Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Terancam Musuh dalam Selimut?

Jokowi Terancam Musuh dalam Selimut?

Kritik JK terhadap program infrastruktur Jokowi menimbulkan banyak tanda tanya. (Foto: istimewa)

Kritik yang disampaikan Jusuf Kalla terkait LRT dan beberapa program infrastruktur Jokowi, mendatangkan beribu tanda tanya. Ketua Dewan Pengarah TKN Jokowi-Ma’ruf Amin itu dianggap justru “menyerang” program-program kebanggaan petahana. Konteks pernyataan yang kemudian diberitakan oleh banyak media ini tidak bisa dipandang sebagai kritik murni, mengingat ada hypodermic effect yang ditimbulkan terhadap persepsi publik atas Jokowi. Dengan konteks Pilpres 2019, mungkinkah ini adalah fenomena snake in the grass – musuh dalam selimut?


PinterPolitik.com

“When Abraham Lincoln was shovelled into the tombs, he forgot the copperheads and the assassin?”

:: Carl Sandburg (1878-1967), penyair ::

[dropcap]K[/dropcap]isah tentang “musuh dalam selimut” telah berakar lama dalam peradaban manusia, salah satunya saat Abraham Lincoln menjadi Presiden ke-16 Amerika Serikat (AS) pada tahu 1861. Kala itu, saat naik ke posisi puncak kekuasaan, Lincoln dihadapkan pada salah satu tantangan terbesar sepanjang sejarah negara tersebut: Perang Sipil (civil war).

Kampanyenya untuk menghapuskan perbudakan terhadap kaum kulit hitam nyatanya mendatangkan protes dari negara-negara bagian di selatan AS yang kemudian mendirikan Confederacy. Negara-negara bagian tersebut adalah yang bergantung pada para budak untuk industri dan pertanian mereka.

Mungkin banyak yang menilai berlebihan dan cenderung naif menyebut konteks kritik JK bertujuan untuk mengalahkan Jokowi. Namun, tidak ada yang tahu pasti. Politik sangat dinamis, dan segala hal mungkin terjadi. Share on X

Akhirnya, perang pun pecah antara the Union – yang mewakili negara-negara di utara sebagai entitas AS itu sendiri – melawan Confederacy. Namun, Lincoln yang berasal dari Partai Republik harus juga mengalami tantangan internal setelah ada faksi dari Partai Demokrat yang justru tidak mendukung Perang Sipil tersebut.

Kelompok ini disebut sebagai The Copperheads atau faksi damai Demokrat (Peace Democrat). Faksi politik inilah yang oleh banyak pihak disebut sebagai musuh dalam selimut atau snake in the grass dalam terminologi Barat kala itu, karena menentang kebijakan perang Lincoln.

Kini, setelah 158 tahun berlalu, konteks snake in the grass atau musuh dalam selimut itu kembali hadir dalam perbincangan politik di Indonesia – negara yang jaraknya sekitar 16 ribu kilometer dari Springfield, Illinois tempat Lincoln dimakamkan.

Adalah pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mengritik mahalnya pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang jadi kisah berikutnya. JK seperti diberitakan, mengritik infrastruktur transportasi itu karena dibangun di atas jalan tol.

Pasalnya, menurut pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan itu, pembangunan LRT yang dibangun di atas tol (elevated) membuat biayanya meningkat 10 kali lipat.

Pria yang juga dikenal dengan nama Daeng Ucu itu juga menyoroti pembangunan proyek serupa di Palembang yang menurutnya kini hanya difungsikan sebagai ajang turis lokal mencoba-coba alat transportasi tersebut. Beberapa hal lain yang juga disinggung oleh JK adalah pembangunan rel kereta api Trans Sulawesi yang menurutnya tidak efisien sebab kebutuhan akan jalan di daerah tersebut jauh lebih mendesak.

Konteks kritikan itu tentu menarik mengingat hal tersebut sama dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Prabowo Subianto. Capres yang jadi lawan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019 ini pernah mengungkapkan bahwa pembangunan LRT di Palembang tidak punya kegunaan ekonomi dan berbiaya mahal.

Kritik JK ini tentu saja menimbulkan pertanyaan. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, serta sebagai Wapres, tentu hal ini cukup mengherankan karena kritik tersebut disampaikan kepada pemerintahannya sendiri.

Dengan berbagai selentingan yang menyebut mantan Ketua Umum Golkar itu bermain dua kaki di Pilpres ini terkait benturan-benturan kepentingan, pertanyaannya adalah apakah akan ada dampak signifikan bagi Jokowi? Lalu, apakah mungkin justru pria yang identik dengan kerajaan bisnis Kalla Group ini akan menjadi salah satu musuh dalam selimut yang mengganjal pemenangan sang petahana?

Banyak Musuh dalam Selimut?

Jika diperhatikan secara seksama, beberapa waktu terakhir memang isu-isu kontroversial yang terjadi di sekitaran kubu Jokowi tidak sedikit yang melibatkan tokoh-tokoh yang menjadi pendukungnya.

Selain kasus yang terjadi pada JK ini, sebelumnya publik juga menyaksikan bagaimana upaya Yusril Izha Mahendra yang memperjuangkan pembebasan bagi terpidana kasus terorisme, Abu Bakar Ba’asyir, justru mendatangkan kritikan tajam dan pedas kepada pemerintahan Jokowi.

Kebijakan untuk membebaskan Ba’asyir yang semula tampak “disetujui” Jokowi, belakangan dibatalkan karena munculnya berbagai protes dan tentangan keras. Jokowi kemudian dituduh kubu oposisi melakukan “hoaks terbesar” lewat kasus ini.

