justru tampil sebagai pemenang. Padahal, pada waktu itu Hillary Clinton memenangkan suara di hampir semua survei elektabilitas.
Jika merujuk pada teori tersebut, kepastian kemenangan dalam Pilpres 2019 pada akhirnya masih menjadi misteri dan akan membuat kedua kubu semakin kesulitan untuk memetakan suara.
Meskipun begitu, baik dalam konteks bandwagon maupun underdog effect, hasil survei yang dirilis oleh Indikator Politik sepertinya merupakan pertanda buruk bagi Jokowi sebagai petahana.
Ancaman Underdog Effect
Survei elektabilitas sesungguhnya tak ubahnya buah simalakama. Jika hasilnya tak dipercaya, terkadang apa yang menjadi prediksi justru benar terjadi. Demikianpun sebaliknya.
Dalam konteks Pilpres 2019, meskipun banyak yang kini meragukan kesahihan hasil survei banyak lembaga, nyatanya kedua efek yang telah dijelaskan sebelumnya masih harus diwaspadai oleh kedua kandidat yang akan bertarung pada 17 April nanti, utamanya bagi Jokowi.
Pasalnya, dengan realitas bahwa pemilih loyal sang petahana yang tak mencapai angka 50 persen, hal tersebut sesungguhnya tanda-tanda yang cukup merugikan. Hal ini berkaitan dengan tidak bekerjanya bandwagon effect pada diri Jokowi.
Berkaca dari Pemilu sebelumnya di tahun 2014, efek bandwagon ini cukup bekerja dalam memenangkan sosok mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Banyak pengamat yang menyebut bahwa bandwagon effect ini bekerja karena sosok Jokowi yang populis dan merupakan fenomena baru dalam politik Indonesia. Ini juga yang memunculkan apa yang disebut sebagai Jokowi effect.
Saking besarnya bandwagon effect pada diri Jokowi ini, PDIP akhirnya juga kecipratan popularitas dari figur Jokowi. Di tengah elektabilitas dan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi yang terus meningkat, tingkat keterpilihan PDIP pun juga disebut meningkat, sekalipun tak mampu membuat partai merah tersebut meraih 20 persen suara.
Kini, sepertinya Jokowi tengah menghadapi ujian berat terkait elektabilitasnya. Meskipun cukup unggul di beberapa survei terakhir, namun tren elektabilitas petahana tak cukup menggembirakan, katakanlah jika dibandingkan dengan milik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelang Pemilu 2009 lalu yang hampir menyentuh angka 70 persen.
Bahkan sebelum rilis survei Indikator Politik, Litbang Kompas juga telah menyebut bahwa ada penurunan elektabilitas dari mantan Wali Kota Solo tersebut.
Dalam survei tersebut, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf hanya mencapai angka 49,2 persen. Sementara Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno meraup suara responden sebesar 37,4 persen. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa jarak elektabilitas di antara kedua pasangan calon hanya terpaut 11,8 persen.
Sedangkan dalam survei terbaru Indikator Politik, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin sebesar 55,4 persen, dan penantangnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraup 37,4 persen.
Meskipun masih terbilang unggul, namun angka pemilih loyal Jokowi tidak sampai 50 persen seperti disebutkan di awal tulisan. Hasil tersebut tentu saja menjadi ironi bagi seorang petahana..
Sebaliknya, justru saat ini, sepertinya keuntungan sedang berpihak pada kubu oposisi. Meskipun secara elektabilitas Prabowo-Sandi masih di bawah petahana, namun kesempatan untuk meraih dukungan pemilih melalui underdog effect cukup terbuka lebar.
Dengan semakin lemahnya sulitnya mendapatkan efek keuntungan petahana dan semakin lebarnya gelombang kekecewaan terhadap kepemimpinannya, maka kesempatan untuk meraih simpati pemilih bahwa Prabowo adalah sosok alternatif yang mampu memberikan angin perubahan dalam Pilpres kali ini tentu semakin terbuka lebar.
Selain itu, keuntungan Prabowo mungkin akan terus berlanjut pasca Pemilu. Bisa saja hasil survei yang ada mampu menjadi alat untuk mendelegitimasi hasil Pemilu kalau-kalau ada indikasi kecurangan yang terbukti dan ditemukan.
Pada akhirnya, meskipun lembaga survei kini masih sering diragukan kredibilitasnya – hal yang membuat M. Qodari dari Indo Barometer sebagai salah satu lembaga survei sampai harus menulis di kolom opini Kompas – namun tuah nubuatnya masih sangat mungkin untuk menjadi alat untuk memetakan dukungan dan strategi politik selanjutnya bagi kedua kubu yang bertarung.
Lalu mungkinkah underdog effect ini akan menjadi hal yang bisa mengantarkan Prabowo ke kursi kekuasaan dan mungkinkah petahana berhasil tumbang dibuatnya? Menarik untuk ditunggu. (M39)