HomeNalar PolitikJokowi Tanpa Oposisi, Siapa Menunggang?

Jokowi Tanpa Oposisi, Siapa Menunggang?

Wacana masuknya kubu Prabowo ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi di satu sisi melahirkan optimisme akan kondisi politik yang lebih tenang dan kondusif. Namun, jika pada akhirnya hampir semua partai politik menjadi bagian dari pemerintahan, maka kekuasaan sang petahana di periode kedua terancam tak akan punya oposisi formal yang kuat. Konteks ini berpotensi melahirkan kelompok oposisi jalanan yang disebut lebih banyak menggunakan sentimen agama sebagai isu politik utamanya. 


PinterPolitik.com

“Kita akan melihat munculnya gerakan Islam ultra-kanan di Indonesia”.

:: J. Stapleton Roy, Duta Besar AS untuk Indonesia 1996-1999, dalam dokumen yang dirilis National Security Archive ::

Kekuasaan tanpa tentangan dari lawan politik adalah dambaan setiap pemimpin. Namun, dalam demokrasi, tanpa adanya oposisi, sistem pemerintahan yang ada bisa berujung pada kesewenang-wenangan kekuasaan.

“Democracy is not possible without the opposition”, demikianlah kata-kata Presiden Bharatiya Janata Party (BJP) India, Amit Shah dalam salah satu kesempatan.

Kata-kata Amit Shah tersebut kini tengah menjadi ancaman bagi Indonesia. Pasalnya peluang masuknya Prabowo Subianto dan Partai Gerindra ke koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan telah semakin terbuka. Jika hal ini terjadi, maka kekuatan utama oposisi yang ada di Partai Gerindra dengan sendirinya akan tereliminasi.

Berbagai wacana yang muncul terkait peluang terbentuknya koalisi bersama ini memang terus menguat, sekalipun Prabowo belum mengucapkan selamat kepada Jokowi dan mengakui kekalahannya dalam Pilpres kali ini, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusannya. Lembaga tinggi negara tersebut memang telah menolak gugatan kubu Prabowo-Sandiaga Uno terkait Pilpres 2019 yang dituduhkan penuh kecurangan.

Persoalan yang kemudian muncul adalah jika Prabowo pada akhirnya menjadi bagian dari pemerintahan kekuasaan Jokowi, maka akan sangat banyak partai yang ada di pemerintahan sang petahana.

Bergabungnya Gerindra sangat besar kemungkinan akan menyisakan PKS sendirian sebagai partai oposisi tunggal. Pasalnya PKS belum menunjukkan tanda-tanda keinginan untuk menjadi bagian dari kekuasaan, berbeda dengan Partai Demokrat dan PAN yang kemungkinan besar juga akan masuk ke dalam pemerintahan Jokowi di periode kekuasaannya yang kedua ini.

Demokrat sejak awal memang telah mendekat ke Jokowi, sementara PAN juga kemungkinan besar akan berada dalam kekuasaan, apalagi setelah sang Ketua Umum, Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa putusan MK dengan sendirinya menandai bubarnya Koalisi Indonesia Adil Makmur.

Jika hanya PKS yang menjadi oposisi pemerintah di DPR, maka tentu saja kekuatan penyeimbang ini akan jadi seperti macan ompong. Pasalnya, suara PKS dalam Pileg 2019 hanya mencapai 8,21 persen di tingkat nasional. Maka, kemungkinan total kursi yang dimiliki oleh partai tersebut tidak akan jauh-jauh dari persentase tersebut.

Artinya, jika ada kebijakan atau peraturan yang harus diputuskan dan pada akhirnya mengambil jalur voting di DPR, kekuatan oposisi memang tidak ada apa-apanya dibandingkan supermajority atau mayoritas super yang berisi partai-partai koalisi Jokowi, apalagi jika pada akhirnya pimpinan lembaga tersebut juga dikuasai oleh koalisi pemerintahan.

Dengan kondisi ini muncul wacana kelahiran oposisi jalanan yang akan digerakkan oleh kelompok yang membawa isu sentimen agama di dalamnya. Oposisi Islam politik ini – jika ingin disebut demikian – akan menjadi perpanjangan tangan benturan teologis dan kultural yang terjadi dalam komunitas muslim Indonesia yang berpotensi menjadi penekan pemerintah dalam parlemen jalanan.

Tentu pertanyaannya adalah akan seperti apa kondisi politik nasional jika tidak ada oposisi pemerintahan di DPR yang bertugas melakukan check and balances terhadap kekuasan yang saat ini berkuasa? Lalu, mungkinkah demokrasi bisa berjalan tanpa oposisi?

Oposisi Islam Politik, Parlemen Jalanan?

Pada pertengahan 2018 lalu, National Security Archive (NSA) merilis dokumen korespondensi antara perwakilannya di Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang terjadi di sekitar tahun 1998.

Dalam salah satu telegram yang diungkap tersebut, J. Stapleton Roy yang menjadi Duta Besar AS untuk Indonesia antara tahun 1996-1999 sudah memprediksi kebangkitan gerakan yang disebutnya sebagai Islam politik, terutama pasca kejatuhan pemerintahan Soeharto.