Keberadaan Yusril di kubu Jokowi yang kemudian dianggap sebagai “pembisik gagal” pada kasus ini, nyatanya justru merugikan citra politik Jokowi. Pasalnya, retorika hukum Jokowi pada akhirnya dipertanyakan, dan semua kebijakannya dinilai politis serta melulu untuk kepentingan elektoral.

Apalagi Ba’asyir adalah tokoh kontroversial yang menolak konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Apa yang dilakukan oleh Yusril tentu saja berpotensi menjadi ganjalan bagi Jokowi.

Selain itu, dengan konteks dukungan politik Yusril yang sebelumnya berada di kubu Prabowo, beberapa orang menilai apa yang dilakukan ini cenderung mengarah pada istilah musuh dalam selimut tersebut – meminjam judul film laga karya Willy Wilianto yang dibintangi Tuty Wasiat dan Avent Christie yang dirilis pada tahun 1984.

Konteks musuh dalam selimut itu kini juga muncul dan mengarah pada JK terkait kritikan-kritikannya. Apalagi, kritik tersebut disampaikan ke hadapan publik – yang artinya tentu saja punya dampak politik terhadap Jokowi sebagai kepala pemerintahan.

Ilustrasi Abraham Lincoln dan The Copperheads. (Foto: istimewa)

Banyak selentingan bermunculan yang menduga-duga ke mana arah politik JK, apalagi jika melihat kiprahnya yang pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu mendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang kala itu didukung Prabowo. Bahkan, nama Anies adalah usulan JK yang disetujui oleh Prabowo.

Selain itu, jika murni kritikan, seharusnya JK bisa menyampaikan hal tersebut secara langsung kepada Jokowi agar ditindaklanjuti. Artinya, memang ada unsur “kesengajaan” dalam pernyataan-pernyataan tersebut yang disampaikan ke hadapan publik, untuk kepentingan apa pun itu.

JK tentu sadar penyampaian kritik di hadapan publik yang kemudian diberitakan oleh media, punya dampak politik yang sangat besar. Hal ini sesuai dengan hypodermic needle theory atau teori jarum suntik yang menyebutkan bahwa media dan pemberitaan yang dimuat akan menjadi dasar pembentukan opini publik.

Teori ini berangkat dari pernyataan penulis dan reporter AS, Walter Lipmann pada tahun 1920-1930 yang menyebutkan bahwa masyarakat umumnya memiliki pengetahuan yang terbatas tentang pemerintahan.  Sehingga, apa yang diberitakan oleh media akan menjadi planted ideas atau ide-ide yang tertanam yang membentuk persepsi terhadap pemerintahan berkuasa.

Sekalipun kini akses informasi tentang pemerintahan menjadi lebih terbuka seiring kemajuan teknologi, namun hypodermic theory masih bisa dipakai untuk melihat dampak pemberitaan terhadap persepsi dan dukungan politik elektoral.

Pada titik ini, kritik JK tidak bisa dimaknai murni sebagai bentuk koreksi saja karena disampaikan di depan publik dan diberitakan oleh banyak media. Jelas dalam hal ini, ada kepentingan politik tertentu.

Apalagi kritik-kritik yang demikian berpotensi mendatangkan dampak buruk bagi citra Jokowi. Seperti diketahui, LRT adalah salah satu program kebanggaan mantan Wali Kota Solo itu. Jokowi pernah menyebut Mass Rapid Transit (MRT) dan LRT sebagai “sejarah baru Indonesia”. Dengan demikian, kritik terbuka terhadap program-program itu tentu punya dimensi politik yang spesifik.

Snake in The Grass, Penentu Akhir Pilpres

Lalu, apakah JK pada titik ini bisa disebut sebagai musuh dalam selimut alias orang yang berpotensi menjadi alasan kekalahan Jokowi?

Jawabannya, tentu saja bisa. Sama seperti yang dilakukan oleh Yusril, JK sangat mungkin menggembosi persepsi positif publik terhadap Jokowi. Dengan mengritik program-program infrastruktur tersebut, publik tentu melihat ada persoalan yang terjadi dalam pemerintahan Jokowi. Ini juga menunjukkan adanya ketidakkompakan antara dirinya dengan sang Wapres.

Konteks musuh dalam selimut atau dalam terminologi Barat disebut dengan istilah snake in the grass – ular di dalam rumput – adalah terminologi yang sering muncul dalam perang. Sama seperti yang terjadi antara the Copperheads dengan Abraham Lincoln – seperti diceritakaqn di awal tulisan – snake in the grass akan melemahkan kekuatan entitas politik yang berkuasa – dalam hal ini Jokowi.

Jika kontestasi politik elektoral dianggap “setara” perang, maka sangat mungkin musuh-musuh dalam selimut ini berseliweran di mana-mana. Entah bermain di dua kaki, atau memang bertujuan mengalahkan calon tertentu, semua kubu memang harus memperhitungkan siapa yang harus mereka percayai dan siapa yang harus dicurigai.

Memang mungkin banyak yang menilai berlebihan dan cenderung naif menyebut konteks kritik JK bertujuan untuk mengalahkan Jokowi. Namun, tidak ada yang tahu pasti. Politik sangat dinamis, dan segala hal mungkin terjadi.

Oleh karena itu, Jokowi tentu perlu jeli untuk menyikapi konteks ini. Jika tidak, hasil akhir Pilpres sudah bisa ditentukan sejak saat ini. (S13)

Exit mobile version