Siapa tim Bravo 5 dan apa peran mereka dalam tim pemenangan Jokowi?
Pinterpolitik.com
Old soldier never die, they fade away.
:: adagium lama ::
[dropcap]A[/dropcap]da yang bilang, para jenderal yang masa baktinya habis di militer, mereka tidak sepenuhnya pensiun, melainkan turun gunung lagi dalam format yang sedikit berbeda. Mungkin hal inilah yang terlihat setelah calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) mengarahkan tim Bravo 5 untuk proses pemenangannya di Pilpres 2019 mendatang. Tim ini memang non-struktural – tidak berada dalam struktur tim kampanye resmi – namun tetap bertugas untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf.
Dalam arahannya, Jokowi memerintahkan tim ini menyiapkan strategi untuk menangkal isu yang dilemparkan oleh kubu lawan, terutama isu-isu mendadak.
Banyak jenderal menangkan Jokowi. Share on XMenurut Jokowi, posisi petahana itu bagai dua sisi mata pisau. Kebijakan-kebijakannya di satu sisi dapat menjadi pendongkrak elektabilitas, namun di sisi lainjustru menjadi bumerang yang balik menyerang.
Jokowi memberikan contoh bagaimana Pilpres di Amerika Serikat (AS) begitu cair, sehingga menciptakan pemenang yang tidak diduga sebelumnya. Meskipun Hillary Clinton digadang-gadang menang dalam kontestasi itu, nyatanya ia harus bertekuk lutut terhadap Donald Trump.
Menurut Jokowi, kondisi itu juga berpotensi terjadi di Pilpres 2019. Dirinya sebagai kandidat yang selalu diunggulkan dalam bursa survei, tidak boleh terlena jika tidak ingin bernasib seperti Hillary. Apalagi, meluasnya penggunaan media sosial yang untuk memproduksi isu-isu hoaks bisa jadi akan merugikan Jokowi.
Oleh karenanya, tim Bravo 5 yang dimotori oleh jenderal-jenderal purnawirawan TNI harus menggunakan strategi tertentu demi menjamin suara Jokowi tidak tergerus di kantong-kantong pemilihan.
Lantas, seperti apa bentuk tim Bravo 5 yang baru saja menjalankan rapat kerja perdananya, serta bagaimana signifikansi tim tersebut dalam Pilpres 2019 nanti?
Tim Bravo 5, Pasukan Elite dengan Tugas Khusus
Di militer, ada yang dikenal dengan istilah satuan elite dan satuan khusus. Keduanya adalah pasukan spesial dalam barisan tempur.
Bila didefinisikan secara ringkas, sebuah satuan disebut pasukan elite apabila sudah membuktikan pretasinya dalam operasi tempur, dan diakui secara terbuka oleh masyakarat.
Sementara satuan khusus, adalah pasukan dengan tugas khusus, biasanya yang melakukan operasinya secara senyap. Pasukan ini juga dibekali persenjataan dan peralatan khusus sesuai dengan karakteristik tugasnya.
Nyatanya, tugas-tugas satuan tentara tersebut diperlukan dalam konteks politik, khususnya di Indonesia, di mana militer masih punya posisi yang penting.
Jokowi sebagai petahana misalnya, masih membutuhkan jasa-jasa para purnawirawan untuk melenggang kembali pada Pilpres 2019, layaknya ia butuh satuan elite atau satuan khusus militer.
Hal ini sejalan dengan pendapat Steve Colbert dan Michael J. Davidson dalam The Role of the Military in Presidential Politics yang menyebutkan bahwa pensiunan militer punya posisi politik yang masih kuat.
Tim Bravo 5 yang saat ini diketuai oleh Jenderal (purn) Fachrul Razi, pernah memiliki andil dalam Pilpres di 2014 lalu. Lima tahun lalu, tim Bravo 5 dibentuk untuk memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla. Setelah menang, tim di bawah komando Jenderal TNI (purn) Luhut Binsar Panjaitan itu dibekukan.
Sementara saat ini, menurut wartawan asal Selandia Baru, John McBeth dalam tulisannya di Asia Times, Luhut memiliki peran menghidupkan kembali tim Bravo 5, kelompok yang ia sebut terdiri dari 20 lebih pensiunan jenderal.
Sebagian besar jenderal tersebut merupakan tamatan Akademi Militer (Akmil) angkatan 1970-an, yang memainkan peranan penting di balik kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014.
Selain Fachrul Razi sebagai ketua, tim ini diisi oleh purnawirawan seperti Letjen TNI (purn) Sumardi, Letjen TNI (purn) Suaidi Marasabessy, Mayjen TNI (purn) Heriyono Harsoyo, Mayjen TNI (purn) Zainal Abidin, Mayjen TNI (purn) Heriyadi, Brigjen TNI (purn) Paulus Prananto dan Laksamana TNI (purn) Marsetio.
Sebagai satuan khusus, tim ini memiliki kekuatan di tangan Jenderal Fachrul. Ia memiliki pengalaman panjang di TNI dan terbiasa dengan keteraturan dan loyalitas kukuh. Selain itu, Fachrul pernah menjadi Wakil Panglima TNI dalam rentang tahun 1999-2000. Pengalamannya tersebut dan posisi-posisi penting lainnya membuat dirinya dianggap sangat berpengalaman untuk memimpin tim Bravo 5.
