Di tengah rumor soal ketegangan politik dengan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan bahwa dirinya menganggap sang Ketum bagaikan “ibunya” sendiri. Apakah ini artinya Jokowi telah bersikap “durhaka” kepada Megawati?
“Mama dearest, spare your feelings” – Kendrick Lamar, “goosebumps” (2016)
Bagi sebagian orang, masa kecil terkadang menjadi masa-masa yang lebih mudah dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Saat masih anak-anak, masalah-masalah kehidupan seperti target pekerjaan, deadline, kompetisi, dan asmara merupakan hal-hal yang tidak perlu dipikirkan.
Bagi mereka yang tergolong dalam generasi milenial, kehidupan masa kecil justru lebih banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menghibur. Setiap hari Minggu, misalnya, kartun dan anime senantiasa mengisi keseharian di akhir pekan.
Salah satu anime yang populer di awal dekade 2000-an adalah Petualangan Hachi si Lebah Madu yang tayang di televisi Indonesia sekitar tahun 2002 hingga tahun 2004. Anime satu ini menceritakan perjalanan seekor lebah madu bernama Hachi yang terpisah dari ibunya, sang Ratu Lebah.
Sesulit apapun tantangan yang dihadapinya dan sedekat apapun kesempatan yang didapatkannya, Hachi tetap berusaha untuk bertemu dengan ibunya. Mungkin, kebutuhan akan sosok induk membuat Hachi pantang menyerah.
Tanpa disadari, jalan cerita (storyline) yang disajikan dalam anime satu ini bisa juga merefleksikan kehidupan di dunia nyata. Faktanya, hampir semua biota di muka bumi ini – khususnya lebah seperti Hachi – selalu membutuhkan sosok induk agar bisa bertahan hidup.
Mungkin, hal yang sama juga berlaku bagi manusia. Sejak kecil, tidak dapat dipungkiri orang tua selalu menjadi pihak yang menyediakan apapun yang dibutuhkan oleh sang anak.
Dalam psikologi sosial, hubungan kasih sayang antara orang tua dan anak ini biasa disebut sebagai storge. Biasanya, cinta dalam bentuk ini juga disertai dengan perasaan untuk peduli (care) dengan orang lain.
Boleh jadi, hal yang sama juga tengah dirasakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri. Bagaimana tidak? Meski sempat dirumorkan ada ketegangan politik dalam hubungan mereka, Jokowi malah menyebutkan bahwa dirinya menganggap sang Ketum bagaikan “ibunya” sendiri.
Hubungan interpersonal antara Jokowi dan Megawati yang mereka setarakan layaknya ibu dan anak ini sebenarnya juga merefleksikan dinamika sosial dan politik yang ada di Indonesia.
Namun, tentunya, Megawati jelas bukanlah ibu Jokowi. Bila demikian, mengapa Jokowi sampai harus menganggap Megawati bak “ibunya” sendiri? Mungkinkah hubungan layaknya “ibu” dan “anak” ini turut mempengaruhi dinamika politik dan pemerintahan di Indonesia?
Megawati Adalah Sang “Ibu”?
Berkaca dari kisah Hachi dalam anime tersebut, bisa dibilang sang ibu adalah segalanya bagi lebah kecil tersebut. Bahkan, kasih sayang ibu adalah tujuan utama yang terus dikejar.
Di dunia nyata, ratu lebah (queen bee) juga memiliki peran yang krusial. Selain sebagai satu-satunya lebah betina yang bertelur, ratu lebah juga memproduksi zat yang meregulasi kesatuan koloni lebah.
Boleh jadi, sebuah koloni lebah – baik dalam anime maupun di dunia nyata – turut menggambarkan bagaimana sebuah masyarakat (society) bekerja, setidaknya dalam kebudayaan tertentu. Agar tercipta keteraturan dan ketertiban, diperlukan sosok “induk” – dalam hal ini pemimpin – yang memandu kohesi masyarakat secara luas.
Peran pemimpin bak ratu lebah ini bisa dibilang mirip dengan sebuah nilai yang diyakini di budaya Timur. Di Jepang, misalnya, pemimpin perlu dihormati layaknya “orang tua” bagi masyarakatnya.
Inilah mengapa rekomendasi pemerintah soal pembatasan sosial kala pandemi dipatuhi dengan baik oleh masyarakat Jepang. Terdapat sebuah konsep nilai yang disebut dengan filial piety (seperti kazuko kokka atau kokkashugi) – di mana “anak” harus patuh dan berbakti kepada “orang tua” mereka.
Konsep filial piety dalam kehidupan sosial dan politik ini nyatanya tidak hanya berlaku di Jepang, melainkan juga di negara-negara Asia Timur – dan mungkin Asia Tenggara – seperti Tiongkok dan Korea. Nilai ini diyakini merupakan bagian dari tata nilai Konfusianisme.
Gagasan juche di Korea Utara (Korut), misalnya, didasarkan pada kehidupan bernegara yang menempatkan masyarakat luas sebagai komponen utamanya. Menariknya, pemimpin ditempatkan sebagai inti tengah dari masyarakat – menjadikan pemimpin sebagai pusat society Korut.