Seperti dikutip dari ulasan yang dibuat oleh Tirto, disebutkan bahwa konteks tersebut terjadi karena sosok-sosok yang kuat secara politik di sekitaran tahun itu punya arah yang sesuai dengan citra Islam politik. BJ Habibie misalnya, dianggap sebagai sosok yang dekat dengan kelompok Islam berbekal latar belakangnya sebagai pendiri sekaligus Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Habibie yang cenderung diragukan oleh Partai Golkar untuk mengambil alih kekuasaan, justru mendapat kekuatan politik karena didukung oleh kelompok Islam ini. Sementara sosok seperti Amien Rais juga disebut oleh Roy cenderung membawa arah politik yang sama, yakni terkait keinginannya untuk memasukkan lebih banyak tokoh Islam ke dalam pemerintahan.

Konteks inilah yang kemudian menandai kuatnya citra Islam politik, yang nyatanya punya dua kutub pandangan yang berbeda. Habibie misalnya dipandang oleh banyak kelompok mahasiswa sebagai representasi Islam politik yang membuat khawatir kelompok mahasiswa Kristen, nasionalis dan juga Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan kelompok muslim tradisionalis.

NU secara spesifik disebut cenderung mengambil jarak dan mengamati bagaimana reformasi akan berjalan, sekalipun kemudian berhasil mengambil kekuasaan setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden.

Latar teologis dan kultural ini memang terjadi karena makin tajamnya perbedaan antara kelompok sarungan – sebutan untuk kaum tradisionalis Islam yang berasal dari NU – dengan kaum cingkrangan yang umumnya cenderung konservatif dan membawa gagasan pemurnian Islam. (Baca: Jokowi, Dilema Sarungan vs Cingkrangan) 

Konteks ini kemudian terus berlangsung, apalagi setelah tokoh-tokoh konservatif yang dominan mulai makin populer di tengah masyarakat, seiring meningkatnya pengaruh media sosial dan internet sebagai jalur dakwah untuk menggaet lebih banyak simpatisan.

Tokoh seperti Habib Rizieq Shihab misalnya, mengambil tempat dominan dalam konteks politik karena seolah muncul sebagai oposisi di parlemen jalanan. Aksinya dalam konteks politik lokal di ibu kota Jakarta terhadap pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok misalnya, menunjukkan kekuatan politik oposisi yang punya taring.

Hal ini semakin jelas jelang Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana Rizieq menjadi salah satu sentral politik “anti-pemerintah” yang lantang bersuara dan keras mengkritik. Aksi 212 yang fenomenal adalah keluaran politik yang paling jelas menggambarkan panggung politik Rizieq sebagai oposisi.

Sekalipun sang habib kini masih ada di Arab Saudi, namun Jokowi sebetulnya tetap merasakan tekanan oposisi jalanan ini. Bahkan, Pilpres 2019 sesungguhnya menjadi pertarungan antara oposisi jalanan ini melawan Jokowi.

Oposisi Islam politik ini secara konsisten ada di seberang Jokowi sejak Pilpres 2014 lalu dan terus menguat apalagi setelah sang presiden cenderung lebih dekat dengan kaum sarungan yang tradisionalis. Bahkan Presidium Alumni (PA) 212 pernah menyebutkan bahwa kelompok tersebut akan tetap menjadi parlemen jalanan, siapa pun yang terpilih di Pilpres 2019.

Jokowi Tanpa Oposisi, Siapa Menunggang?

Penulis dan reporter asal AS, Walter Lipmann dalam salah satu tulisan untuk majalah Atlantic Monthly pada tahun 1939, menyebutkan bahwa dalam demokrasi, keberadaan oposisi harus dipertahankan bukan hanya karena alasan konstitusional semata, tetapi juga karena fungsinya yang mutlak diperlukan.

“In a democracy, the opposition is not only tolerated as constitutional, but must be maintained because it is indispensable”, demikian kata-kata Lipmann yang kemudian menjadi salah satu kutipannya yang paling terkenal.

Ia menyebutkan bahwa keberadaan oposisi adalah bagian dari kebebasan untuk berbicara dan mengungkapakan pendapat yang menjadi intisari dari demokrasi itu sendiri. Artinya, ketiadaan oposisi adalah kenihilan atau ketiadaan demokrasi.

Dalam konteks Jokowi, jika Prabowo pada akhirnya bergabung dalam pemerintahannya, demokrasi di Indonesia pada akhirnya memang harus dipertanyakan. Mekanisme check and balances dengan sendirinya berpotensi menghilang karena ikatan kekuasaan politik.

Lalu, jika berharap pada oposisi jalanan – dalam hal ini Islam politik – sulit untuk tidak melihat adanya kepentingan yang saling menunggangi di dalamnya. Bukan rahasia lagi bahwa gerakan politik jalanan juga oleh beberapa pihak disebut besar kemungkinan punya pendanaan tertentu, baik itu dari pihak asing maupun dari dalam negeri sendiri.

Dengan demikian, wacana pemerintahan bersama Jokowi dan Prabowo ini pada akhirnya akan mendatangkan dampak lanjutan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Bagaimanapun juga, keberadaan oposisi yang sebanding di parlemen akan membawa dampak yang positif untuk iklim demokrasi Indonesia sendiri, bukan begitu? (S13)

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.