Beberapa orang mengaitkan kondisi krisis Indonesia dengan kemungkinan revolusi sosial.
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]enjulangnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah membuat waswas banyak pihak. Orang bertanya-tanya, apakah negeri ini baik-baik saja atau tidak? Beberapa yang lain memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang kebijakan pemerintahan berkuasa.
Memori sebagian orang dengan cepat memutar bayangan buruk dua puluh tahun lalu. Krisis 1998 memang telah menimbulkan gejolak ekonomi politik yang dampaknya terasa hingga sekarang. Di tahun itu, tak hanya perkara bisnis yang porak-poranda, tetapi juga krisis mendera urusan politik. Keresahan masyarakat kemudian diekspresikan melalui aksi-aksi turun ke jalan, bahkan tidak sedikit berbuntut pada chaos dan kerusuhan.
Tidak heran, dengan kondisi yang serupa, revolusi sosial menjadi kata-kata yang muncul di benak beberapa orang saat berkaca pada kondisi ekonomi belakangan ini.
Secara alamiah, krisis memang selalu menimbulkan keresahan sosial di masyarakat. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah keresahan masyarakat saat ini akan berujung dengan sebuah revolusi sosial? Mungkinkah pemerintah saat ini akan menghadapi revolusi semacam itu yang berujung pada pergantian kekuasaan?
Keresahan Sosial
Kondisi ekonomi negeri ini memang tengah berada dalam tanda tanya besar. Berbagai kondisi seolah menggambarkan adanya kegentingan yang berbahaya. Hal ini ditandai dengan beberapa indikator, yaitu utang yang dari hari ke hari bertambah, serta dolar yang terus menggila.
Di tengah kondisi yang tidak menentu ini, muncul sebuah pernyataan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa utang saat ini dilakukan bukan untuk urusan sembarangan. Saat menjawab pidato Ketua MPR Zulkifli Hasan, Sri menyebut bahwa utang tersebut digunakan untuk membiayai urusan kesehatan masyarakat. Dalam konteks tersebut, terlihat bahwa pemerintah seperti sedang menyalahkan masyarakatnya sendiri terkait membengkaknya utang negara.
Umumnya, jika kondisi utang ini memburuk, terutama jika telah menuju titik krisis, pemerintah akan beralih ke resep yang kerap disarankan oleh IMF: austerity (penghematan). Di titik itu, penghematan umumnya akan dilakukan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pengeluaran sosial.
Berbagai subsidi yang semula dinikmati masyarakat boleh jadi akan tiba-tiba dihentikan. Jika kesehatan yang jadi biang keladi utang seperti dikemukakan pemerintah, maka boleh jadi perkara kesehatan akan menjadi korban “sunat” pemerintah.
Jika belum cukup, sektor-sektor lain seperti energi bisa menjadi sasaran. Masyarakat pada konteks ini seperti dikambinghitamkan atas potensi krisis yang dapat menimpa negeri. Mereka seperti harus menerima akibat dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Berkurangnya pengeluaran sosial untuk masyarakat ini bisa menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat. Terjadi keresahan sosial yang dapat hadir dalam berbagai wujud. Di mata sebagian orang, bukan tidak mungkin hal ini berakibat fatal bahkan bisa berujung pada revolusi sosial.
Dalam pandangan Andrew Gavin Marshall, austerity ini akan menyebabkan masyarakat kelas menengah menjadi tereliminasi dan dapat melebur menjadi kelas pekerja. Ketika masyarakat kelas menenengah kehilangan posisi politik, ekonomi, dan sosial mereka, ada kemungkinan mereka akan melakukan pemberontakan, membuat kerusahan, dan – dalam kadar tertentu – berevolusi.
Mengobral Revolusi Sosial
Revolusi merupakan kata yang lazim digunakan oleh masyarakat terutama saat melakukan unjuk rasa. Kata ini kerapkali terobral begitu saja terlepas dari kondisi riil apa yang tengah terjadi saat itu. Dalam konteks tertentu, kata revolusi sosial boleh jadi overused atau dipakai berlebihan terutama bagi kalangan yang beroposisi dengan pemerintah.
Salah satu pandangan tentang revolusi yang paling terkemuka berasal dari pemikiran Theda Skocpol. Menurut Skocpol, revolusi sosial adalah perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas sebuah negara. Revolusi tersebut dibarengi serta menyebabkan terjadinya pemberontakan dari kelas bawah.
Kondisi krisis dianggap bisa memicu revolusi sosial di Indonesia. Benarkah? Share on XMenurut Skocpol, revolusi berbeda dengan pemberontakan yang tidak menghasilkan perubahan struktural. Ia juga berpandangan bahwa revolusi sosial berbeda dengan revolusi politik yang hanya merubah struktur negara, tetapi tidak terjadi perubahan struktur sosial dan tanpa perjuangan kelas.