Tidak hanya Korut, filial piety juga berlaku di Tiongkok – biasa disebut sebagai xiào yang mengatur hubungan antara lao (orang tua) dan zi (anak). Yue Du dalam bukunya yang berjudul State and Family in China menjelaskan bahwa ideologi soal filial piety juga mempengaruhi jalannya pemerintahan dan politik di negara tersebut.
Bila filial piety hadir dalam dunia politik dan pemerintahan negara-negara Asia Timur, bagaimana dengan di Indonesia?
Menariknya, David Bourchier dalam bukunya yang berjudul Illiberal Democracy in Indonesia menjelaskan bahwa gagasan negara keluarga (family state) yang didasarkan pada filial piety merupakan salah satu hal yang diidamkan oleh pemerintahan Orde Baru – di mana Soeharto menjadi semacam “bapak” bagi masyarakat luas.
Lantas, bila konsep ide filial piety dan family state ini pernah hidup di era Orde Baru, bagaimana dengan sekarang? Mungkinkah pola yang sama juga ada dalam hubungan politik antara Megawati dan Jokowi?
Jokowi Terjebak Bakti ke Megawati?
Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan gagasan filial piety ala tradisi Konfusianisme di Asia Timur, konsep “harus berbakti kepada orang tua” juga menjadi nilai yang diyakini oleh masyarakat Indonesia. Dalam nilai agama, gagasan ini turut dianggap penting.
Tidak jarang, skenario sinetron yang menceritakan keputusan sang anak untuk memasukkan orang tua mereka ke panti jompo digambarkan sebagai keputusan yang tidak sejalan dengan nilai masyarakat. Cap “durhaka” bakal disematkan pada karakter sang anak tersebut.
Mengacu pada tulisan Elizabeth Wianto dan rekan-rekannya yang berjudul Authoritative Parents and Dominant Children as the Center of Communication for Sustainable Healthy Aging, nilai yang digambarkan dalam sinetron itu merupakan realitas yang ada di masyarakat. Filial piety berupa bakti dan rasa hormat kepada orang tua merupakan bagian dari nilai masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu, menjadi wajar bila nilai filial piety ini turut tersalurkan dalam lingkaran-lingkaran sosial lainnya, seperti dunia politik. Tidak jarang, label “orang tua” sebagai induk dan “anak” sebagai anggota lingkaran sosial partai politik (parpol) juga eksis.
Mari kita ambil PKB sebagai salah satu contohnya. Kala konflik internal antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) terjadi di parpol itu pada tahun 2008 silam, label yang berkaitan dengan konsep hubungan antara “orang tua” dan “anak” turut mencuat.
Bagaimana tidak? Gus Dur sebagai pendiri parpol yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU) tersebut kerap dianggap semacam “orang tua” yang melahirkan PKB. Pada akhirnya, Cak Imin yang merupakan keponakan Gus Dur mendapatkan label-label bernada negatif seperti Malin Kundang dan Brutus.
Bukan tidak mungkin, filial piety dalam lingkaran parpol yang serupa juga hadir dalam pernyataan Jokowi yang menyebut Megawati bak “ibunya” sendiri. Pasalnya, Megawati sendiri menjadi sosok yang di-tua-kan di parpol berlambang kepala banteng tersebut.
Tidak hanya Jokowi, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo juga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan hubungan “anak” dan “orang tua” soal Megawati. Beberapa waktu lalu, Ganjar menyebutkan bahwa dirinya kerap “dijewer” oleh sang “ibu” ketika terdapat persoalan di Jateng.
Masih mengomentari Ganjar, politikus PDIP lainnya yang bernama Trimedya Panjaitan juga mengeluarkan narasi “ibu-anak”. Kala mengkritik Ganjar, Trimedya mengatakan bahwa Gubernur Jateng itu tidak menghormati sang “ibu”.
Dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan para politisi PDIP, bukan tidak mungkin filial piety serupa turut menjadi nilai yang dipegang dalam lingkungan parpol tersebut. Apalagi, keputusan-keputusan strategis juga sepenuhnya dipegang oleh Megawati.
Tidak hanya itu, sosok Megawati juga kerap disebut sebagai kunci utama di balik kohesi internal parpol banteng itu – layaknya peran ratu lebah dalam koloninya. Wajar apabila pada akhirnya Jokowi mengeluarkan pernyataan soal Megawati bagaikan “ibu” sendiri.
Namun¸ mengapa sekarang? Mengapa Jokowi merasa perlu mengatakannya secara gamblang di depan publik dan media?
Bisa jadi, ini adalah bentuk upaya Jokowi untuk menjaga harmoni dalam kekuasaannya hingga tahun 2024. Bagaimana pun, Jokowi masih memerlukan restu sang “ibu” yang menjadi induk bagi “koloni” politik terbesar di Indonesia.
Mungkin, layaknya Hachi yang berjuang mencari ibunya, Jokowi juga masih membutuhkan sosok “ibu” dari Ketum PDIP tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, Hachi bisa berpetualang secara mandiri setelah bertemu banyak teman baru. Mungkinkah Jokowi bisa seperti Hachi si lebah kecil yang mandiri? Who knows? (A43)