Muncul saran agar Presiden Jokowi tak lagi memilih kader Gerindra untuk menggantikan Edhy Prabowo dari posisi Men KP demi mengindari preseden minor pemberantasan korupsi yang lebih akut. Lantas, apakah Presiden Jokowi berani untuk membuat keputusan itu dengan situasi dan perhitungan politik yang ada saat ini?
Efek dari tertangkapnya eks Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP) Edhy Prabowo agaknya berbuntut panjang. Magnitudonya bahkan turut dirasakan hingga Istana dan membuat spekulasi mengenai apa yang terjadi saat ini di Medan Merdeka Utara mengemuka.
Hal ini setelah pertanyaan seputar siapa pengganti Edhy dan kapan pergantian itu dilakukan, belum dapat dijawab dengan pasti oleh pusat. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko sebagai corong resmi Istana pun belum dapat memberikan kepastian itu dan justru meminta khalayak untuk menunggu hingga saatnya nanti.
Berkaca pada kesan kemungkinan alotnya pertimbangan politik dalam menentukan pengganti Edhy, sejumlah pengamat menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang mengalami dilema dalam menetapkan nama orang nomor satu di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sebuah dilema yang disebut-sebut terkait dengan pilihan apakah akan kembali mengusung nama pengganti dari Gerindra, atau justru memilih opsi lainnya yang berasal dari expert atau bahkan partai politik (parpol) lain.
Dilema inilah yang ditengarai membuat pergerakan dan keputusan untuk mengganti nama Edhy tak segesit ketika Agus Gumiwang Kartasasmita menggantikan Idrus Marham sebagai Menteri Sosial pada 2018 silam.
Lantas, benarkah Presiden Jokowi sedang dihadapkan pada dilema dalam menentukan pengganti Edhy Prabowo? Jika ya, mengapa demikian?
Efek Samping Kartel Politik Jokowi?
Salah satu kemungkinan jika Jokowi benar-benar mengalami dilema dalam menetapkan pengganti Edhy ialah akibat kartelisasi politik yang dibangun eks Wali Kota Solo itu sendiri.
Sebagaimana yang diketahui, eksistensi Gerindra dalam Kabinet Indonesia Maju awalnya tak diharapkan sejumlah parpol yang telah “berdarah-darah” memenangkan Jokowi-Ma’ruf.
Seperti yang dikemukakan oleh profesor ilmu politik University of Michigan, Dan Slater dalam Party cartelisation, Indonesian-style, kartelisasi parpol telah menjadi karakter Presiden Jokowi dalam mengkonsolidasikan kekuatan sebesar-besarnya dari para parpol dalam membangun pemerintahan, baik level eksekutif maupun legislatif.
Di kemudian hari, tendensi kartelisasi politik itu terlihat dengan merangkul Prabowo Subianto dan Gerindra yang bahkan tak ikut berjuang di 2019.
Namun dalam upaya terakhirnya itu, sesungguhnya Jokowi mengalami persoalan tersendiri. Pasalnya, diduga terdapat semacam resistensi di internal koalisi yang terkesan enggan menerima Gerindra.
Seperti yang diketahui, parpol seperti Nasdem dan Golkar ialah pihak yang secara eksplisit menolak. Elite Nasdem, Johnny G. Plate saat itu mempertanyakan apa manfaatnya elemen oposisi bergabung dalam pemerintah.
Sementara Golkar melalui Ace Hasan Syadzily menyatakan sikap enggan jika Prabowo dan Gerindra berada di dalam pemerintahan karena lebih menginginkan keduanya sebagai oposisi. Bahkan Ace juga menilai tidak etis jika Gerindra meminta atau mendapat kursi menteri jika nantinya bergabung.
Setelah sikap tersebut, safari politik dilakukan Prabowo secara personal kepada Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, dan Airlangga Hartarto. Meskipun kemudian tensi tampak usai, tentu tak diketahui apa yang sesungguhnya dirasakan oleh para parpol yang berjuang memenangkan Jokowi dan harus kehilangan jatah kursi menteri karena Prabowo dan Gerindra bergabung.
Lantas saat variabel lain bersemi, seperti elektabilitas dan manuver personal Prabowo dan Gerindra menatap 2024, hingga Gerindra lewat Fadli Zon yang tak jarang mengkritik pedas pemerintah, bisa jadi membuat preseden minor kembali muncul dari koalisi politik Jokowi-Ma’ruf yang sebelumnya berpeluh di 2019 dan juga punya ambisi di 2024.
Dan ketika kader Gerindra yang diberikan jatah menteri oleh Presiden Jokowi terkena kasus korupsi, bukan tidak mungkin di balik layar akan kembali bangkit kecenderungan resistensi atas keberadaan Prabowo dan Gerindra dalam koalisi yang sekarang justru memberikan citra minor bagi pemerintah.