Dalam pandangan Skocpol, revolusi tidak terjadi dengan sendirinya. Revolusi terjadi karena ketidakmampuan negara meredakan ketegangan antara pemerintah dengan masyarakat. Skocpol juga menyebut bahwa revolusi tidak akan terjadi jika tidak ada kelas revolusioner di dalam masyarakat.
Ada pandangan lain mengenai revolusi ini dari Charles Tilly. Menurut Tilly, betapa pun marahnya rakyat, mereka tidak akan ikut campur dalam aksi politik, kecuali jika mereka menjadi bagian dari suatu kelompok yang terorganisasi dan memiliki sumber daya.
Revolusi Mengintai?
Lantas bagaimana dengan Indonesia, mungkinkah gejolak keuangan yang terjadi belakangan ini berujung pada revolusi sosial? Jika merujuk pada pandangan Skocpol dan Tilly, kondisi keuangan seperti sekarang ini sulit dibayangkan jika akan berujung pada revolusi sosial.
Jika merujuk pada Skocpol, revolusi sosial tidak akan terjadi jika tidak ada kelas revolusioner di dalam masyarakat. Skocpol dalam pemikirannya menggunakan kelompok petani sebagai kelompok revolusioner tersebut. Sementara untuk konteks Indonesia saat ini, sulit diidentifikasi kelompok mana yang tergolong ke dalam kelompok revolusioner.
Di titik itu, kelas menengah boleh jadi kelompok yang paling mungkin melakukan revolusi. Hal ini sesuai dengan pandangan Marshall bahwa kelas menengah yang menjadi korban austerity adalah kelompok yang rentan melakukan revolusi.
Meski demikian, sulit untuk melihat kelas menengah Indonesia saat ini mau melakukan revolusi terlepas dari kondisi yang mereka alami. Mereka sendiri dalam kadar tertentu bukanlah kelompok yang sadar bahwa mereka tergolong kelas pekerja yang mereka anggap kelas rendahan.
Dendam mengubah ideologi menjadi ambisi buta.
Disulut amarah, ia mengamuk ke segala arah. Berharap revolusi. Tetapi zaman tak menunggu si dungu.— Rocky Gerung (@rockygerung) August 30, 2018
Kelas menengah Indonesia juga tergolong unik. Menurut Gerry van Klinken, kelas menengah negeri ini berbeda dengan kelas menengah di negara lain terutama di Amerika Tengah. Kelas menengah di Indonesia memang senang dengan politik, tetapi mereka cenderung puas dengan penghasilannya dan hal itu tidak berpengaruh pada politik. Mereka sendiri amat mencintai negara sehingga sulit dibayangkan muncul revolusi dari tangan mereka.
Jika merujuk kepada Tilly, revolusi juga tidak akan terjadi jika tidak ada mobilisasi dari kelompok yang tengah melakukan persaingan kekuasaan. Revolusi sosial hanya akan terjadi jika ada peran elite atau kelompok berkuasa.
Sejauh ini, sulit untuk mendeteksi adakah kelompok yang tengah melakukan persaingan kekuasaan yang berencana melakukan revolusi. Kelompok-kelompok yang beroposisi dengan pemerintah justru tengah melakukan persaingan secara resmi melalui Pemilu. Belum ada tanda bahwa kelompok ini mau memobilisasi massa dalam jumlah besar, sehingga dapat dikatakan setara revolusi.
Berbagai kondisi ini membuat revolusi sosial dalam artian perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas sebuah negara sulit dibayangkan akan terjadi dalam waktu dekat di Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, bisa berleha-leha. Keresahan sosial masyarakat boleh jadi akan diterjemahkan ke “revolusi” dalam bentuk lain.
Dengan Pilpres 2019 yang kian dekat, keresahan sosial masyarakat boleh jadi akan diekspresikan di dalam surat suara. Masyarakat yang merasa menjadi korban krisis akibat kebijakan pemerintah bisa saja memilih kubu lawan petahana atau memilih golput.
Dalam konteks ini, pemerintahan Jokowi bukan berarti kebal dari ancaman hukuman masyarakat. Meski demikian, apakah dari proses ini akan menimbulkan revolusi dalam artian perubahan struktural belum dapat dipastikan. Boleh jadi yang terjadi hanya sekadar pergantian elite dari satu orang ke orang yang lain.
Memang jika berbicara kemungkinan, di negara mana pun revolusi memang mungkin terjadi. Hanya saja, prakondisi seperti yang dikemukakan Skocpol dan Tilly hingga saat ini belum terdeteksi di Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti Jokowi tidak harus berhati-hati. Jika ada kelompok yang mau memobilisasi dan menyadarkan kelas revolusioner, bukan tidak mungkin seruan revolusi dapat terdengar di penjuru-penjuru negeri. (H33)