Rekam jejak dirinya sebagai Gubernur Akademi Militer (1996-1997), Asisten Operasi Kepala Staf Umum ABRI (1997-1998), Kepala Staf Umum ABRI (1998-1999), dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan (1999) membuat Fachrul pasti memahami benar strategi “bertarung” di tim Bravo 5.
Pada Pilpres 2014 Fachrul turut serta dalam pemenangan Jokowi dan menjabat sebagai tim penggalangan dukungan bagi Jokowi-JK. Bekal ini cukup untuk membangun chemistry antara dirinya dengan tim Jokowi lainnya.
Sementara itu, tim Bravo 5 kemungkinan akan menggunakan strategi intelijen untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Hal ini kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan oleh Fachrul pada Pilpres 2014.
Tim ini akan berfokus pada penggalangan suara secara teritorial. Penguasaan teritorial menitikberatkan pada pengembangan jaringan untuk meraih lebih banyak pemilih. Pembangunan jaringan baru dan penguatan jaringan lama akan menembus berbagai segmen. Secara segmentasi, tim ini akan menggunakan strategi grab all atau garap semua, sehingga otomatis semua isu dan kalangan akan dimaksimalkan.
Melalui strategi ini, tim Bravo 5 akan mengamati kekuatan lawan, kelemahan lawan, juga kelemahan dan kekuatan Jokowi-Ma’ruf. Selanjutnya, tim akan merancang taktik pemenangan. Untuk strategi penggalangan, tim ini akan memikirkan cara merangkul tokoh dan masyarakat, termasuk tokoh penting Indonesia dan tokoh strategis yang memiliki pengikut banyak.
Dalam pertemuan relawan Bravo-5 tersebut, hadir pula Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Erick Thohir, Ketua Harian TKN Jenderal (purn) Moeldoko, Anggota Dewan Pengarah TKN Pramono Anung.
— Ary Prasetyo (@Aryprasetyo85) December 11, 2018
Second Career Purnawirawan, Untungkan Jokowi
Keterlibatan purnawirawan dalam kampanye politik turut terjadi pada perpolitikan di AS. Setidaknya hal itu sudah terjadi sejak era Perang Sipil antara tahun 1861-1865.
Menurut Nick Gass dalam tulisannya di Politico, pada gelaran Pilpres 2016 lalu, Donald Trump misalnya mendapatkan endorsement dari 88 purnawirawan. Salah satunya adalah Mayjen (purn) Sidney Shachnow, purnawirawan angakatan darat sekaligus penyintas Holocaust.
Semenara itu, keterlibatan purnawirawan dalam politik tidak bisa dilepaskan dari hasratnya yang selama ini terpendam. Menurut Muthiah Alagappa second career atau karir kedua dalam diri purnawirawan adalah lanjutan dari pengabdian kepada negara, namun bukan melanjutkan karir militernya, melainkan dalam bidang politik.
Ketika purnawirawan militer masuk ke politik, aspek-aspek pengetahuan dan pengalaman karir kemiliteran mereka akan bermanfaat dan bahkan dibutuhkan oleh partai politik atau kandidat dalam Pemilu.
Fenomena second career ini mirip dengan yang terjadi di Jepang, dengan sebutan amakudari. Menurut B. C. Koh, amakudari berarti perpindahan dari posisi sebagai pegawai pemerintah ke pegawai swasta atau perusahaan yang mencari keuntungan. Dalam konteks militer, seorang jenderal setelah pensiun punya kesempatan untuk menduduki jabatan komisaris di sebuah perusahaan besar.
Memang dalam pengertian amakudari tersebut, perpindahan ke karir kedua atau karir baru dimaksudkan untuk tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi sebagaimana dalam kegiatan bisnis. Namun, hal ini juga bisa terjadi dalam konteks politik dengan tujuan-tujuan yang lebih luas.
Esensi konsep amakudari yang relevan di sini adalah pemanfaatan pengetahuan, pengalaman, dan kecakapan seorang purnawirawan saat masih bertugas dinas aktif di militer.
Dalam konteks Indonesia, peran purnawirawan dapat digunakan untun rekrutmen anggota, pembinaan teritorial kontestasi elektoral, intelijen, kedisiplinan organisasi, mobilisasi personel dan logistik yang berguna untuk strategi pemenangan Jokowi.
Dalam kadar tertentu, keterlibatan purnawirawan yang memiliki bekal strategi dalam dunia militer dan politik ini dapat menguntungkan Jokowi.
Namun, yang perlu diperhatikan Jokowi, khususnya tim Bravo 5 adalah bahwa setidaknya ada tiga kunci kemenangan pada gelaran Pilpres 2019.
Pertama, ceruk pemilih di Jawa dan Sumatra yang jumlahnya kurang lebih 78,5 persen. Kedua, ceruk pemilih muslim jumlahnya sekitar 87,6 persen. Ketiga, ceruk pemilih muda yang terdiri dari generasi Z dan generasi Y (milenial) jumlahnya kurang lebih 52 persen.
Oleh sebab itu, dengan postur tim Bravo 5 yang cukup “wow” itu, sudah sepatutnya tim ini memahami ceruk pemilihan yang multi segmen tersebut. Kekuatan tim Bravo 5 bukan ada pada perseorangan, tetapi pada gerak bersama memenangkan kandidatnya, dalam hal ini Jokowi.
Pertanyaanya adalah mampukah Fachrul Razi memimpin tim Bravo 5 untuk kembali memenangkan Jokowi? Menarik untuk dinanti. (A37)