Apalagi ketika membicarakan jatah berharga dari satu kursi menteri yang lowong, di mana tentu bisa saja preseden di atas dapat menjadi justifikasi. Momentum tertangkapnya Edhy agaknya memberikan semacam tekanan pada Presiden Jokowi bahwa merangkul Gerindra dan Prabowo adalah keputusan yang kurang tepat. Yang mana pada akhirya merembet pada dilema penunjukkan pengganti Edhy Prabowo.
Terlebih, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, jika Presiden Jokowi kembali menempatkan kader Gerindra di KKP, potensi abuse of power menteri baru nantinya akan cukup tinggi.
Potensi itu diperkirakan akan menimbulkan impresi minor tersendiri dari publik, utamanya terkait pengusutan kasus yang bisa saja akan meluas. Dedi berkesimpulan bahwa memang sudah seharusnya mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak kembali memilih kader Gerindra untuk menggantikan posisi Edhy.
Kendati demikian pertanyaannya, beranikah Presiden Jokowi melakukan itu jika berkaca pada relevansi ketokohan dan pengaruh Prabowo Subianto sebagai pentolan Gerindra?
Keputusan Sangat Sulit?
Tom Christensen dalam Decision-Making in the Political Environment, menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan dalam konteks politik selalu memiliki derajat kerumitan yang tinggi, dengan komponen pertimbangan yang kompleks.
Dan dalam proses tersebut, Christensen menyebutkan technical environment sebagai pertimbangan yang muncul akibat tekanan isu-isu yang berkaitan dengan aspek instrumental. Aspek itu di antaranya dapat berupa tekanan politik, sosial, teknologi, ekonomi, maupun keamanan yang mungkin menjadi sangat penting jika berkaca pada urgensi isu serta ketergantungan terhadap sebuah lembaga dan aktor pendukung yang kuat di baliknya.
Pada konteks melihat keputusan Presiden Jokowi dalam upayanya menentukan siapa Men KP yang baru, agaknya technical environtment yang dikemukakan Christensen di atas menjadi satu hal serius yang dipertimbangan sang Kepala Negara.
Terlebih ketika faktor dan “tekanan” secara politik juga ada dari sisi Prabowo dan Gerindra. Wa-bil khusus Prabowo, tajinya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) saat ini juga dianggap masih sangat dibutuhkan oleh Presiden Jokowi saat ini.
Bersamaan dengan menyeruaknya kasus rasuah Edhy Prabowo, gejolak politik dan keamanan terjadi di sejumlah wilayah di tanah air. Mulai dari intrik yang dipicu manuver Habib Rizieq Shihab sepulang dari Arab Saudi, teror keji di Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng), hingga klaim Benny Wenda pasca HUT OPM 1 Desember lalu.
Menariknya, ketiga gejolak itu dihadapi pemerintahan Presiden Jokowi dengan pendekatan bertendensi militeristik. Jika pendekatan militeristik telah lama dilakukan pada konteks Papua, hal yang sama nyatanya juga diterapkan pada dua turbulensi keamanan lainnya.
Show of force prajurit TNI dengan kendaraan taktis, termasuk milik Koopsus, di Petamburan, disusul dengan pengerahan pasukan khusus untuk memberangus teroris yang beraksi di Sigi.
Sebagai referensi utama Presiden Jokowi di bidang pertahanan dan keamanan, Prabowo Subianto mungkin saja berperan cukup konstruktif dalam langkah “sensasional” pelibatan militer tersebut dalam beberapa kasus keamanan belakangan ini.
Seperti yang jamak diketahui, Prabowo Subianto bisa dikatakan sebagai living legend di ranah pertahanan, keamanan, dan militer. Dengan reputasi dan pengalamannya, sosok Prabowo disebut masih memiliki pengaruh psikologis yang kuat di angkatan bersenjata, dunia yang membesarkan namanya.
Artinya, secara politik Prabowo Subianto dengan pengaruh dan reputasinya tampak dapat pula melegitimasi, baik di depan maupun di balik layar, dari manuver deterrence Presiden Jokowi ketika belakangan kerap mengoptimalkan peran militer dalam sejumlah isu keamanan.
Vitalnya sosok Prabowo serta variabel isu keamanan yang sedang berkembang belakangan ini dinilai menjadi hambatan terbesar jika Presiden Jokowi ingin menyudahi atau “mengusik” kepentingan politik mantan Danjen Kopassus itu di kabinet. Apalagi eksistensi Prabowo dan Gerindra awalnya direstui sendiri oleh Presiden Jokowi.
Bagaimanapun, keputusan siapa pengganti Edhy di kursi Men KP agaknya masih menjadi bola panas yang hingga kini seolah tengah berusaha keras untuk dijinakkan oleh Presiden Jokowi.
Opsi nama expert atau ahli dinilai akan membawa tendensi yang sama saja bagi kubu Prabowo dan Gerindra, ketika pada saat yang sama, agaknya tetap dapat diinterpretasikan akan menyunat signifikansi partai berlambang kepala garuda itu di pemerintahan.
Yang jelas, keputusan final Presiden Jokowi dalam konteks pengganti Edhy Prabowo dinilai akan menjadi sangat vital dalam menentukan konstelasi politik level tertinggi negeri ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.